Keras Kepala Van Gaal

Foto: Twitter @OnsOranje.

Van Gaal adalah pelatih otoriter dan ortodoks. Kepemimpinannya seperti komando yang terdengar dari barak-barak tentara.

Menulis Louis van Gaal seperti membicarakan orang yang menciptakan dunianya sendiri, lalu tinggal sendirian di sana. Tidak ada yang lebih hebat daripadanya. Tidak ada yang lebih patut disembah selain dia. Tidak ada persoalan yang lebih besar daripada miliknya dan tidak ada ide yang lebih brilian daripada apa-apa yang lahir dari kepalanya sehingga siapa pun yang ada di sekelilingnya harus menyenderkan telinga pada apa pun yang dibicarakannya.

Van Gaal ibarat seorang teman yang begitu menyebalkan, yang sialnya hampir selalu tidak bisa dijauhkan darimu. Ia menuntutmu untuk melihat dengan cara yang sama seperti ia melihat. Ia mendorongmu untuk berpikir seperti ia berpikir. Ia akan memulai segala macam pembicaraan dengan kata 'aku'. Ia akan menimpali setiap cerita dan keluh kesah dengan frase 'kalau aku', mengganti pusat pembicaraanmu menjadi tentangnya. 

Baginya, ialah pusat dari segala sesuatu. Jika kamu dan dia berada dalam satu grup perbincangan digital yang sama, ia menyerahkan segala sesuatu, menanyakan setiap persoalan hanya pada satu orang yang menurutnya sering mendengarnya. Kau dianggap tak ada, tak lebih daripada audience yang tak punya pendapat.

Dia adalah orang yang berkata 'no excuse' beberapa saat sebelum memberi rentetan alasan. Pada suatu waktu kau ingin dia mendadak tak bisa bicara. Pada hari yang lain kau ingin menamparnya di hadapan orang banyak. Namun, satu-satunya hal yang kau lakukan adalah mendengarkannya. 

Tak peduli seburuk apa pun chemistry-mu dengannya, entah bagaimana caranya, dia selalu mendekat padamu. Barangkali orang seperti Van Gaal adalah alat yang dipakai Tuhan untuk membentukmu menjadi dewasa, menjadi orang yang panjang sabar dan berbelas kasih. Itulah yang terjadi pada Timnas Belanda yang tiga kali datang kepadanya.

Tak peduli sebesar apa pun pengagungan sepak bola Belanda dan dunia pada Johan Cruyff, Van Gaal tak akan pernah sepakat dengannya. Baginya, Cruyff adalah boomer yang tak relevan dengan apa yang disebut Van Gaal sebagai sepak bola modern. Bagi Cruyff, sepak bola Van Gaal seperti lahir dari komando yang terdengar dari barak-barak tentara. Itulah sebabnya Cruyff menyebut sepak bola Van Gaal dan kepemimpinannya sebagai militeristik.

Van Gaal muda terpikat pada gerakan Cruyff. Kekaguman itu memupuk impiannya untuk turut menjadi bagian penting Ajax Amsterdam. Masalahnya, kemampuan sepak bola Van Gaal dan Cruyff ibarat Bumi dan langit. Jika Van Gaal adalah Bumi, Cruyff adalah langit. Ia tidak memiliki kemampuan teknis seperti Cruyff. Larinya lambat, tendangannya kacau. Di Ajax, Van Gaal adalah kawan karib tim cadangan. Hingga akhirnya Van Gaal memutuskan untuk mencari peruntungan lain. Ia menjejak ke klub-klub papan bawah dan pada akhirnya menjadi kapten di Sparta Rotterdam.

Karena tak bisa menjadi langit, Van Gaal bertekad untuk menjadi Bumi tempat sepak bola berpijak dan bertumpu. Meski memiliki kemampuan sepak bola yang berbeda dengan Cruyff, mereka sebenarnya memiliki kesamaan saat menjadi pemain. 

Cruyff dan Van Gaal bukan tipe pemain yang takut kepada para pelatih. Jika dirasa tidak sesuai, mereka tak hanya berargumen, tetapi juga mendebat tanpa tedeng aling-aling. Teman-teman seklub adalah objek yang tepat untuk diatur-atur. Keputusan wasit berulang kali diprotes, para petinggi klub entah berapa kali diajak bertengkar.

Bakat sebagai tukang atur membuat Cruyff dan Van Gaal berambisi untuk mendikte sepak bola. Mereka menciptakan apa yang mereka sebut sebagai ideologi, filosofi, apa pun namanya. Sistem ala Rinus Mitchels disempurnakan oleh Cruyff. Dari konsep itulah ia mengejawantahkan ide bahwa ruang-ruang saklek dalam sepak bola bisa diatur besar dan luasnya sekehendak hati lewat total football. Ide itu dikembangkannya menjadi sepak bola yang menetapkan penguasaan dan pengaturan bola sebagai prinsip utama.

Meski demikian, Van Gaal lebih berani untuk bertindak pragmatis. Metode Van Gaal adalah paradigma struktur dan bentuk. Mungkin inilah penyebab ada begitu banyak pemain hebat yang merasa sepak bolanya begitu sulit untuk diterapkan dan dimainkan. Watak ini yang membedakannya dengan sistem ala Cruyff. Meski juga menitikberatkan sepak bolanya pada penguasaan ruang, Cruyff tetap memercayai teknik dan kualitas individu. 

Jika belakangan Van Gaal menolak untuk membawa Donny van de Beek ke Timnas Belanda di Kualifikasi Piala Dunia 2022, tidak perlu terheran-heran. Van Gaal tidak pernah percaya pada invidu. Jika seorang pemain tidak mendapat menit bermain yang cukup di klubnya, itu adalah tanda bahwa ia belum cukup untuk masuk dalam struktur permainan. Jika di klub saja tak bisa, apalagi Timnas. 

Gaya kepelatihan Van Gaal yang otoriter pula yang sempat membuat Dennis Bergkamp menderita  meski dia mencetak 122 gol dalam 237 pertandingan Ajax. Jangan buru-buru mengecap bahwa itu yang terburuk. Keberatan itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perang antara Van Gaal dan Rivaldo di Barcelona.

Rivaldo adalah orang Brasil. Bagi orang-orang Negeri Samba, sepak bola adalah kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya. Sepak bola adalah tanah yang membebaskannya. Sepak bola adalah kemerdekaan dari segala macam kesulitan hidup sebagai individu. Dari situ, Rivaldo memuaskan hasratnya akan permainan indah. Namun, bagi Van Gaal tak ada tempat untuk permainan indah. Segala sesuatunya harus mutlak sesuai dengan kemauannya.

Watak demikian membuat Cruyff berulang kali mengkritisi gaya kepelatihan Van Gaal. Di mata Cruyff, sepak bola Van Gaal kehilangan improvisasi karena terlalu ortodoks dan kaku. 

Bukan Van Gaal namanya kalau menerima kritikan itu dengan kalem. Ia lantas menyebut sepak bola Cruyff sebagai utopia yang muluk-muluk, hanya berpusat pada pemikirannya sebagai pencetus ide, padahal sepak bola adalah permainan kolektif. Karakter demikian pada akhirnya melahirkan ketidakdisiplinan pada rencana permainan yang menurut Van Gaal menghantam Barcelona hingga tersungkur di hadapan AC Milan di Athena.

Jelang pertandingan Belanda melawan Turki pada Kualifikasi Piala Dunia 2022, Valentijn Driessen, jurnalis sepak bola Belanda, mengkritisi sistem permainan yang dibangun oleh Van Gaal. Menurutnya, sang pelatih berupaya terlalu keras untuk memimpin Belanda bermain dengan sepak bola bertahan.

Warisan Cruyff yang memusatkan sepak bola pada teka-teki ruang serta pergantian taktik dan posisi memang tidak ada duanya. Permainan itu membuat Belanda dikenal sebagai tanah kelahiran sepak bola indah, sepak bola yang berkuasa atas ruang.

Pemujaan terhadap permainan indah membuat banyak pengagum sepak bola Belanda tak terima jika sistem permainan mereka bergeser menjadi lebih pragmatis. Driessen barangkali merupakan salah satunya. Segala sesuatunya harus serupa seperti apa yang dicetuskan oleh Cruyff. Sang legenda memang telah mangkat, tetapi harus tetap hidup lewat sepak bola ala Belanda.

Tentu saja menjaga warisan legenda sebesar Cruyff adalah kehormatan. Namun, Driessen tampaknya lupa bahwa Van Gaal adalah orang yang selalu mengibarkan bendera perang terhadap Cruyff. 

Maka ketika kritik itu dilemparkan kepadanya Van Gaal menjawab dengan sengit, barangkali sesengit laju para pebalap yang melintas di atas sirkuit Formula 1. Ketika Driessen menyebut bahwa Van Gaal berusaha membentuk Timnas Belanda menjadi tim yang bermain defensif, ia menjawab bahwa sepak bola bertahanlah yang membuat Italia juara Eropa.

Lewat pernyataannya itu Van Gaal seperti berkata persetan dengan segala macam filosofi karena yang terpenting adalah kemenangan dan gelar juara. Jurnalis kenamaan sekalipun sah-sah saja menyebut Belanda bermain bertahan. Bagi Van Gaal, pernyataan itu mudah dimentahkan karena setelah imbang 1-1 dengan Norwegia, Belanda berpesta 4-0 atas Montenegro dan 6-1 atas Turki.

Kalaupun sepak bola indah adalah jalan yang membawa Belanda tiga kali mencapai final Piala Dunia, toh, tidak ada satu pun laga puncak tersebut yang berhasil dimenangi. Lantas kalau pada akhirnya sepak bola bertahanlah yang bisa mengantarkan Belanda menjadi juara dunia, mengapa tidak? Lagi pula rasa lapar akan juara dunia itulah yang membuat Belanda datang ketiga kalinya kepada Van Gaal.