Kesempatan Kedua Romelu Lukaku

Foto: @RomeluLukaku9.

Usai musim gemilang bersama Inter Milan, Stamford Bridge yang sempat ia impikan memanggilnya kembali. Pembedanya, Lukaku berada dalam kondisi yang jauh lebih siap ketimbang periode pertamanya beberapa tahun lalu.

Suatu hari saat masih berusia 16 tahun, Romelu Lukaku dan teman-teman sekolahnya berkunjung ke London. Ia mendatangi banyak tempat, termasuk Stamford Bridge, markas Chelsea. Tak ada hal lain yang bisa ia rasakan kecuali amat terkesan dengan atmosfer stadion tersebut.

Lantas, kepada guru yang mendampingi karya wisata sekolahnya hari itu, Lukaku berkata bahwa kelak akan bermain di sana. Sang guru menimpali, “Suatu saat kau bisa bermimpi.”

Respons Lukaku: “Ini sama sekali bukan impian. Saya pasti akan mewujudkan ucapan itu. Suatu hari saya akan bermain di stadion ini. Jika satu hari dalam hidup saya terlihat menangis, itu akan terjadi pada hari ketika saya benar-benar bisa bermain di sini.”

Lukaku tak membual. Pada 27 Agustus 2011, yang ia ungkapkan bertahun-tahun lalu jadi kenyataan. Lukaku yang baru saja ditebus Chelsea dari Anderlecht masuk menggantikan Fernando Torres dalam kemenangan 3–1 di Stamford Bridge. Usianya masih 18 tahun kala itu.

Pada sebuah alternate universe, Lukaku pastilah sudah menjadi andalan lini serang Chelsea pada tahun-tahun berikutnya. Ia berdiri sebagai pemain terdepan dalam starting XI, ditopang Mohamed Salah yang bergerak cepat dari sisi kanan, kemudian Kevin De Bruyne sebagai kreator serangan dari lini kedua.

Prestasinya tak main-main: Dua gelar Premier League dan dua gelar Liga Champions.

Di dunia yang kini kita tempati, walau begitu, hal demikian sama sekali tidak terjadi. Salah dilepas ke Fiorentina sebelum akhirnya bersinar di AS Roma dan sekarang bersama Liverpool, sedangkan De Bruyne menunjukkan tajinya dalam balutan seragam Manchester City.

Garis karier Lukaku serupa. kisahnya tak semulus yang ia bayangkan. Ia mesti bolak-balik dipinjamkan ke West Brom dan Everton, hingga benar-benar dilepas ke klub yang disebut terakhir. Dari situ, ia terus berpindah, dari Manchester United hingga Inter Milan.

Per 2021, Lukaku punya kesempatan memperbaiki kisahnya di Chelsea. Usai musim gemilang bersama Inter Milan, Stamford Bridge yang sempat ia impikan memanggilnya kembali. Pembedanya, Lukaku berada dalam kondisi yang jauh lebih siap ketimbang 10 tahun lalu.

***

Thomas Tuchel datang bak seorang messiah. Ia menyulap Chelsea yang berjarak beberapa jengkal saja dari hancur lebur menjadi tim yang begitu sukar dikalahkan. Dampaknya, Chelsea berhasil finis di urutan keempat sekaligus mampu menggamit trofi Liga Champions kedua mereka.

Walau begitu, ada yang mengganjal dari capaian tersebut. Sejak ditangani Tuchel statistik gol Chelsea menurun drastis. Dari 31 pertandingan yang mereka jalani, cuma 39 gol yang mampu mereka cetak. Itu artinya Chelsea hanya bisa bikin rata-rata 1,25 gol per pertandingan.

Padahal, Chelsea era Frank Lampard memiliki catatan mencetak gol yang lumayan, yakni 2,24 gol per pertandingan.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Masalah Tuchel bukanlah ketiadaan penyerang karena ia punya tiga nama sekaligus. Ada Timo Werner yang baru didatangkan pada awal musim, kemudian Olivier Giroud dan Tammy Abraham. Masalahnya, tak ada yang benar-benar bisa jadi tumpuan untuk menghasilkan gol.

Werner, yang jadi pilihan utama, hanya mampu mencetak tiga gol dari total 24 kesempatan tampil di bawah eks pelatih Borussia Dortmund itu. Giroud mendapatkan 13 kesempatan dan mencetak dua gol, sedangkan Abraham yang tampil 7 kali hanya bikin sebiji gol.

Sulitnya memaksimalkan peluang jadi masalah ketiga pemain tersebut. Terutama Werner, rasio xG per 90 menitnya berada di angka 9,7. Angka itu jauh terpaut dari kontribusi golnya. Akurasi percobaan tembakan ke gawangnya juga mengkhawatirkan sebab cuma mencapai 38,8%.

Berangkat dari situlah Chelsea aktif mencari penyerang baru pada bursa transfer musim panas 2021. Berbagai nama dikaitkan dengan mereka: Mulai dari Erling Haaland hingga Robert Lewandowski. Namun, pada akhirnya mereka menjatuhkan pada muka lama bernama Lukaku.

Meski belum ada pengumuman resmi, perpindahan itu sudah sangat dekat. Ketika itu terjadi, bisa dipastikan bahwa Tuchel bakal menjadi sosok yang paling berbahagia. Bersama Lukaku, ia tak hanya mendapatkan penyerang tajam, tetapi juga sesuai dengan taktiknya.

Tuchel hampir selalu menggunakan skema tiga bek sejak menduduki kursi pelatih Chelsea. Variasinya bermacam-macam tetapi sebagian besar adalah 3–4–1–2 dan 3–4–2–1. Dalam skema ini, ia selalu berupaya mengandalkan serangan secara direct dan cepat untuk mencetak gol.

Musim lalu, kecepatan itu sudah terlihat, bahkan cukup sering mereka menciptakan peluang lewat pendekatan tersebut. Yang tidak mereka miliki adalah penyerang tajam yang bisa berperan sebagai target man mau pun poacher.

Dengan ketajaman dan terutama fisiknya, Lukaku bisa mengisi kekosongan ini, entah sebagai penyerang tengah tunggal dalam skema 3–4–2–1 atau tandem penyerang lain lewat pakem 3–4–1–2.

Fisik memang jadi senjata Lukaku. Raphael Varane, bek anyar Manchester United yang pernah menghadapinya di level Timnas, berkata bahwa: “Fisik Lukaku bisa merepotkan tim mana pun. Saya tak akan membiarkannya mendapat ruang karena ia adalah pemain bagus.”

Namun, fisik Lukaku tidak tak hanya soal tubuhnya yang tinggi (191 cm) dan kokoh (berat 94 kg). Lukaku juga mampu memanfaatkan fisiknya tersebut dengan sangat baik sehingga ia jauh berbeda dengan penyerang nomor 9 yang beredar kebanyakan.

Kecepatannya sanggup membuat Fernandinho dan Paulinho kelabakan saat bersua di Piala Dunia 2018. Dengan tubuh besarnya, ia juga lihai melindungi bola dari terpaan lawan. Pergerakannya pun sangat dinamis sehingga bukan hal langka melihat Lukaku bergerak ke berbagai sisi.

Di Inter, semua aspek itulah yang jadi senjatanya untuk mencetak gol demi gol. Dalam skema 3–5–2 Antonio Conte, Lukaku mampu bikin 47 gol dalam dua musim Serie A. Jumlah assist-nya yang menyentuh angka 13 (musim lalu 11 assist) juga membuktikan dinamismenya.

Euro 2020 jadi panggung Lukaku yang lain. Belgia memang gagal merengkuh trofi yang sudah mereka idam-idamkan, tetapi Lukaku yang jadi ujung tombak dalam skema 3–4–2–1 tetap tampil tajam dan merepotkan pertahanan lawan lewat empat gol yang ia bukukan.

Dengan torehan demikian, sangat wajar bila Chelsea berharap banyak. Mereka bahkan rela menggelontorkan sekitar 100 juta euro untuk menebusnya dari Inter. Sebagai catatan, Chelsea cuma mendapatkan 35 juta euro saat menjualnya ke Everton pada 2014.

***

Musim 2020–21 ibarat petaka bagi Timo Werner. Performanya mengecewakan usai hanya mampu mencetak 11 gol dari 48 laga di seluruh kompetisi. Selain kepercayaan dirinya yang tampak bermasalah, Werner kesulitan menyesuaikan diri dengan cara bermain Chelsea.

Sebagai penyerang yang punya kecepatan sebagai senjata utama, Eks pemain RB Leipzig itu butuh tandem atau setidaknya ruang untuk tampil optimal. Memainkannya sebagai penyerang tengah tunggal dalam ragam skema apapun sama saja dengan bunuh diri.

Itulah kenapa, setelah berulang kali mencoba, Tuchel lebih sering meminta Werner untuk bergerak dari lini kedua dalam skema 3–4–2–1. Posisi terdepan, sementara itu, ia bebankan kepada Kai Havertz lewat peran false nine, termasuk pada final Liga Champions melawan City.

Hadirnya Lukaku bisa mengubah situasi ini. Tuchel tak lagi harus memaksakan Havertz sebagai seorang false nine. Ia pun bisa menempatkan Werner dalam skema favoritnya: Dua penyerang, entah 3–4–1–2 atau 4–4–2. Tandemnya, tentu saja, Lukaku.

Kisahnya di Leipzig menunjukkan betapa Werner bisa maksimal jika memiliki tandem yang pas dalam skema dua penyerang. Bersama Leipzig, ada Yussuf Poulsen dan Patrick Schick yang berdiri di sisinya. Masuk akal jika Werner amat antusias dengan kedatangan Lukaku.

“Dia mungkin salah satu dari tiga striker terbaik di dunia saat ini. Saya sangat terbantu jika memiliki striker besar di samping saya,” kata Werner.

“Ini bisa menjadi senjata baru yang bagus bagi permainan kami karena ketika kami memainkan bola panjang, dia bisa menahannya, kemudian pemain cepat yang ada di sekitarnya bisa segera menyerang. Saya pikir itu akan bagus untuk tim mana pun.”

Yang perlu dipahami, Lukaku tak benar-benar serupa dengan para penyerang yang pernah bermain bersama Werner. Ia termasuk penyerang yang sama dinamisnya dengan pemain asal Jerman itu. Di Inter, pergerakan Lukaku bahkan lebih mobile ketimbang Lautaro Martinez yang jadi tandemnya.

Kondisi demikian berpotensi menimbulkan problem jika keduanya diduetkan. Namun, untuk hal satu ini, biarlah Tuchel yang mencari solusinya.