Ketika Leeds Akhirnya Terjaga

Foto: Wikimedia Commons

Leeds United tidak kembali ke Premier League hanya dengan bermodal romantisme. Mereka punya akal sehat.

Saat orang-orang Leeds kewalahan melawan mala yang beranak cucu, Tuhan mempertemukan Andrea Radrizzani dan Kenny Dalglish pada sebuah makan siang jelang perempat final Liga Champions 2015/16 antara Manchester City dan Paris Saint-Germain.

Satu-satunya tendensi yang membawa Radrizzani datang ke acara makan siang tersebut adalah kesempatan untuk mengobrol santai bersama kawan-kawan lamanya. Tak ada ancang-ancang untuk membicarakan bisnis, apalagi menyuntikkan dana segar untuk Leeds yang sedang gontai di Championship.

Namun, kau tidak akan mungkin tidak membicarakan sepak bola jika duduk semeja dengan Dalglish. Ia bicara tentang raksasa yang tertidur yang akan kembali terjaga jika ada yang bersedia membangunkannya. 

Masalahnya, tak ada orang yang cukup gila untuk membangunkan raksasa yang tertidur dalam kondisi babak belur. Bagaimana kalau setelah dibangunkan si raksasa justru mati? Kalau langsung mati, sih, tak akan jadi masalah besar. Bagaimana jika sekarat dulu? Mengurus apa-apa yang sedang berurusan dengan maut jelas merepotkan.

Beberapa minggu setelah makan siang tersebut Radrizzani mulai menghubungi Massimo Cellino yang berstatus sebagai pemilik saham mayoritas Leeds. Radrizzani berpura-pura menjadi agen investasi yang bicara soal pembeli potensial klub. Pebisnis Italia ini akhirnya menuntaskan pembelian 100% saham Leeds pada Mei 2017.

Leeds yang dimasuki Radrizzani adalah kumpulan orang yang sangat mengagungkan masa lalu. Nyanyian yang acap terdengar dari tribune adalah elu-elu untuk Donald George Revie. Manusia satu ini dipuja karena membuktikan bahwa kebangkitan Lazarus dari kematian bukan kisah yang cuma terjadi di masa lampau.

Kematian Leeds bukan hanya tentang nirgelar. Saat Revie datang pertama kali sebagai manajer pada 1961, sepak bola di kota itu hampir mati. Leeds adalah kota yang sangat menggilai rugbi. Sepak bola tak punya ruang spesial di sana.

Mereka yang ngotot menonton laga Leeds adalah sisa generasi lampau. Konon, saat Leeds memainkan duel kandang terakhir pada 1960/61, jumlah penonton yang datang ke stadion tak lebih dari 7.000 orang. Kondisi itu sangat kontras jika dibandingkan dengan laga rugbi yang bisa mendatangkan puluhan ribu penonton.

Revie percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan cinta orang-orang Leeds kepada klub sepak bolanya adalah gelar juara. Dari situ ia membenahi semua elemen, mulai dari taktik hingga perlakuan pada tim.

Persoalan yang sepintas sepele, seperti kelayakan hotel pemain dan uang makan petugas kebersihan, pun diperhatikan. Menurut Revie, tak usah ribut-ribut juara jika tak sanggup membuat para pekerja betah ada di Leeds.

Tiga tahun setelah Revie babat alas, Leeds United menjuarai Divisi Dua Liga Inggris dan lolos ke Divisi Utama pada musim selanjutnya. Revie tak ingkar janji. Pada musim kedelapannya, 1968/69, ia mengantar Leeds juara Divisi Utama Liga Inggris. Ini pertama kalinya Leeds menjadi yang terbaik di ranah sepak bola Inggris.

Revie pun menutup perjalanan panjangnya sebagai manajer Leeds dengan manis. Leeds kembali jadi juara pada 1973/74.

***

Tepat di pengujung era Divisi Utama mereka memang jadi kampiun lagi. Leeds merupakan salah satu dari 22 tim perdana di Premier League pada 1992/93. Mereka juga mencapai semifinal Liga Champions 2000/01.

Sayangnya Leeds gelap mata karena terlalu berambisi untuk sukses. Pengeluaran mereka tak bijaksana dan melampaui semua tim di Premier League. Kenaikan jumlah utang klub setiap tahun, mulai dari 9 juta sampai 119 juta poundsterling, tidak diikuti dengan prestasi, melainkan krisis finansial. Ranah sepak bola lantas mengenal istilah doing a Leeds yang berarti kejatuhan bertubi-tubi.

Setelah gagal lolos ke Liga Champions 2002/03, Leeds mesti mengetatkan ikat pinggang dengan melepas para pemain mahal. Mereka tidak akan sanggup membayar utang kalau pengeluaran tak ditekan. Sebagian besar pendapatan penjualan tiket dan hak siar terpaksa dialokasikan untuk mencicil utang.

Pada akhir 2003/04, Leeds malah terdegradasi ke Championship akibat menempati posisi 19 di Premier League. Leeds sampai harus mengambil langkah frustrasi dengan menjual stadion mereka, Elland Road, ke perusahaan berbasis di Kepulauan Virginia, Teak Commercial Limited.

Saat musim 2006/07 menyisakan satu laga lagi, Leeds kembali terlilit masalah. Mereka diganjar hukuman pengurangan 10 poin di liga karena pelanggaran administrasi. Kehilangan 10 poin di pengujung musim membuat Leeds terdepak ke divisi tiga alias League One. Catatan suram ini terjadi pertama kalinya dalam sejarah Leeds.

Apes, Leeds kembali melakukan pelanggaran yang berhubungan dengan keuangan pada 2007/08. Leeds terancam tidak bisa bertanding di League One. Untunglah akhirnya mereka "hanya" dihukum pengurangan 15 poin.

****

Bagi mereka yang berhadapan dengan masa depan yang buruk, memuja masa lalu adalah cara bertahan hidup. Namun, sepak bola bergerak maju, dari permainan menjadi pertandingan, dari olahraga menjadi industri. Mereka yang ingin merawat sejarah mesti berkawan dengan modernisasi.

Radrizzani bukan bagian dari masa lalu Leeds. Yang menjadi urusannya adalah masa kini dan masa depan. Ia peduli setan seandainya sampai dimusuhi kalangan romantis.

Membeli seluruh saham Leeds berarti mengubah doing a Leeds menjadi did a Leeds. Manuver pertama Radrizzani adalah membeli kembali Elland Road. Setelah 13 tahun, orang-orang Leeds akhirnya pulang ke rumah sendiri.

Leeds United Ladies pun dibawa pulang kembali. Sejak 2013/14, tim perempuan Leeds ini memisahkan diri dari klub karena persoalan manajemen yang tak berlarut-larut. Semuanya berawal sejak 2005, ketika bos besar klub, Ken Bates, memutuskan aliran dana ke tim perempuan.

Radrizzani lalu mendatangkan Angus Kinnear dari West Ham United untuk duduk di kursi Managing Director. Ia juga menggandeng Victor Orta sebagai Direktur Sepak Bola. Anak didik Scouting Guru, Monchi, ini bertanggung jawab untuk memimpin perombakan tim.

Para suporter Leeds mesti bersyukur untuk kedatangan Orta karena tanpanya tak akan ada Marcelo Bielsa. Ini bukan pertama kalinya Orta mengincar Bielsa. Baik saat bekerja di Sevilla maupun Zenit St. Petersburg, Orta berupaya mendatangkan 'El Loco' dan berujung kegagalan.

Orta bahkan sebenarnya sudah mengamati Bielsa sejak Piala Dunia 2002 saat masih bekerja sebagai pundit Radio Marca Spanyol. Bielsa, tentu saja, berdiri di pinggir lapangan Timnas Argentina.

Jangan buru-buru menyangka bahwa perjalanan Orta tanpa turbulensi. Toh, Bielsa yang disebut-sebut sebagai rekrutan terbaik Orta itu merupakan manajer ketiga yang diboyong Leeds setelah kedatangan Radrizzani. 

Dua hari setelah Radrizzani mengambil alih kepemimpinan, Garry Monk didepak dari kursi kepelatihan. Kemudian dalam kurun 15 Juni 2017 hingga 1 Juni 2018, Leeds memecat dua pelatih: Thomas Christiansen dan Paul Heckingbottom.

Modernisasi Leeds di era Radrizzani tidak berhenti sampai di mendatangkan Bielsa pada 15 Juni 2018. Mereka juga mengoptimalkan kinerja tim analis yang dipimpin oleh Tom Robinson. Dia bukan orang baru di Elland Road. Robinson sudah ada di sana sejak 10 tahun lalu, ketika masih menjadi mahasiswa magang.

Sebagai data analyst, Robinson memiliki akses ke setiap pemain di sesi latihan dan pertandingan. Ia mentraksi seluruh data kondisi dan kemampuan fisik pemain untuk diolah sebelum diteliti oleh Bielsa.

Data-data seperti itu sangat dibutuhkan Bielsa, termasuk saat Leeds dihantam badai cedera di awal kepelatihannya. Terlebih, Bielsa kerap mengganjar timnya dengan latihan intensitas tinggi. Data real time yang akurat sangat penting untuk menjaga agar latihan dan pertandingan tidak menjadi pedang yang menghujam perut sendiri.

Bersamaan dengan promosi ke Premier League, Leeds mengikat kerja sama dengan Statsports yang juga bermitra dengan Liverpool dan Manchester City. Kesepakatan dengan Leeds bertepatan dengan peluncuran perangkat lunak data traksi terbaru mereka, Sonra 3.0.

Teknologi yang bakal mendukung seluruh sesi latihan Leeds itu memungkinkan para analis untuk mengikuti statistik performa pemain secara real time melalui tablet dan smartwatch. Cara kerjanya cocok dengan Bielsa yang sangat terpaku dengan data.

Yang berkutat dengan data bukan cuma Bielsa dan Robinson. Sejak kedatangan Bielsa, Thorp Arch punya aturan baru: Setiap pemain tidak boleh abai dengan data.

Mereka mesti mengakrabkan diri dengan sport science dan physio science. Di Leeds yang sekarang, tak ada satu pemain pun yang diizinkan untuk bersikap sebagai anti-intelektual. Ini bukan gaya-gayaan, ini modernisasi kultur.

Dalam perspektif Leeds, menjadi modern bukan tentang kebaruan. Menjadi modern adalah membuang apa-apa yang tidak relevan, sekalipun itu berasal dari masa lalu yang bersejarah.

Ambil contoh keputusan taktik Bielsa. Tentangan dari para suporter tidak membuatnya bimbang untuk menjual Pontus Jansson ke Brentford seharga 5,5 juta poundsterling.

Bielsa menganggap bek asal Swedia tersebut mengacaukan harmoni ruang ganti. Bielsa tak ambil pusing meski Jansson merupakan pemain kunci dan favorit suporter dalam 3 tahun terakhir.

Alis para suporter terangkat kian tinggi ketika Bielsa mengutus pemain 21 tahun yang dipinjam dari Brighton and Hove Albion, Ben White, sebagai pengganti Jansson. Pun demikian dengan utak-atik taktiknya yang membentuk Kalvin Phillips menjadi holding midfielder dan Liam Cooper menjadi centre back tangguh dalam sistem 4-1-4-1.

Hal lain yang mesti dibuang jauh-jauh dari Leeds adalah investasi gegabah yang mencekik leher. Kembali pada awal 2000-an tadi, pengeluaran jorjoran menjadi pangkal kejatuhan Leeds.

Sepenting apa pun pemain yang kau punya di tim, ada orang-orang di luar tim yang selama ini menopang lapanganmu agar tak amblas. Orang-orang ini juga harus diselamatkan. Klub tidak akan bisa disebut selamat dari pandemi jika tak berhasil menyelamatkan orang-orang yang bekerja untuknya.

Diinisiasi oleh Kinnear, seluruh pejabat, pemain, dan pelatih bersedia memotong gaji sendiri supaya 272 orang staf dan pekerja lepas klub tak kehilangan penghasilan. Bagi mereka, yang terpenting semua orang di klub tetap bisa bertahan hidup di situasi serbasulit seperti sekarang.

“Side before self, every time.” Orang di sampingmu dulu, baru diri sendiri, setiap saat. Leeds tidak sedang menghidupi nilai yang baru. Kalau mereka bersedia dipotong gaji, mereka hanya sedang menghidupi kalimat yang tertulis di patung pemain terbaik Leeds sepanjang masa, Billy Bremmer, yang terletak di sudut timur Elland Road itu.

Leeds United bukan hanya tentang romantisme. Lagu cinta dari para suporter tidak menjadi satu-satunya pilar yang menopang Leeds melewati tahun-tahun yang buruk. Perjalanan mereka jelas tak semewah Manchester City atau Liverpool. Namun, Leeds memegang pengertian yang sama dengan kedua raksasa itu: Langkah boleh terseok, akal sehat jangan sampai hilang.

Siapa tahu dengan akal sehat itu, para suporter Leeds bisa menyerukan nyanyian baru. Ketika nyanyian “Leeds are falling apart again” terdengar dari tribune suporter lawan, orang-orang Leeds bisa menjawabnya dengan lagu Joy Division yang lain.

We'll drift through it all, it's the modern age. Take care of it all now these debts are paid.” ‘These Days’, mungkin?