Kevin De Bruyne dan Jam yang Meleleh

Foto: @DeBruyneKev.

De Bruyne menjalani musim yang "aneh". Tak banyak assist yang ia ciptakan musim ini. Namun, bukan berarti dia tak berarti buat Manchester City.

Suatu sore Agustus yang panas, pada 1931, Salvador Dali duduk di bangku kerjanya sambil mengunyah makan siang. Dia kemudian mengambil pensil dan menyelipkannya di bawah keju Camembert yang menjadi lebih encer dari biasanya.

Di situlah paranoiac-critical Dali muncul. Ialah sesuatu yang memantiknya untuk membuat karya surealis. Beberapa seniman memang terdorong rasa paranoid sebelum menciptakan sesuatu. Itu menghasilkan dekonstruksi konsep psikologis identitas sehingga subjektivitas menjadi aspek utama karya seni.

Keju Camembert yang mulai mengencer itu membawa pikiran Dali berlari ke waktu— lalu menginspirasinya untuk membuat lukisan jam tangan meleleh. Dia menggambar tiga arloji yang mencair. Bebatauan terjal di sebelah kanan memperlihatkan semenanjung Cap de Creus yang berada di timur laut Catalan. 

Secara harfiah lukisannya merepresentasikan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak relevan. 'The Persistence of Memory', begitu karya itu dinamakan.

Foto: Wikimedia

Ketika Pep Guardiola menginjakkan kaki ke Etihad Stadium pada musim 2016/17, Kevin De Bruyne sudah ada di sana. Setahun sebelumnya, manajemen Manchester City mendatangkan De Bruyne dari Wolfsburg dengan banderol 55 juta poundsterling.

Guardiola dan Dali punya kesamaan. Bukan cuma karena berasal dari Catalunya, tapi karena keduanya memiliki daya imajinatif yang luar biasa. Bila Dali menuangkannya ke 'Persistence of Memory'—yang kemudian menjadi salah satu karya terbaiknya— Guardiola memakai De Bruyne sebagai mediumnya.

Lumrahnya pelatih setidaknya memiliki gacoan dalam timnya. Mereka adalah pemain yang memahami betul keinginan sang juru taktik. Bukan hanya jago, melainkan mampu menggerakkan filosofi permainan tim.

“Kami sudah saling kenal sejak lama dan apa yang telah dia lakukan untuk saya adalah segalanya,” begitu kesan Guardiola terhadap De Bruyne, dilansir dari situs resmi klub.

De Bruyne memang genius. Dia sanggup mengikuti keinginan Guardiola, yang tak hanya rumit tetapi juga perfek. Kalau tidak, bagaimana mungkin De Bruyne bertahan di City sampai detik ini. Bersama Fernandinho dan Raheem Sterling, dia merupakan pemain yang masih digunakan City sejak musim 2015/16 sampai sekarang.

Sejak Guardiola datang, De Bruyne menjajah slot penyetor assist terbanyak City di tiap musimnya. Periode 2018/19 pengecualian karena maestro asal Belgia itu mengalami cedera dan absen panjang.

Yang jadi soal, anomali De Bruyne di musim ini. Baru 3 assist yang dia ukir di Premier League sejauh ini. Padahal, De Bruyne rata-rata memproduksi 14 assist sejak lima musim ke belakang. Apa betul De Bruyne sudah habis?

Begini, De Bruyne adalah tipikal gelandang serang kreatif. Posisi dan peran tersebut membuatnya aktif terlibat aksi ofensif ketimbang defensif. Bisa dibilang tak ada pemain City yang memiliki karakteristik sepertinya sekarang. Itulah mengapa De Bruyne rutin memimpin daftar assist The Citizens dari musim ke musim.

Betul bahwa Guardiola memiliki Bernardo Silva dan Ilkay Guendogan yang cukup rutin dipasang sebagai gelandang. Namun, dari gaya main, mereka tak sama dengan De Bruyne. Silva dan Guendogan ini punya kecenderungan bergerak horizontal. Tidak hanya lihai membantu serangan, tetapi juga mampu menjaga kedalaman. Silva dan Guendogan tetap bisa menjaga kedekatan jarak dengan Rodri. Ini penting demi mengurangi proses transisi City.

Silva dan Guendogan bahkan sanggup memainkan peran sebagai gelandang bertahan dengan ciamik. Guendogan misalnya, pernah membuktikannya di musim 2017/18 ketika melawan Chelsea. Menariknya, City berhasil mencatatkan rekor 902 umpan sukses di laga itu dan Guendogan menyumbang 167 di antaranya. Kuantitas umpan pemain berdarah Turki itu menjadi yang terbanyak di Premier League sejak Opta pertama kali mencatat statistik pada edisi 2003/04.

Sementara Silva menunaikan tugasnya dengan sempurna di awal musim ini. Kemampuan naturalnya sebagai winger memberikan spektrum yang berbeda buat lini tengah City. Determinasi dan kecepatan yang dimiliki Silva membantu Rodri untuk menjaga tempo sekaligus mengawal kedalaman.

De Bruyne tidak sama dengan mereka. Sudah bertahun-tahun dia mengemban peran sebagai playmaker. Dari area operasi yang awalnya di tengah, kini lebih melebar ke tepi.

Foto: Stats Perform

Pada beberapa musim ke belakang kita sering melihat bagaimana De Bruyne intens melepaskan umpan dari sisi kanan atau half space. Sodoran bolanya mayoritas dikonversi penyerang serta winger kiri City. Sebagai gambaran, setengah dari total 20 assist De Bruyne musim 2019/20 diberikan untuk Sergio Aguero (6) dan Raheem Sterling (4).

Yang jadi soal, sekarang City tak lagi memainkan penyerang murni selepas Aguero pergi. Gaya serangan City pun berubah dan itu merembet kepada De Bruyne juga. Menyitat The Analyst, rata-rata crossing pentolan Timnas Belgia itu mengalami penuruan dibanding dua musim lalu. Dari 5,2 per 90 menit menjadi 3,4.

Belum lagi dengan potensi lawan yang mencanangkan skema defensif saat meladeni City. Musuh mereka cenderung bermain lebih dalam dan mengandalkan serangan balik sebagai senjatanya.

Tentu saja De Bruyne menawarkan kreativitas untuk City untuk membongkar pertahanan lawan. Di sisi lain, itu bisa menjadi celah bagi mereka. Pasalnya, untuk aksi bertahan, De Bruyne tidak lebih jago ketimbang Guendogan dan Silva. Menurut Fbref, persentase kesuksesan tekel De Bruyne hanya mencapai 23,5%. Jumlah itu masih jauh dari Guendogan serta Silva yang mengumpulkan 35,3% dan 37,5%.

Guardiola sendiri mengakui bahwa De Bruyne memang kesulitan ketika menghadapi lawan dengan garis pertahanan rendah. Sebagaimana yang diobrolkannya selepas melawan Wolverhampton Wanderers di pertengahan Desember.

“Terkadang dia sedikit kesulitan ketika melawan tim yang bermain cukup dalam seperti Wolves, tetapi kami membutuhkannya,” ujar Guardiola.

Ya, De Bruyne memang punya kelemahan. Akan tetapi, Guardiola sadar bahwa pemain berambut kuning itu masih menjadi kartu as City. Bukan sekali-dua kali dia muncul sebagai penentu kemenangan tim.

Toleh saja lesakannya ke gawang Chelsea dua bulan lalu. Sepakan jarak jauhnya itu adalah kombinasi dari athleticism, teknik, insting, dan finishing pemain level wahid. Kemampuan spesial ini hanya De Bruyne yang punya. Dan perannya menjadi vital, ketika personel ofensif macam Sterling, Jack Grealish, dan Phil Foden mengalami kebuntuan.

Pada Derbi Manchester pun De Bruyne yang jadi bintangnya. Dia mengemas sepasang gol dan satu assist untuk Riyad Mahrez. Bila ditotal, sudah 9 gol yang dibuatnya di Premier League sejauh ini.

De Bruyne tak pernah setajam ini sebelumya. Pada musim lalu setidaknya satu gol dibuatnya per 215 menit pementasan. Sekarang 170 menit. Artinya, meski kuantitas assist-nya jauh menurun, De Bruyne masih bisa memberikan kontribusi lain. Ya, lewat torehan gol.

Toh, soal penciptaan peluang, kemampuan De Bruyne tidak benar-benar hilang. Mengacu WhoScored, rata-rata umpan kuncinya di Premier League mencapai 2,5; tertinggi ketiga setelah Trent Alexander-Arnold dan Bruno Fernandes. 


Yang dibutuhkan De Bruyne sekarang ini adalah waktu. Bagaimana dia beradaptasi dengan posisi serta gaya main City yang berbeda dengan beberapa musim ke belakang. Sejauh ini, De Bruyne masih membuktikan diri sebagai katalis tim. Di mana City butuh bantuan, di sana dia muncul sebagai pahlawan. Bukankah pemain yang hebat adalah mereka yang bisa tetap berkontribusi meski dengan cara berbeda?