Kisah PSG dan Menara Eiffel yang Goyah

Foto: Twitter @PSG_English

Berbeda dengan musim-musim sebelumnya, PSG tampak lebih rapuh. Ia kini layaknya Menara Eiffel yang sempat oleng diterpa angin kencang.

Kita tentu sepakat bahwa Menara Eiffel adalah landmark dari kota Paris dan juga negara Prancis. Berdiri di tengah kota dengan tinggi kurang lebih sekitar 312,27 meter, ia menjelma menjadi kebanggaan orang-orang Paris.

Namun, siapa sangka pada 1999, kejadian yang menakutkan sempat menimpa Menara Eiffel. Ketika itu, Prancis tengah dilanda angin ribut. Badai menyelimuti negara yang diapit oleh Jerman, Belgia, Swiss, Italia, dan Spanyol itu. Nah, akibat badai ini, terjadi perubahan pada Menara Eiffel.

Terjangan badai ternyata membuat Menara Eiffel bergeser 13 cm dari kedudukan asalnya. Hal ini menjadi sebuah memoriam buruk tersendiri, sekaligus menunjukkan bahwa sekuat apa pun Eiffel, ternyata ia masih bisa goyah. Bahkan, hingga kini, kabarnya Eiffel tetap bisa goyah jika terkena angin yang besar.

Kisah goyahnya Eiffel ini seolah berkelindan dengan Paris Saint-Germain, klub sepak bola asal Paris, tempat Eiffel berada. Kini, tampaknya ada angin besar yang sedang menggoyahkan mereka.

***

PSG, terutama selepas akuisisi yang dilakukan Qatar Sports Investments pada 2011, malih rupa menjadi salah satu tim yang paling menakutkan di Prancis. Beragam gelar domestik hadir ke lemari trofi mereka, mulai dari tujuh gelar Ligue 1, lima gelar Coupe de France, enam gelar Coupe de la Ligue, hingga tujuh gelar Trophee des Champions.

Di kompetisi Liga Champions, PSG juga mulai bisa unjuk gigi. Terbaru, mereka mampu menembus partai final Liga Champions 2019/20, setelah di musim-musim sebelumnya acap terhenti di babak perempat final. Jelas, metamorfosis yang terjadi di PSG ini adalah sesuatu yang mengejutkan.

Namun, angin kencang seolah sedang berembus kepada PSG pada 2020/21. Semua bermula dari kepergian para pemain yang jadi pilar PSG sebelum ini, seperti Thiago Silva, Edinson Cavani, Alphonse Areola, hingga Thomas Meunier.

Dari segi posisi di klasemen pun, seperti ada yang kurang dari PSG. Hingga pekan ke-12 Ligue 1, selisih poin PSG dengan pesaing tidak begitu jauh. Tercatat, mereka bahkan hanya berselisih tiga poin dengan tim peringkat lima, Montpellier.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada PSG? Apakah mereka mengalami penurunan kualitas atau memang tim-tim lawan sudah mampu beradaptasi dengan mereka? Mari kita telisik.

PSG musim ini memang akrab dengan inkonsistensi. Dari enam laga terakhir di semua kompetisi saja, mereka menorehkan hasil tiga kali kemenangan, sekali seri, dan dua kali kalah. Ketika melawan AS Monaco, mereka bahkan takluk setelah unggul dua angka terlebih dahulu. Pertandingan tersebut berakhir dengan kedudukan 3-2 untuk kemenangan Monaco.

Di ajang Ligue 1, PSG bahkan sudah menorehkan tiga kali kekalahan. Jumlah ini sama dengan jumlah kekalahan yang mereka catatkan saat menjuarai Ligue 1 musim 2019/20. Tampaknya, memang ada sesuatu yang terjadi dengan mereka, terkhusus di musim ini.

Sejatinya, dari segi taktik, tidak ada yang berubah dari PSG. Mereka kerap menggunakan formasi dasar 4-3-3 atau 4-4-2, tergantung dari lawan yang dihadapi. Mereka tetap menerapkan counter-pressing kepada lawan ketika bertahan, serta kerap melakukan side change dengan cepat saat ada penumpukan yang terjadi di salah satu sisi permainan.

Apiknya permainan PSG ini dapat terlihat dari catatan aksi menyerang dan bertahan yang mereka miliki. Per Whoscored, mereka mampu menorehkan rataan tembakan ke gawang per laga tertinggi ketiga di Ligue 1, yakni 16. Mereka juga memiliki angka xG (expected goals) tertinggi di Ligue 1, yakni 31,88. Jangan lupa, mereka juga masih jadi tim terproduktif di Ligue 1 dengan torehan 30 gol

Untuk catatan aksi bertahan sendiri, selain baru kebobolan 8 gol--jumlah kebobolan paling sedikit di Ligue 1--, PSG juga jarang mendapatkan tembakan dari lawan, dengan rataan tembakan mengarah ke gawang mereka per laga cuma mencapai 10,4 kali. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya, secara umum baik itu ketika bertahan atau menyerang, performa PSG musim ini tetap prima

Nah, yang menjadi masalah adalah, kali ini PSG kerap keteteran menghadapi lawan-lawan yang memang memiliki level yang sama dengan mereka. Di laga-laga besar, karisma yang dimiliki PSG dalam beberapa musim terakhir seolah lenyap. Hengkangnya para pilar seperti Silva maupun Cavani mulai terasa dampaknya.

Selain itu, taktik PSG juga kerap sukses dibalas lawan. Pada laga menghadapi Monaco, sayap PSG jadi bulan-bulanan lawan. Dua full-back PSG kerap telat menutup ruang gerak lawan. Hal yang sama juga terjadi ketika mereka kalah dari Marseille dan Lens, serta imbang melawan Bordeaux. Sayap mereka digempur balik oleh lawan dalam beberapa kesempatan.

Tidak hanya ruang sayap, PSG juga kerap kerepotan menghadapi tim yang berani menekan balik mereka. Kerap ada kepanikan yang terjadi, yang berujung pada eror-eror di lini pertahanan. Mereka juga kerap kehilangan bola di area krusial, seperti ketika menghadapi Marseille.

***

Tidak cuma soal taktikal, penampilan PSG yang kurang maksimal ini juga diwarnai oleh faktor eksternal. Pada awal musim, Pelatih Thomas Tuchel dan Direktur Olahraga PSG, Leonardo, sempat bersitegang. Tuchel mempertanyakan kenapa PSG tidak membeli pemain bagus, apalagi mereka baru saja ditinggal para pilar.

“Saat ini, saya bisa bilang jika kualitas tim menurun. Jangan harap kami dapat meraih hasil yang sama seperti musim 2019/20 silam jika kekuatan tim cuma seperti ini. Ya, saat ini, kami hanya bisa terus berjuang bersama pemain-pemain macam Julian Draxler, Juan Bernat, dan Angel Di Maria,” ujar Tuchel, dikutip dari The Guardian.

Tuchel meminta penguatan di sektor depan, tengah, dan belakang. Ia ingin PSG menghadirkan satu penyerang, satu bek tengah, serta satu gelandang. Hal itu untuk mengkompensasi kepergian Silva, Cavani, dan beberapa pemain kunci lainnya. Tujuannya, agar PSG tetap bisa bersaing di kompetisi domestik dan Eropa.

Namun, menurut laporan PSG Talks, COVID-19 juga memengaruhi pendapatan dari PSG. Disinyalir, mereka diprediksi akan kehilangan pendapatan sebesar 300 juta euro pada 2020. Apalagi, tidak seperti kompetisi Eropa lain, Ligue 1 2019/20 benar-benar dihentikan akibat pandemi COVID-19.

Jadi, jika diakumulasi, PSG akan kehilangan pendapatan dari dua pos, yakni hak siar dan juga penjualan tiket pertandingan pada 2020. Alhasil, mereka memutuskan untuk tidak banyak belanja demi menyelamatkan keuangan klub. Atas alasan ini pula, Leonardo berang kepada Tuchel. Ia pun meminta Tuchel menghormati keputusan manajemen.

“Kata-katanya itu tidak saya sukai, demikian juga manajemen. Jika memang masih ingin di sini, hormati saja keputusan dari manajemen,” ujar Leonardo.

***

Ada masanya ketika PSG pernah berdiri tegak, menjadi penguasa sepak bola Prancis selama beberapa musim. Kini, mereka tengah menghadapi angin besar yang berpotensi menggoyahkan mereka.

Laiknya Eiffel yang juga mengalami pemugaran secara teratur sejak 1980, PSG juga tentunya harus melakukan pemugaran. Tentunya, mereka perlu membeli pemain baru, atau malah, jika memang sudah tidak sejalan dengan Tuchel, mereka bisa merekrut pelatih baru.

Apalagi, pada Kamis (2/12/2020), ada angin besar yang juga sudah menanti mereka di Liga Champions. Mereka adalah Manchester United. Secara taktis, United adalah tim yang berbahaya bagi PSG, karena sayap-sayap mereka begitu hidup.

Belum lagi, United juga lihai memanfaatkan ruang kosong. Plus, mereka kini tengah berada dalam tren positif usai meraih kemenangan 3-2 atas Southampton. Ironisnya, kemenangan United ini diprakarsai oleh mantan pemain kunci PSG sendiri, yakni Edinson Cavani.

Jika tidak berhati-hati, siap-siap saja PSG goyah di Liga Champions, dan tiket mereka menuju ke babak 16 besar akan semakin jauh dari jangkauan.