Kota yang Diterpa Angin

Foto: Wikimedia Commons.

Mereka menyebut Baku sebagai 'City of Winds'. Sepanjang tahun, angin kencang takkan henti-hentinya menerpamu. Namun, Baku hidup berdamai dengan itu.

“She said, ‘Excuse me lil homey, I know you don’t know me. But, my name is Windy and I like to blow trees’.”

Lewat ‘Homecoming’, Kanye West mendedikasikan bait-bait dan beragam verses untuk mengenang kota masa kecilnya, Chicago. Dalam laman ingatan Kanye, Chicago adalah cinta pertamanya.

Karena Chicago adalah cinta pertamanya, Kanye mempersonifikasikannya sebagai seorang gadis kecil bernama Windy. Ini berkenaan dengan karakteristik Chicago yang dikenal di mana-mana: Dingin dan berangin.

Katanya, Chicago menjadi begitu berangin karena ia terletak di pinggir Danau Michigan. Meski begitu, Chicago bukanlah kota di Amerika Serikat dengan angin paling kencang. Di beberapa kota, seperti Dodge City, Amarillo, dan Lubbock, angin disebut-sebut lebih kencang menerpa.

Segala persoalan tentang asal-usul julukan ini mengingatkan saya akan Baku, Azerbaijan. Reza Ordoubadian dalam sebuah tulisan berjudul ‘Politicizing Linguistics’, yang diunggah di Iran Chamber, sepintas menyebut bahwa nama ‘Baku’ ada hubungannya dengan angin.

Seperti halnya ‘Azerbaijan’, yang berasal dari bahasa Persia, ‘Azar’, yang berarti ‘Api’—dan oleh karenanya acap’ disebut sebagai ‘Ath(z)rapathan’ alias ‘Land of Fire’—demikian pula halnya ‘Baku’.

Menurut Ordoubadian, asal kata ‘Baku’ adalah ‘Bad-koobeh’ atau ‘Tertiup Angin’. Etimologi ini berasal dari abad ke-19, ketika Baku sudah dikenal sebagai kota yang musim dinginnya bikin amat menggigil dan angin tak henti-hentinya menggedor dengan keras.

Dalam bahasa Azerbaijan, Baku dijuluki sebagai ‘Küləklər şəhəri’ alias ‘City of Winds’. Julukan ini yang kemudian terbawa sampai era modern, semata-mata karena sepanjang tahun, angin selalu menerpa Baku dengan amat kencangnya.

Dalam mitologi lokal, ada dua macam angin yang berembus melewati Baku. Yang pertama adalah Khazri, sedangkan yang kedua adalah Gilavar. Jika Khazri adalah angin dingin nan kasar, Gilavar adalah angin yang berembus sepoi-sepoi.

Menurut mitologi tersebut, Khazri dan Gilavar adalah sebetul-betulnya penggambaran hidup. Keduanya adalah perkara pergelutan antara kejahatan (yang diwakili Khazri) dan kebaikan (yang diwakili Gilavar). Yang satu datang dari utara membawa huru-hara, yang lainnya berasal dari selatan dengan membawa kehangatan.

Foto: Wikimedia Commons.

Embusan Khazri yang bisa mencapai 140 km/jam disebut-sebut bisa menjadi bencana dan mengganggu perekonomian kota. Namun, selayaknya sebuah berkah yang muncul sehabis mala datang, embusan Khazri membuat temperatur Baku ketika musim panas tiba menjadi lebih sejuk.

Musim panas di Baku terbilang hangat dan lembab, keberadaan Khazri-lah yang kemudian menjadi penawarnya, membuat musim panas di Baku tidak terasa menyengat. Ini berkebalikan dengan Gilavar yang justru lebih hangat.

Namun, berbicara soal Baku bukan hanya berbicara soal asal-usul dan arah datangnya angin. Baku, yang menjadi rumah dari 2 juta dari sekitar 10 juta orang penduduk Azerbaijan, adalah pemilik jejak-rekam dari Azerbaijan itu sendiri.

Apa yang terjadi pada Baku dan Azerbaijan mirip-mirip dengan apa yang terjadi dengan Qatar. Jauh sebelum menjadi negara tajir, Qatar cukup melarat karena sektor perekonomian mereka cuma bergantung pada hasil perikanan dan perburuan mutiara.

Hasilnya jelas tidak seberapa, terlebih ketika Jepang ikut bertarung pada bisnis mutiara. Namun, nasib Qatar berubah ketika eksplorasi minyak dilakukan pada 1939. Bersamaan dengan bisnis mutiara yang mulai terpukul oleh Jepang pada dekade 1930-an, Qatar beralih menjadi negeri minyak.

Keberadaan minyak itu membuat ekonomi mereka, pada era modern, surplus sampai miliaran dolar. Tidak mengherankan, sampai 2020, Qatar mengontrol sekitar 13% cadangan minyak global. Wajar jika pemerintah mereka bisa sampai membuat Qatar Investment Authority (QIA) yang berfokus pada foreign investment.

Di kemudian hari, QIA membuat sebuah anak perusahaan bernama Qatar Sports Investment (QSi) yang dipimpin oleh Nasser Al-Khelaifi. Lewat QSi inilah mereka mengakuisi klub Prancis, Paris Saint-Germain.

Baku, sementara itu, sedari awal sudah bergantung pada gas alam dan minyak. Menurut penuturan Natig Aliyev di Azerbaijan International, asal-usul kedekatan Baku dengan minyak bahkan bisa ditelusuri hingga manuskrip-manuskrip kuno. Bahkan, kata Aliyev, sampai pada masa-masa di mana Kristus masih berjalan di atas bumi.

Dalam manuskrip-manuskrip kuno tersebut, ada banyak pembicaraan mengenai kegiatan menimba minyak dari sumur-sumur dan berbagai kegunaannya dalam hidup, termasuk minyak yang digunakan untuk lampu pada abad ke-15.

Eksploitasi minyak secara komersil kemudian dilakukan pada 1872. Lantas, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para buruh mulai berdatangan ke Baku untuk bekerja pada industri minyak. Pada 1900, Baku sudah memiliki 3.000 sumur minyak dengan 2.000 di antaranya menjadi tulang punggung industri.

Industri minyak di Baku bertahan begitu lama, mulai dari era pra-industrial hingga pasca-Uni Soviet. Soviet sendiri berperan besar dengan membangun pabrik penyulingan minyak pertama pada 1837 di Balaxani, sebuah kota kecil tidak jauh dari Baku.

Ketika Soviet jatuh dan Azerbaijan berdiri, mereka perlahan-lahan berusaha melepaskan diri dari jejak induk lamanya, termasuk dengan memberangus ribuan bangunan yang berasal dari era Soviet. Baku mulai berusaha mandiri mengelola minyak.

Pada 1991, ketika perdagangan minyak dan gas alam mereka mulai mengalami peningkatan, Baku mendapatkan momentum bagus. Pada 1991-2010, harga minyak global juga meninggi. Baku untung besar. Mereka pun mendadak jadi kaya raya.

Dengan modal dari hasil perdagangan minyak tersebut, mereka mulai mempercantik diri. Kini, di Baku, kamu bisa melihat arsitektur bergaya futuristik di tiap sudut, meski bangunan-bangunan bersejarah dari masa lampau masih dipertahankan di bagian Old City.

Berkat pembangunan tersebut, Baku pun kini tidak hanya berfokus pada industri minyak dan gas alam semata. Kini, mereka juga berani mengedepankan industri pariwisata sebagai cara untuk mendulang pundi-pundi.

Dengan begitu, Baku pun mulai membusungkan dada. Sebagai cara untuk mengangkat citra, mereka berani mengusung dan menggelar event olahraga internasional, mulai dari menjadi tuan rumah seri balap Formula 1 hingga kini menjadi salah satu tuan rumah Piala Eropa 2020.

Baku Olympic Stadium, yang mulai dibangun pada Juni 2011 dan dibuka pada Maret 2015, mampu menampung 69.870 penonton. Stadion ini mendapatkan nilai bagus dari UEFA: Bintang empat. Ia biasa digunakan oleh Timnas Azerbaijan dan Qarabag FK pada laga-laga turnamen antarklub Eropa.

Setelah menjadi tuan rumah final Liga Europa 2019, Baku Olympic Stadium bakal menggelar tiga pertandingan Grup A Piala Eropa 2020. Begitu fase grup habis, stadion tersebut bakal menjadi tuan rumah untuk satu pertandingan babak perempat final.

Buat Baku, ini adalah unjuk kemegahan diri. Mereka seperti ingin berkata bahwa sekencang apa pun angin menerpamu, belum tentu kamu akan roboh karenanya. Malah bisa jadi kamu hidup berteman baik-baik dengannya.