Laca si Protagonis Kedua

Foto: Instagram @lacazettealex.

Jika Arsenal adalah sebuah series yang berlanjut dari satu season ke season berikutnya, Aubameyang, sang protagonis, sedang melempem. Beruntung, ada protagonis kedua bernama Alexandre Lacazette.

Tidak ada yang salah ketika para pendukung Arsenal berharap lebih kepada Pierre-Emerick Aubameyang. Dua musim beruntun, Aubameyang menunjukkan bahwa ia tajam dan juga konsisten. Namun, yang terjadi pada musim 2020/21 adalah sebaliknya.

Mari mundur sedikit untuk melihat pencapaian Aubameyang dalam beberapa musim terakhir. Pada gelaran Premier League 2018/19, penyerang asal Gabon itu sukses membuat 22 gol. Torehan itu membuatnya menjadi pencetak gol terbanyak Premier League bersama Mohamed Salah dan Sadio Mane.

Pada musim berikutnya, jumlah gol Aubameyang tak berkurang, kendati juga tak bertambah. Eks penyerang Borussia Dortmund itu kembali mengoleksi 22 gol untuk The Gunners di Premier League. Lagi-lagi, catatan ini menjadikannya salah satu pemain tersubur di kompetisi terelite Inggris tersebut.

Yang jadi persoalan, Aubameyang menyajikan cerita berbeda musim ini. Penyerang berusia 31 tahun itu melempem. Ia malah sempat puasa gol pada lima pertandingan beruntun Arsenal di awal musim—20 September hingga 26 Oktober 2020 alias satu bulan lebih. Sampai sejauh ini, Aubameyang baru mengoleksi 9 gol di Premier League.

Jika Arsenal adalah sebuah series yang berlanjut dari satu season ke season berikutnya, Aubameyang, sang protagonis, sedang melempem. Tiba-tiba saja karakternya jadi terasa membosankan dan hambar. Beruntung, Arsenal masih memiliki Alexandre Lacazette, sang protagonis kedua.

Lewat Lacazette, season Arsenal kali ini sedikit terselamatkan. Dengan torehan 11 gol yang ia buat, Lacazette adalah pencetak gol terbanyak The Gunners sejauh Premier League musim ini berjalan.

Jumlah gol Lacazette musim ini sudah melampaui apa yang ia ukir musim lalu (10 gol di Premier League dan 12 gol kalau ditotal dari berbagai ajang). Bahkan, Lacazette cuma butuh tiga gol lagi untuk menyamai perolehan golnya di musim perdana bersama Arsenal (14 gol, yang merupakan catatan terbaiknya di Arsenal sejauh ini).

Jika berbicara soal perannya di Arsenal, gol memang bukan sesuatu yang menonjol dari Lacazette. Beda cerita apabila kita membicarakan perannya di Olympique Lyon—klubnya sebelum Arsenal. Bersama The Gunners, torehan gol Lacazette sulit untuk disebut luar biasa, tetapi juga tidak jelek-jelek amat. Torehan gol Lacazette dari satu musim ke musim lain baru sebatas bagus atau lumayan.

Setelah mencetak 14 gol pada musim perdananya, ia berturut-turut mencetak 13 gol dan 10 gol. Musim ini, ada tanda-tanda bahwa Lacazette berpotensi menyamai atau bahkan melebihi pencapaian pada musim perdananya itu.

Per catatan Understat, Lacazette rata-rata melepaskan 2,14 tembakan per 90 menit. Jumlah tersebut menjadikannya sebagai salah satu pemain depan paling agresif di skuad Arsenal saat ini. Catatannya memang masih kalah dari Aubameyang (2,29 tembakan per 90 menit) dan Nicolas Pepe (2,84 tembakan per 90 menit), tetapi melihat jumlah gol, Lacazette jelas jadi yang paling efektif. Sementara Aubameyang baru mencetak 9 gol, Pepe baru menorehkan 5 gol.

Kualitas tembakan (atau percobaan untuk mencetak gol) yang dilepaskan oleh Lacazette memang lebih baik daripada Aubameyang dan Pepe. xG alias angka harapan gol Lacazette mencapai 10,99, jauh lebih baik daripada Aubameyang (8,65) dan Pepe (4,45). Dari catatan ini terlihat bahwa Lacazette justru mencetak gol lebih banyak ketimbang angka xG-nya sendiri.

Maka, Arsenal boleh menghela napas. Mereka tidak akan kehilangan protagonis manakala Aubameyang melempem. Lacazette, yang oleh banyak pendukung Arsenal dipanggil dengan ‘Laca’, tidak hanya punya ketajaman, tetapi juga kekuatan mental dan ketenangan.

Musim kemarin, ketika diterpa masalah karena kedapatan menghirup gas tertawa—dan tersebar di media sosial—, ia bisa menghadapinya dengan tenang, setenang kemampuannya membobol gawang lawan yang diperlihatkan pada musim ini.

***

Arsenal datang ke Olympic Stadium, markas West Ham United, pada 21 Maret 2021, dengan dada membusung. Wajar, tim besutan Mikel Arteta itu baru saja mengalahkan Tottenham Hotspur di Premier League dan memastikan diri lolos ke perempat final Liga Europa.

Namun, Arsenal menghadapi pertarungan yang jauh berbeda dari yang mereka perkirakan. West Ham asuhan David Moyes adalah tim yang tricky. Mereka bisa bermain amat defensif dengan bermodalkan garis pertahanan rendah plus dua gelandang kokoh pada diri Declan Rice dan Tomas Soucek, tapi juga bisa bermain amat direct dan melakukan serangan balik dengan mengandalkan kecepatan dan kelincahan pemain-pemain seperti Jesse Lingard dan Michail Antonio.

Lingard sendiri tidak hanya piawai melakukan serangan direct via dribel ke pertahanan lawan, tetapi juga apik dalam melakukan pressing. Inilah mengapa pertahanan Arsenal yang acapkali rapuh dan melakukan eror mendapatkan tantangan yang tidak bisa dibilang enteng.

Laga tersebut memang berakhir dengan kedudukan 3-3, tetapi Arsenal terlebih dulu ketinggalan tiga gol pada babak pertama. Lacazette, yang akhirnya mencetak gol penyama kedudukan pada menit ke-82, dengan gamblang menjelaskan permasalahan timnya pada wawancara selepas laga.

"Pada 35 menit pertama kami tidak patuh kepada strategi permainan yang diinginkan pelatih. Kami memberikan tiga gol kepada mereka, ini bukan sesuatu yang kami inginkan," ucap Lacazette seusai laga.

Ada beberapa poin yang bisa diambil dari pernyataan tersebut. Pertama, Arsenal masih harus membenahi kepatuhan mereka akan instruksi pelatih; kedua, Lacazette telah menjadi sosok yang cukup paham bagaimana semestinya timnya bekerja.

Untuk poin kedua, Lacazette seolah-olah menancapkan otoritasnya sebagai salah satu tokoh penting dalam perjalanan Arsenal. Torehan golnya, plus agresivitasnya di depan gawang lawan, berjalan beriringan dengan keberadaan dirinya sebagai pemain yang mau menanggung beban sekaligus memperingatkan rekan-rekannya.

Bukan kali itu saja Lacazette muncul sebagai penentu atas hasil akhir yang didapatkan Arsenal. Sepekan sebelum laga versus West Ham, penyerang Prancis itu juga jadi penentu kemenangan ‘Meriam London’ atas Tottenham.

Selain acap menjadi penentu hasil akhir Arsenal, Lacazette, menurut koresponden ESPNFC, Julien Laurens, juga merupakan sosok penting di ruang ganti. Inilah salah satu alasan, kata Laurens, mengapa Arteta meyakini bahwa Lacazette bakal menjadi pemain kunci untuk Arsenal sejak ia pertama kali datang sebagai pelatih.

Di mata Arteta, Lacazette adalah pemain depan yang komplet. Tidak hanya bisa mencetak gol, striker 29 tahun tersebut juga bisa ikut terlibat dalam proses build-up serangan Arsenal. Dengan atribut demikian, Arteta pun acap memainkan Lacazette dalam role yang lebih aktif.

Role tersebut bukannya tanpa dampak. Karena lebih aktif terlibat dalam proses build-up serangan Arsenal, posisi Lacazette cukup sering jauh dari gawang. Menurut Laurens, ini menjadi alasan mengapa torehan xG Lacazette, juga golnya, menurun jika dibandingkan dengan masa kepemimpinan Unai Emery.

Berkat kemampuan yang komplet itu juga, Lacazette bisa menjadi penyelesai peluang dan titik tumpu serangan. Ia memang tidak secepat Aubameyang atau memiliki kemampuan olah bola sebagus Martin Odegaard. Namun, Lacazette punya fisik yang kokoh meski tubuhnya tidak terlalu tinggi—hanya 175 cm, cukup pendek untuk ukuran pemain sepak bola di Eropa.

Dengan tubuhnya yang kekar, Laca amat berguna untuk melindungi bola. Kemampuan ini menjadi amat berharga untuk beberapa hal. Yang pertama, Lacazette bisa menahan bola untuk menjadi pemantul atau mengkreasikan ruang untuk rekan-rekannya. Ketika dirinya melindungi bola, winger-winger Arsenal mendapatkan kesempatan maju dan mengeksploitasi ruang yang terbuka.

Yang kedua, karena area operasinya cukup luas, Lacazette juga bisa menjadi titik fokal untuk melakukan serangan balik. Selain bisa menahan bola untuk kemudian mengirimkannya langsung ke rekan, ia juga bisa melakukan pergerakan tanpa bola untuk menciptakan ruang. Dengan begitu, bola bisa dikirim langsung ke area kosong yang sudah ia sediakan.

Dengan role yang aktif di lini serang Arsenal, Lacazette lebih banyak menyentuh bola di tengah lapangan ketimbang di kotak penalti. Tercatat, ia menyentuh bola sebanyak 299 kali di area tengah lapangan.

Jika aspek ofensif belum cukup, mari kita simak bagaimana Lacazette membantu Arsenal dalam aspek defensif. Sebagai pemain depan, nyatanya pemain kelahiran Lyon ini cukup rajin melakukan pressing terhadap lawan yang memegang bola.

Per catatan FBRef, Lacazette total sudah melakukan 269 aksi pressing terhadap lawan dalam 25 penampilan di Premier League musim 2020/21. Dari total 269 aksi tersebut, 121 di antaranya ia lakukan di area attacking third dan 113 di antaranya di middle third. Catatan ini menunjukkan bahwa daya jelajah Lacazette cukup luas bahkan untuk membantu aspek defensif timnya sekalipun.

Torehan dari aspek defensif lainnya, menurut catatan WhoScored, Lacazette rata-rata melakukan 0,5 tekel sukses per laga dan 0,4 intersep sukses per laga. Untuk ukuran pemain depan, ini adalah catatan yang lumayan.

***

Lacazette memiliki sejumlah faktor yang membuatnya layak menjadi protagonis kedua di Arsenal. Ia tidak hanya berpengaruh di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Kemampuan teknis plus work rate-nya yang cukup tinggi membuat pemilik 16 caps untuk Timnas Prancis ini menjadi sosok yang amat krusial.

Kini, Arsenal mendapatkan persoalan pelik. Kontrak Lacazette tinggal tersisa satu musim lagi. Dengan begitu, tim-tim seperti Sevilla, Atletico Madrid, dan Sevilla dikabarkan sudah mengantre dan memantau situasi dari jauh.

Jika Arsenal tidak segera memperpanjang kontraknya, Lacazette bisa pergi dengan gratis pada musim panas 2022. Mengingat Lacazette adalah sosok penting, semestinya The Gunners tahu apa yang mesti mereka lakukan.