Lanturan soal El Clasico

Ilustrasi: Arif Utama.

El Clasico kerap dinarasikan sebagai tradisionalis melawan pemberontak. Meski tidak sepenuhnya salah, narasi tersebut boleh dibilang salah kaprah.

I

“Catalunya.”

Ayah saya punya kemampuan ajaib yang nyaris seperti sihir. Manakala dia berucap, cepat atau lambat pasti akan kejadian.

Saya tidak mewarisi banyak dari dia selain kesenangan menonton film dan sepak bola, The Beatles, dan mulut yang tajam. Kalau boleh memilih, saya ingin menukarkan semuanya dengan kemampuan ajaibnya itu.

Yang bisa saya lakukan hanyalah berpura-pura bahwa saya punya kemampuan tersebut. Kepura-puraan itu akhirnya menjadi semacam mantra. Tiap kali saya menginginkan sesuatu, saya akan mengucapkannya begitu saja.

Syahdan, pada suatu ketika setelah mendengarkan satu album dengan beragam keluhan dari Manic Street Preachers, saya berucap bahwa saya harus menginjakkan kaki di Catalunya dan berjalan-jalan di La Rambla.

Setahun silam, ketika tawaran untuk berkunjung ke Catalunya itu datang, saya tidak menampiknya. Ucapan saya akhirnya tunai.

Catalunya adalah tanah penuh berkah berupa sinar matahari yang melimpah. Pada sebuah perjalanan dari Barcelona menuju Tarragona, saya menikmati sore yang cukup melenakan dari dalam kereta: Saya setengah tertidur ketika matahari menyelinap dari jendela dan kereta itu berjalan cukup pelan. Di sebelah kiri saya laut, di sebelah kanan bukit-bukit.

Lewat kereta juga saya berkenalan dengan Barcelona untuk pertama kalinya pada sehari sebelumnya. Sebelum bertemu dengan Camp Nou, RCDE Stadium, dan La Rambla, saya lebih dulu bertemu coretan-coretan di jembatan dan tembok-tembok stasiun.

Barcelona memang tidak cantik —ia charming. Pesona Barcelona itu justru datang dari jalan-jalan tersembunyi yang tidak rata, tembok-tembok batu berdebu, dan kaca-kaca kumal di sejumlah bangunan.

Camp Nou, yang saya kunjungi pada hari pertama saya di Barcelona, terletak bersebelahan dengan sebuah kampus. Tak ada pertandingan hari itu. Satu-satunya kesibukan yang ada hanyalah turis yang berkunjung untuk sekadar berfoto-foto dan melakukan tur stadion.

Satu-satunya yang menarik perhatian saya adalah poster yang menempel sekenanya pada sebuah tiang listrik. Poster tersebut berbicara dalam bahasa Catalan yang tak satu pun kata yang ia lontarkan saya mengerti.

Foto: Rossi Finza Noor

Poster tersebut menyebut-nyebut nama seseorang: David Raventos. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa Raventos adalah seorang warga asli Barcelona dan waktu itu berusia 50 tahun. Ia adalah pendukung kemerdekaan Catalunya dan sempat melakukan mogok makan sebagai bentuk protes.

Poster tersebut memperlihatkan wajah Raventos, lengkap dengan bendera Catalunya di wajahnya. Saya mengira, poster tersebut pastilah ajakan untuk mendukung gerakan yang Raventos lakukan.

Ketika saya tiba di Barcelona, saya sepenuhnya sadar bahwa keadaan waktu itu cukup genting. Yang tidak saya sadari, kegentingan itu berada dekat sekali dengan saya dan bisa meletup sewaktu-waktu.

Satu hari setelah meninggalkan Catalunya, saya mendapatkan kabar bahwa demonstrasi pecah. Bandara di Barcelona, tempat saya tiba dan pulang, lumpuh. Telat satu hari angkat kaki, entah berapa lama saya bakal terjebak di sana.

II

“He Preferred to Sign Death Sentences.”

Richard Fitzpatrick menjuduli bab kedua bukunya, ‘El Clasico’, dengan sebuah kalimat yang cukup tajam. Di situ, ia berbicara soal bab paling sengit dari sejarah rivalitas antara Real Madrid dan FC Barcelona, El Baño del Siglo.

Halaman pertama bab tersebut menghadirkan Jose Finat y Escriva de Romani sebagai tokoh utamanya. Ia hadir sebagai tokoh yang patriotik —atau lebih tepatnya patriotik untuk negaranya.

De Romani memiliki gelar Count of Mayalde. Selain itu, ia juga kepala dari state of security dari pemerintahan Jenderal Francisco Franco.

Banyak yang mengira bahwa Franco adalah pendukung Real Madrid meski kenyataannya dia adalah politikus yang pragmatis. Sebagai politikus yang pragmatis —dan juga fasis— ia butuh kendaraan untuk didomplengi. Semua demi pencitraannya.

Franco, yang sebetulnya tidak menyukai sepak bola, menyadari bahwa sepak bola bisa menjadi alat untuk menarik perhatian publik. Setelah sempat mendompleng Atletico Madrid, Franco kemudian mendompleng El Real. Ia melihat Madrid sebagai front ideologinya.

Hari itu, pada semifinal kedua Copa del Generalisimo 1943, adalah hari yang kalau bisa sebaiknya ditolak saja oleh Barcelona. De Romani, dengan loyalitasnya yang tidak berbatas pada Franco, mendatangi ruang ganti Barcelona dan menodongkan sebuah ancaman.

Foto: Twitter @WorldSoccerShop

“Jangan lupa,” kata dia, “bahwa beberapa dari kalian bisa bermain hari ini karena kemurahan hati rezim yang melupakan kurangnya patriotisme dalam diri kalian.”

Menurut Fitzpatrick, De Romani menuding tiga orang, Jose Raich, Josep Escola, dan Domingo Balmanya. Ketiganya pergi meninggalkan Spanyol ketika Civil War pecah karena emoh mengalami nasib yang sama dengan Josep Sunyol.

Sunyol adalah anggota partai sayap kiri Catalunya, Esquerra Republicana de Catalunya. Pada Agustus 1936, Sunyol tengah berkendara di Guadarrama, sebuah kawasan pegunungan di luar Madrid. Ia diduga ditangkap oleh pasukan Franco dan ditembak mati. Tubuhnya tidak pernah ditemukan.

Ucapan De Romani disinyalir membuat para pemain Barcelona hilang gairah. Real Madrid pun menang telak 11-1. Dalam bab sejarah rivalitas kedua kesebelasan, kejadian tersebut disebut sebagai El Baño del Siglo alias The Bath alias The Drowning of The Century.

Bagi Barcelona, kekalahan itu menjadi pangkal dari sakit hati mereka. Sementara, Real Madrid, menurut Sid Lowe, memilih untuk tidak peduli. Toh, mereka juga emoh untuk diasosiasikan dengan Franco.

Namun, El Baño del Siglo pada akhirnya menjadi pangkal dari rivalitas kedua kesebelasan yang sebelumnya justru tidak pernah ada.

III

Madridistas.”

Jimmy Burns menceritakan asal-usul Real Madrid itu dengan penuh ketelitian. “Klub yang kelak ditakdirkan menjadi rival abadi Barca itu, Real Madrid, atau Madrid FC, sebagaimana nama mereka awalnya diregistrasikan pada 1902, juga punya kepribadian awal yang dibentuk oleh orang-orang Inggris,” tulis Burns pada bab keenam bukunya, ‘La Roja’.

Burns adalah orang Inggris yang lahir dari bapak berdarah Basque dan ibu berdarah Castillian. Ia lahir di Madrid pada 1953 dan pertama kali mengenal sepak bola dari teman sekolahnya yang bernama Mendiazabal. Burns tidak ingat apa nama pertama teman sekolahnya itu, tetapi tahu bahwa Mendiazabal berdarah Basque —sama seperti dirinya.

Burns kemudian mengulas sepak bola Spanyol dari sisi sejarah dan menemukan banyak kesamaan antara dirinya dan sepak bola Spanyol —mereka sama-sama berasal dari beragam akar. Salah satu bangsa yang punya peran penting dalam pembentukan akar sepak bola Spanyol adalah Inggris.

Real Madrid juga punya akar yang beragam. Kata Burns, mereka bahkan mempelajari peraturan sepak bola dari buku yang diimpor langsung dari Manchester. Sementara, warna putih yang dikenal sebagai warna kebesaran mereka sampai saat ini adalah hasil menjiplak dari warna seragam Corinthian, klub sepak bola amatir yang berbasis di London pada 1882 hingga 1939.

Foto: These Football Times

“Bahkan dalam era pramodern para tradisionalis di Madrid, dan sepak bola Spanyol, tetap berutang pada akar asingnya,” tulis Burns lagi. Ia lantas menyebut nama Arthur Johnson, seorang free-thinker dan pebisnis asal Irlandia (meski Johnson sendiri menyebut dirinya sebagai Englishman), yang menjadi salah satu pemain pertama Real Madrid. Johnson juga yang membagi skill-nya dalam bermain sepak bola dan filosofinya akan hidup kepada pemain-pemain lainnya.

Mengingat Real Madrid dan Barcelona punya utang akar dari bangsa asing, sesungguhnya menjadi amat lucu mengategorikan rivalitas keduanya sebagai persaingan antara tradisionalis dan pemberontak belaka.

Kalau akhirnya bumbu rivalitas identitas itu ada, silakan menodong pada jasad Franco yang kini berbaring di Mingorrubio.