Lautaro Kembali

Foto: @lautaromartinez

Lautaro kembali menunjukkan insting setelah sempat gagal mencetak gol dalam delapan laga Serie A beruntun

Demi menjadi lakon utama, Lautaro Martinez memilih bertahan di Inter Milan meski sekarung uang sudah menunggu di depan mata.

Lautaro paham rasanya menjadi lakon utama. Sejak memulai karier profesional di Racing Club, 2015 lalu, ia sudah disorot media. Ketika itu, ia dipanggil tim utama Racing setelah berhasil mencetak 53 gol dari 64 penampilan di tim cadangan.

Tak hanya media, beberapa klub besar juga memonitor kemampuan Lautaro. Real Madrid jadi kesebelasan pertama yang kepincut. Kesempatan bergabung dengan Madrid terlewatkan setelah Lautaro mengaku belum siap meninggalkan Argentina.

Berikutnya ada Borussia Dortmund dan Inter Milan. Keduanya datang nyaris di waktu yang bersamaan pada 2018. Setelah melakoni negosiasi alot yang berujung mahar sekitar 20 juta euro, Inter akhirnya mendapatkan jasa Lautaro.

Pindah ke Italia membuat Lautaro seperti kehilangan semuanya. Satu di antaranya adalah kenyataan bahwa ia tidak lagi pemeran utama. Ada nama-nama lain yang lebih dicintai klub dan disanjung penggemar.

Saat Lautaro datang, ia langsung berada di bawah bayang-bayang Mauro Icardi. Menggeser Icardi bukan perkara mudah. Selain menjabat sebagai penyerang utama, Icardi adalah kapten tim saat itu. Tidak heran, menit bermain yang rutin ia dapatkan di Argentina tidak terjadi di Italia.

Kepergian Mauro Icardi pada musim 2019/20 ditutupi dengan kedatangan Romelu Lukaku. Adanya Lukaku membuat Lautaro diyakini bakal kembali menjadi penghuni bangku cadangan. Tapi, siapa sangka yang terjadi malah sebaliknya?

Pelatih Inter saat itu, Antonio Conte, menjadikan 3-5-2 sebagai pola utama. Dua posisi di lini depan rutin diisi oleh Lukaku dan Lautaro. Keduanya nyaris tidak tergantikan di lini depan. Bahkan di akhir musim keduanya menjadi pemain dengan penampilan terbanyak untuk Inter musim itu.

Conte boleh saja memberikan Lukaku dan Lautaro kesempatan yang hampir sama. Namun, di atas lapangan tampak bagaimana Lukaku lebih “disayang” Conte. Lukaku tidak hanya menit bermain lebih banyak tapi juga kesempatan bermain di posisi kesukaannya.

Satu kejadian yang dianggap sebagai bentuk sayang Conte terhadap Lukaku adalah laga melawan AS Roma musim 2020/21 lalu. Di laga tersebut, Lautaro kecewa setelah diganti dengan Andrea Pinamonti pada menit ke-77.

Lautaro kesal karena ia baru masuk pada menit ke-36 menggantikan Alexis Sanchez yang cedera. Dan pertanyaannya mengapa Conte tidak menggantikan Lukaku yang bermain sejak menit pertama dan mulai kedodoran.

Lautaro jadi salah satu nama yang diprediksi bakal pergi saat Inter ramai melepas sosok-sosok kunci, seperti Conte, Lukaku, dan Achraf Hakimi, musim panas lalu. Ketika itu, Lautaro dihubung-hubungkan dengan dua klub Inggris, Arsenal dan Tottenham Hotspur.

Seiring berjalannya waktu, Spurs dan Inter sepakat soal transfer Lautaro. Angka 60 juga poundsterling yang ditawarkan oleh Spurs ternyata tidak bisa ditolak oleh Inter. Meski demikian, transfer tidak terlaksana setelah Lautaro memutuskan bertahan di Inter.

***

Lautaro mengakui bahwa ia betah di Italia dan itu menjadi alasan terbesarnya enggan pergi dari Inter. Ia makin senang setelah tahu bahwa Simone Inzaghi ditunjuk sebagai pelatih menggantikan Conte. “Saya menyukai apa yang ia lakukan di Lazio dan tidak sabar untuk segera bekerja sama,” kata Lautaro, Juli 2021.

Kini, delapan bulan mereka sudah bekerja sama. Meski demikian, perpaduan keduanya tidak selalu mulus. Lautaro sempat mandul dalam beberapa pertandingan. Inzaghi disebut sebagai penyebab utama masalah tersebut.

Dua musim di bawah Conte, Lautaro tidak pernah memiliki masalah dengan ketajaman dan kreativitas. Nyaris setiap pekan ia menyumbangkan gol atau berperan dalam gol yang dicetak oleh Inter. Penampilan apik pun menjadikannya sebagai pencetak gol terbanyak kedua Inter dalam dua musim terakhir.

Masalah ketajaman dan kreativitas Lautaro terjadi pada Desember 2021 hingga awal Maret 2022 lalu. Ia gagal mencetak gol dan membuat assist dalam delapan pertandingan Serie A berturut-turut. Ini pun jadi rekor terburuk Lautaro selama memperkuat Inter.

Perbedaan taktik Inter di bawah Conte dan Inzaghi dianggap menjadi penyebab. Di bawah Conte, Lautaro diberi peran free role. Ia bisa saja berada di belakang atau di depan Lukaku. Sementara itu, di era Inzaghi, Lautaro kerap dimainkan di belakang Edin Dzeko yang menjadi pemantul.

Dengan bermain dalam peran free role, Lautaro bisa memanfaatkan kemampuannya dalam mencari ruang di dalam kotak penalti. Saat itu, Lautaro memiliki kebiasaan untuk bergerak di area antara bek sayap dan bek tengah yang diakhiri dengan meminta umpan terobosan.

Selain umpan terobosan yang berakhir dengan membuat peluang, Lautaro juga kerap dimanfaatkan oleh Conte untuk tumpuan serangan di sepertiga akhir pertahanan lawan. Dari 14,8 umpan per pertandingan yang dilepaskan oleh Lautaro, 50% di antaranya terjadi di area tersebut.

Di tangan Inzaghi, Lautaro bermain di belakang Dzeko dan dalam area yang nyaris sama dengan Nicolo Barella. Semula, semua berjalan mudah hingga akhirnya Lautaro mulai terlihat kesulitan.

Kesulitan Lautaro disebabkan oleh penempatan posisinya yang kadang berada di area pemain lain. Hal ini membuat Inter, yang sebetulnya berhasil memaksimalkan Dzeko sebagai pemantul, tidak memiliki pemain di area belakang penyerang.

Masalah tersebut membuat Inzaghi memutar otak. Ia mengorbankan Dzeko untuk bermain di belakang Lautaro. Tugas Lautaro kini hanya bergerak diagonal di garis pertahanan lawan sembari menunggu umpan terobosan.

Percobaan tersebut sukses. Dua gol Lautaro ke gawang Salernitana dimulai dari kepiawaiannya membaca garis pertahanan lawan yang mulai goyah. Sepanjang laga melawan Salernitana, Lautaro bahkan menciptakan empat aksi seperti itu.

Sejak perubahan tersebut, Lautaro kini telah mengoleksi empat gol. Meski ia gagal mencetak gol di laga melawan Torino, pekan lalu ia berhasil menunjukkan kembali instingnya dalam mencari posisi yang sempat hilang.