Lazio vs AS Roma: Adu Penggah Lini Tengah

Foto: @ASRomaEN

Menilik konsistensi performa, Roma sangat mungkin menang atas Lazio. Namun, seperti orang-orang bilang, derbi tidaklah semudah pertandingan biasa.

Sejak tiga hari lalu Jose Mourinho terus mengeluh soal kartu merah Lorenzo Pellegrini. Tak seharusnya Antonio Rapuano memberikan kartu kuning kepada Pellegrini di pengujung duel versus Udinese, demikian narasi yang ia bangun. Mourinho sampai berniat melakukan banding. Tujuannnya jelas, agar Pellegrini boleh turun saat AS Roma bertarung dengan Lazio pada Minggu (26/9/2020).

“Jika ada cara untuk menarik suspensi ini, kami harus melakukannya agar ia bisa tampil besok Minggu,” ucap Mourinho kepada DAZN.

Untuk kali ini Mourinho ada benarnya. Ia bukan sekadar cari gara-gara. Pelanggaran Pellegrini kepada Lazar Samardzic masih bisa diperdebatkan. Kalaupun betul, hukuman kartu kuning juga dirasa berlebihan.

Kehilangan Pellegrini membuat Roma merugi. Lebih dari sekadar kapten, ia adalah motor permainan. Mourinho memfungsikan Pellegrini sebagai secondline dalam wadah 4-2-3-1: Mengkreasi peluang sekaligus mencetak gol tugasnya. Rata-rata umpan kuncinya menjadi yang tertinggi (2,2). Belum lagi dengan predikatnya sebagai topksorer sementara Roma lewat 6 golnya di lintas ajang.

See? Masuk akal kalau Mourinho ngomel-ngomel duluan. Ia tahu segalanya menjadi lebih sulit jika tanpa gelandang 26 tahun tersebut.

Namun, sulit bukan berarti tak mungkin, apalagi Mourinho punya bekal catatan mentereng saat bersua Lazio. Dari tujuh kesempatan, lima di antaranya berhasil ia menangi. Sementara sisanya, masing-masing sekali imbang dan kalah.

Secara garis besar, titik terkuat Roma era Mourinho ada di lini tengah. Ini tentang bagaimana ia membagi peran dari masing-masing gelandangnya. Jordan Veretout dan Bryan Cristante. Walaupun sama-sama berposisi sebagai gelandang bertahan, keduanya punya peran berbeda. Cristante punya porsi deep-lying playmaker sedangkan Veretout sebagai gelandang box to box.

Nama yang disebut belakangan paling mencolok. Veretout juga tajam selain mafhum mengeksploitasi celah. Sudah 3 gol dibuatnya di Serie A, terbanyak bersama Pellegrini. Angka harapan golnya juga relatif tinggi:1,48. Jumlah itu bahkan lebih baik ketimbang striker-striker kondang (dengan jumlah gol yang juga 3) macam Victor Omsinhen, Olivier Giroud, dan Dusan Vlahovic.

Untuk menyiasati absennya Pellegrini, Maurinho kemungkinan bakal menggeser Henrikh Mkhitaryan ke tengah dan menaruh Stephan El Shaarawy di tepi kiri. Itu bukan formula yang buruk. Meski cuma serep, Shaarawy sudah mengumpulkan 3 gol di berbagai kompetisi. Sementara Mkhitaryan bisa difungsikan sebagai pencari ruang. Ia sudah terbiasa memainkan free-role sejak awal musim.

Mourinho melegalkannya untuk bergerak dari area sayap atau tengah. Itu tepapar lewat golnya lawan Fiorentina bulan lalu. Ia masuk ke tengah sementara Tammy Abraham bergerak ke samping. Skema semacam ini pula yang membuat lini depan Roma menjadi cair.

[Baca Juga: Di Pundak Mereka, Roma Menaruh Beban (dan Harapan)]

Di lain sisi, Lazio cukup buruk dalam mengantisipasi fluiditas serangan lawan. Perubahan posisi Luis Alberto ke gelandang tengah nyatanya memengaruhi keseimbangan tim dalam bertahan.

Betul bahwa pemain asal Spanyol itu begitu berguna sebagai jembatan dari lini belakang ke depan. Tapi, untuk aksi defensif, lain soal. Ia hanya mencatatkan rata-rata 0,2 intersep per laga. Angka itu jauh tertinggal dari Lucas Leiva yang mengumpulkan 1,4 di tiap pertandingannya.

Dari ketiga gelandang reguler Maurizio Sarri, cuma Leiva yang punya statistik bertahan ciamik. Masuk akal karena ia adalah tipikal gelandang bertahan, berbeda dengan Alberto dan Sergej Milinkovic-Savic.

Nyatanya ini menjadi salah satu akar kekalahan Lazio dari AC Milan di giornata ketiga lalu. Alih-alih menguasai permainan, Biancocelesti justru keteteran menerima gempuran lawan. Bila ditotal, Milan berhasil melepaskan total 10 tembakan di dalam kotak penalti. Jauh meninggalkan Lazio yang cuma empat.

Sejak keok 0-2 dari Milan, Lazio belum pernah menang. Dari 3 laga terakhir mereka kemasukan 4 kali dan cuma mampu mencetak 3 gol. Produktivitas bukanlah problem yang seharusnya Lazio alami. Wong, mereka sukses merangkum 9 gol di dua giornata awal.

PR Sarri, ya, memaksimalkan goalgetter selain Ciro Immobile. Ia terlampau dominan. Sebanyak 50% dari 12 gol Lazio di Serie A lahir darinya. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau Immobile gagal menunaikan tugasnya.

Felipe Anderson bisa menjadi opsi potensial. Winger 28 tahun ini ampuh melakoni berbagai tugas. Entah itu aksi bertahan dan menyerang. Whoscored mencatat rata-rata tekelnya menyentuh 2,6 per laga atau tertinggi kedua setelah Leiva. Kemampuan ofensif Anderson jangan ditanya lagi. Ia mengukir 2,6 dribel dan 1,6 key pass per 90 menit. Statistiknya itu menjadi yang tertinggi dibanding para koleganya.

Kompetensi Anderson beririsan dengan kelemahan Roma di sisi kanan. FYI, 3 dari 4 gol terakhir ke gawang Giallorossi berasal dari sisi kanan pertahanan mereka. Itulah kenapa, determinasi dalam memotong serangan lawan kecepatan, skil individu, plus kreativitas Anderson bakal membantu Lazio di laga derbi nanti. Setidaknya untuk mengurangi beban kerja Alberto dan Milinkovic-Savic sekaligus menjadi goalgetter alternatif Immobile.

Di atas kertas Roma sedikit unggul atas Lazio. Performa mereka lebih konsisten dari si tetangga yang lagi turun-turunnya. Namun, seperti orang-orang bilang, derbi tidaklah semudah pertandingan biasa. Salah satu dari keduanya bisa terjungkal di sana. Siapa sangka malah Roma yang nanti menjadi korbannya.