Leeds United: March(ing on) with Jesse Marsch

Foto: @LUFC

Leeds memulai Maret dengan lembar baru. Mereka telah memecat Marcelo Bielsa dan mengangkat Jesse Marsch sebagai pengganti. Untung atau buntung?

Sudah dua tahun lamanya Victor Orta memantau Jesse Marsch. Maka ketika Marcelo Bielsa angkat kaki, Leeds United langsung menunjuknya sebagai pengganti. 

Orta adalah Direktur Sepak Bola Leeds. Dia bertugas untuk merancang sistem yang membuat tim dapat menghidupi sepak bola yang sesuai dengan filosofi klub. Dalam kasus ini ada dua alternatif yang harus dipilih: Meninggalkan filosofi warisan Bielsa atau membentuk karakter baru untuk Leeds. Opsi pertama yang kemudian diambil.

Leeds sudah kadung mengimani ajaran Bielsa. Empat tahun dia di sana dan membentuk tim sedemikian rupa demi menunjang skema Murderball. Pressing total di tiap jengkal lapangan telah menjadi identitas Leeds.

Leeds paham betul pengaruh Bielsa. Makanya Orta diutus mencari pengganti yang punya karakteristik serupa dengan arsitek asal Argentina itu. Lagi pula, Leeds tengah dikejar waktu. Mereka hanya berjarak 2 poin dari zona degradasi dan Premier League juga tinggal menyisakan 11 pertandingan lagi.

So, lebih bijak bagi Leeds untuk melanjutkan warisan permainan Bielsa ketimbang menggaet pelatih dengan karakteristik berbeda. The Peacocks kemudian menunjuk Marsch. Yakali Raphinha dkk. akan dilatih nakhoda konvensional macam Sean Dyche atau Steve Bruce?


Marsch menjadi juru taktik setelah pensiun sebagai pemain. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi asisten pelatih Timnas Amerika Serikat (AS). Baru kemudian menyandang status pelatih utama Montreal Impact pada 2012.

Tiga tahun berselang klimaksnya. Marsch membantu New York Red Bulls meraih Suporters’ Shield. Suporters’ Shield merupakan penghargaan tahunan untuk tim Major League Soccer (MLS) dengan rekor musim reguler terbaik. Di musim 2015 itu Marsch juga dinobatkan sebagai pelatih terbaik MLS. 

Terpikat dengan performa ciamiknya, Red Bull kemudian memanggil Marsch ke Jerman. Di sana dia diutus menjadi asisten Ralf Rangnick yang waktu itu membesut RB Leipzig. Bukan lagi rahasia bahwa Rangnick menanamkan gaya main proaktif dan cepat. Itu dibarengi dengan intensitas pressing yang tinggi. Filosofi yang kemudian menjadi cetak biru klub-klub milik Red Bull.

Marsch mempelajari betul ajaran Rangnick dan menerapkannya saat pindah ke cabang Austria, Red Bull Salzburg. Hasilnya fantastis. Pria kelahiran Wisconsin itu mempersembahkan gelar Liga Austria dan Piala Austria dua musim beruntun. Baru di musim 2021/22 Marsch Kembali ke Leipzig. Dia menggantikan Julian Nagelsmann yang hengkang ke Bayern Muenchen. Namun, kebersamaan Marsch dengan Leipzig hanya seumur jagung. Rentetan hasil buruk membuat keduanya memutuskan untuk berpisah.

Secara garis besar, Marsch dan Nagelsmann mempunyai perbedaan. Sementara Marsch menganut sistem direct, Nagelsmann cenderung ke penguasaan bola. Ini kemudian memengaruhi adaptasi para pemain Leipzig. Mereka kesulitan menuruti isi kepala Marsch. Andre Silva salah satunya. Dia tak memiliki kecepatan mumpuni sehingga kesulitan mengikuti tempo cepat Marsch. Pada akhirnya bukan hanya gol, jumlah tembakannya pun minim (satu tembakan per laga).

Metode pressing yang dicanangkan Marsch juga berimpak kepada lini pertahanan. Dia menghilangkan man-to-man oriented ala Nagelsmann dan mengubahnya menjadi lebih zonal. Harusnya ini cocok dengan karakteristik pemain Leipzig. Namun, kenyataannya tidak demikian. Hengkangnya pilar-pilar macam Marcel Sabitzer, Dayot Upamecano, dan Ibrahima Konate memengaruhi stabilitas tim.

Belum ditambah dengan cederanya Marcel Halstenberg yang memainkan peranan vital di lini belakang. Dengan begitu, Marsch cuma bisa bertumpu kepada Lukas Klosterman dan Angelino yang notabene personel reguler musim lalu.

Masuk akal kalau kemudian Leipzig timpang. Pendekatan agresif yang disalurkan Marsch menjadi bumerang karena tak didukung dengan SDM yang cocok. Hanya 38,1% persentase kemenangan Marsch bersama Leipzig. Dari total 21 pertandingan itu timnya mencetak 43 gol dan kemasukan 31 kali.

Lantas, bagaimana kans Marsch di Leeds?

Begini, Marsch ini punya kecenderungan memacu anak asuhnya bermain dengan intensitas tinggi, direct, dan agresif. Ya, setipe dengan Bielsa. Pressing menjadi aksi primer. Itu bisa ditengok dari bagaimana cara Leipzig bermain. 

Selama Marsch memimpin di 14 pertandingan, Passes Per Defensive Action (PPDA) mereka ada di angka 9,4. Di Bundesliga, jumlah ini terendah kedua setelah Koeln. Ya, PPDA yang minim merepresentasikan tingginya intensitas tim dalam melakukan pressing. Nah, Leeds-nya Bielsa juga sama. Sejauh ini mereka mencatatkan PPDA 9,7 atau yang terendah di antara kontestan Premier League lainnya.

Kendati begitu, gaya pressing berpotensi memunculkan risiko. Sekali saja luput, pemain lawan akan dengan mudah memanfaatkan ruang kosong. Itulah problem Leeds sekarang. Sudah 60 kali gawang mereka bobol—terbanyak di liga. Bahkan, 20 gol di antaranya tercipta di lima pertandingan terakhir.

Kekalahan 0-4 dari Tottenham menunjukkan kelemahan man-marking yang Bielsa terapkan. Penjagaan satu vs satu membuat pemain rentan untuk keluar dari areanya. Terdapat momen ketika Luke Ayling, yang mengisi full-back kanan, menguntit Son Heung-Min hingga ke area Tottenham. Di waktu yang bersamaan, Dejan Kulusevski juga menarik Junior Firpo ke tengah. Dengan begitu, tercipta celah di sisi kiri pertahanan Leeds.


Marsch jelas tak akan mengubah Leeds menjadi tim defensif. Namun, dia bisa membenahi lini pertahanan mereka yang jeleknya minta ampun. Berbeda dengan Bielsa yang menerapkan man-marking, Marsch cenderung berorientasi kepada bola.

Para pemainnya dituntut untuk bergerak ke arah bola bergulir. Pressing ini bersifat masif demi mempersempit ruang gerak pemain lawan. Semakin banyak pemainnya yang menekan, semakin besar pula peluang untuk merebut ball possession.

Kendati begitu, gaya bertahan semacam ini tetap saja bercelah. Bakal riskan menghadapi pemain lawan yang jago dribel. Mereka bisa dengan mudah untuk mengeliminasi penjagaan lebih dari satu pemain dan itu akan membuat repot barisan belakang.

***

Well, secara matematis, keputusan Leeds menunjuk Marsch adalah langkah tepat. Dialah figur yang pas untuk mewarisi filosofi dan skuad yang dibangun Bielsa sejak empat tahun lalu. Namun, yang perlu diingat, Premier League bukanlah tempat yang menyenangkan buat manajer asal AS. Bob Bradley sang pionir, hanya bertahan tujuh pertandingan bersama Swansea di musim 2016/17. Disusul David Wagner yang membawa Huddersfield promosi ke Premier Leaague pada edisi 2017/18 dan dilepas satu setengah musim kemudian.