Letupan Besar Ismaila Sarr

Ismaila Sarr, tumpuan utama Watford sepeninggal Troy Deeney. (Instagram/@ ismaila_sarr_18)

Kiprah di Watford tak melulu mudah bagi Ismaila Sarr. Namun, setiap kali terpuruk, dia selalu mampu bangkit. Sepeninggal kapten Troy Deeney, Sarr menjadi tumpuan utama The Hornets.

Troy Deeney telah memberikan segala yang dia miliki untuk Watford. Sejak datang pada 2010 dari Walsall, Deeney terlibat dalam berbagai momen monumental bersama The Hornets. Yang paling masyhur, tentu saja, adalah gol ke gawang Leicester City pada semifinal playoff promosi Championship musim 2012/13.

Pemain sayap Leicester, Anthony Knockaert, dijatuhkan di kotak penalti oleh bek Watford asal Italia, Marco Cassetti, saat pertandingan memasuki menit-menit akhir. Dalam laga itu Watford tengah unggul 2-1, tetapi Leicester sukses memetik kemenangan 1-0 pada pertemuan pertama sehingga skor agregat saat momen itu terjadi adalah 2-2.

Dengan hadiah penalti dari wasit, Leicester punya kans besar untuk meraih kemenangan sekaligus lolos ke Wembley untuk melakoni final playoff kontra Crystal Palace. Keabsahan penalti itu sebetulnya sangat bisa diperdebatkan karena, dari tayangan ulang, terlihat bagaimana minimnya kontak yang dilakukan Cassetti kepada Knockaert. Namun, keputusan wasit Michael Oliver sudah final dan tak lama kemudian Knockaert bersiap mengeksekusi penalti.

Apa yang seharusnya tidak terjadi berujung pada sesuatu yang tak pernah terjadi. Penalti itu tak semestinya diberikan dan Tuhan tidak tidur. Tuhan tahu ada ketidakadilan di Vicarage Road hari itu dan memutuskan untuk melakukan intervensi. Kiper Watford, Manuel Almunia, menjadi perwujudan-Nya.

Sepakan Knockaert berhasil dibaca oleh Almunia. Ketika Knockaert mencoba memanfaatkan bola muntah pun, lagi-lagi, kiper asal Spanyol tersebut mampu menggagalkan upayanya. Tak lama kemudian, seorang pemain Watford menyapu bola jauh-jauh dari kotak penalti.

Bola yang jatuh ke sayap kanan terus dialirkan ke depan kepada Fernando Foristieri yang kemudian mengirim umpan silang. Umpan itu tidak sempurna. Ia mengarah ke tiang jauh dan tidak bisa dikonversi langsung menjadi gol. Namun, gelandang Watford yang menerima umpan itu, Jonathan Hogg, memang tidak berniat mencetak gol. Dia mengarahkan bola ke tengah kotak penalti dan Deeney menyambarnya dengan sepakan setengah voli.

Gawang Leicester bobol, Deeney berlari kesetanan sambil mencopot kausnya, dan Vicarage Road larut dalam pesta pora. Bahwa pada akhirnya Watford gagal meraih tiket promosi, itu tak jadi soal karena sampai sekarang pun yang terekam di ingatan orang-orang adalah sekuens spektakuler ini. Berkat gol itu (dan tentu saja hal-hal lainnya), Deeney menjadi simbol Watford dalam satu dekade belakangan.

Akan tetapi, pada musim terakhirnya bersama Watford, pria 33 tahun itu dipaksa menepi. Cedera achilles pada Februari 2021 memaksanya absen sampai akhir musim. Deeney memang tampil dalam laga pemungkas musim menghadapi Swansea City. Namun, pertandingan itu sudah tak lagi menentukan dan Deeney pun cuma berlaga selama 18 menit.

Deeney tak banyak berkontribusi pada musim 2020/21 itu. Akan tetapi, ada garis keperakan yang muncul dari sana. Ketiadaan Deeney memaksa Watford untuk bergegas menatap masa depan. Xisco Munoz, pelatih yang ditunjuk menggantikan Vladimir Ivic pada Desember 2020, harus memutar otak untuk menjalankan Watford pasca-Deeney lebih dini.

Ivic sebetulnya sudah memikirkan bagaimana kehidupan Watford nantinya sepeninggal Deeney. Kontrak Deeney akan berakhir pada akhir musim 2020/21 dan usianya sudah tak lagi muda. Sedari awal, kemungkinan Deeney angkat kaki sudah cukup besar dan, itulah mengapa, Ivic mencoba memainkan sosok baru sebagai ujung tombak. Sosok baru itu adalah Ismaila Sarr.

Ya, ya, Sarr sebetulnya bukan sosok yang benar-benar baru musim itu. Dia sudah jadi bagian dari Watford sejak 2019 dan, tentu saja, bukan sosok sembarangan. Pemain kelahiran 1998 itu diboyong dari Rennes dengan nilai transfer mencapai 30 juta poundsterling dan itu membuatnya jadi pemain termahal dalam sejarah klub. Sarr, dengan kata lain, adalah pemain spesial dan Ivic tahu itu.

Sarr sebetulnya tidak nyaman bermain sebagai penyerang tengah. Namun, dia tetap bersikap profesional dan memberikan kemampuan terbaiknya. Tiga gol berhasil disarangkan Sarr selama masa kepelatihan Ivic. Sayangnya, secara keseluruhan performa Watford di bawah pelatih asal Serbia itu tak memuaskan. Pada Desember 2020, Ivic dicopot dan posisinya digantikan oleh Xisco.

Sama halnya seperti Ivic, Xisco juga memahami betul kualitas dan potensi Sarr. Akan tetapi, Xisco memiliki pertimbangan berbeda. Untuk memaksimalkan potensi Sarr secara penuh, dia harus memainkan si pemain di posisi favoritnya, yaitu penyerang sayap kanan. Lagi pula, Sarr dibeli Watford karena kemampuannya menentukan hasil pertandingan dari sayap kanan, bukan sebagai ujung tombak.

Pada musim 2018/19, Sarr berhasil mencetak 12 gol dan 8 assist dari 44 pertandingan Ligue 1 dan Liga Europa bersama Rennes. Sarr kala itu juga sukses mengantarkan Rennes menjadi juara Coupe de France dengan mengalahkan Paris Saint-Germain di final. Dalam adu penalti, Sarr jadi salah satu eksekutor Rennes yang berhasil menaklukkan Alphonse Areola.

Sayangnya, Sarr tidak bisa langsung menunjukkan kemampuan terbaik. Ada masalah-masalah luar lapangan yang membuat dirinya kesulitan. Usianya masih 21 tahun kala itu, sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, dan istrinya tengah hamil. Sudah begitu, pada awal musim 2019/20, Sarr mengalami cedera pada jeda internasional.

Itu adalah masa-masa penuh turbulensi bagi Watford. Pada awal musim saja mereka sudah dua kali mengganti pelatih. Javi Gracia dan Enrique Sanchez Flores ditendang secara beruntun dalam kurun September-Desember. Namun, lagi-lagi, sebuah garis keperakan muncul dari situasi tak menguntungkan ini.

Sepeninggal Flores, Watford sempat ditangani sebentar oleh Hayden Mullins. Eks pemain West Ham United inilah yang akhirnya benar-benar sukses mengeluarkan kemampuan terbaik Sarr. Seperti yang dituliskan Adam Leventhal di The Athletic, Mullins cuma punya satu pesan untuk Sarr: "Kamu punya kecepatan, tetaplah bermain di kanan dan terorlah lawan-lawanmu."

Kebebasan itu dilihat sebagai bentuk kepercayaan oleh Sarr. Maka, ketika Nigel Pearson akhirnya datang sebagai pelatih kepala pada 6 Desember 2020, pesan Mullins itu tetap diingat baik-baik olehnya. Pada musim 2019/20, Sarr berhasil mencetak 5 gol dan 4 assist untuk Watford. Sayangnya, itu tidak cukup untuk menyelamatkan klub milik Keluarga Pozzo tersebut dari degradasi.

Kegagalan bertahan di Premier League membawa Pearson ke pintu keluar dari Vicarage Road dan kemudian masuklah Ivic. Lantaran kinerjanya tak memuaskan, Ivic didepak dan Watford menunjuk Xisco sebagai pelatih kepala. Kedatangan Xisco ini membuahkan hasil manis. Dia sukses membawa Watford promosi dengan sisa dua pertandingan sekaligus mengubah Sarr menjadi pemain terpenting di klub. Total, 13 gol berhasil dilesakkan Sarr sepanjang musim 2020/21 di Championship. 

Ketika Watford terdegradasi, Sarr sebetulnya sudah diminati oleh tiga klub Premier League: Aston Villa, Liverpool, dan Manchester United. Namun, Watford bukanlah tim yang mudah diajak bernegosiasi. Mereka tahu persis seberapa nilai Sarr dan tak rela melepasnya dengan harga miring. Liverpool yang sempat memimpin perburuan pun akhirnya mundur dan memilih mendatangkan Diogo Jota dari Wolverhampton Wanderers.

Sarr sendiri tahu bahwa dia menarik banyak peminat. Namun, pemain bertinggi 185 cm itu memilih untuk tidak larut dalam rumor. Sebagai penggemar Manchester United dan Cristiano Ronaldo, bermain di Old Trafford adalah impiannya, tetapi Sarr paham bahwa dia perlu membuktikan diri terlebih dahulu sebelum pindah ke klub besar. Maka, semusim di Championship pun dilaluinya dengan tabah.

Dalam kurun waktu semusim itu, Sarr tidak cuma mmenunjukkan perkembangan signifikan di lapangan, tetapi juga di ruang ganti. Dia mulai akrab dengan pemain-pemain lain, termasuk yang berbahasa Inggris. Dia bahkan menyebut bek Craig Cathcart sebagai pemain Watford terlucu, meskipun kawan karibnya adalah penutur bahasa Prancis lain, Christian Kabasele.

Sarr semakin nyaman bermain di Watford dan ini terlihat jelas dalam gestur yang dipertontonkannya kepada suporter. Jika dulu dia lebih suka langsung masuk ruang ganti usai pertandingan, sekarang Sarr pasti akan menyempatkan diri menyapa para pendukung. Tak heran apabila saat ini jersi Sarr menjadi yang paling populer di antara para pendukung Watford.

Setelah sukses membawa Watford promosi ke Premier League, Sarr juga terus menunjukkan ketajamannya. Sampai pekan ke-6, Sarr telah mencetak 4 gol untuk Watford, termasuk satu gol ke gawang Newcastle United, Sabtu (25/9/2021), yang menyelamatkan timnya dari kekalahan.

Menurut catatan FBREF, keistimewaan utama Sarr adalah bagaimana dia mampu melakukan dribel yang berujung pada dilepaskannya tembakan. Setiap 90 menit, ada 0,67 dribel berujung tembakan yang dilakukan oleh Sarr. Ini adalah catatan penting karena, itu berarti, dribel Sarr adalah dribel yang berkualitas. Dia tak cuma menggiring bola hanya untuk menggiring bola tetapi untuk menghasilkan sesuatu darinya.

Selain itu, terlihat pula bahwa rata-rata jarak tendangan yang dilepaskan Sarr ada di kisaran 15 meter. Ini artinya, kebanyakan tendangan Sarr dilakukan di dalam atau di area sekitar kotak penalti. Tak mengherankan bila akurasinya cukup tinggi (62,5%) dan expected goals (xG) Sarr mencapai angka 0,32 per 90 menit. Sarr pun tak cuma bisa menembak dengan kaki kiri, tetapi juga kaki kanan serta kepalanya. Dengan kata lain, Sarr saat ini telah menjadi pemain depan yang komplet.

Apabila ini terus ditunjukkan Sarr sepanjang musim, rasanya akan sulit bagi Watford untuk menahan sang pemain; terlebih jika ada yang menawarnya dengan harga tinggi. Namun, pemain seperti Sarr memang tak bisa dan tak boleh berlama-lama di klub seperti Watford. Sarr perlu membuktikan bahwa dia bisa juga jadi ikan besar di kolam besar. Apabila Watford nantinya mampu bertahan di Premier League, itu akan jadi hadiah perpisahan yang indah bagi Sarr serta para pendukung yang mencintainya.