Liverpool: American Studies

Ilustrasi: Arif Utama.

Liverpool dua kali punya pemilik asal Amerika Serikat. Dua kali pula para pemilik itu membuat kesalahan yang bikin suporter berang dan melakukan protes keras.

Klub Premier League dan pemilik asal Amerika Serikat. Menyebut dua hal itu, rujukan bisa saja tertuju pada Manchester United dengan Keluarga Glazer atau Arsenal dengan Keluarga Kroenke. Namun, ada satu klub yang tau betul rasanya punya pemilik asal Amerika Serikat. Mereka adalah Liverpool.

Sebab tak cuma sekali, Liverpool dua kali punya pemilik asal Amerika Serikat. Dua kali pula para pemilik itu membuat kesalahan yang bikin suporter berang dan melakukan protes keras.

***

George Gillet dan Tom Hicks datang ke Liverpool membawa harapan segunung. Usai membeli Liverpool dari David Moores pada 2007, dua taipan Amerika itu menjanjikan banyak hal: Stadion baru, suportif kepada Rafa Benitez, hubungan yang lebih baik dengan para fan, sampai iming-iming bahwa mereka tak akan menjadikan Liverpool sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi.

Namun, semua itu hanya bualan belaka.

Hanya dalam waktu satu bulan setelah jadi pemilik Liverpool, keduanya meminjam dana 350 juta poundsterling dari sebuah bank di Skotlandia. Liciknya, hanya 105 juta pounds saya yang disetorkan di klub, sisa 245 juta pounds lain mereka taruh di Kop Holdings, perusahaan yang mereka dirikan sendiri saat mengambil alih Liverpool.

Foto: @LFC.

Nyatanya peminjaman itu malah menghadirkan petaka buat Liverpool. Utang menumpuk dan menjerumuskan Liverpool pada masalah keuangan yang serius. Buruknya, pemasukan klub menurun seiring melorotnya prestasi klub. Utang itu bahkan tak bisa dibayar hingga Gillet dan Hicks keluar dari klub.

Soal suportif kepada Rafa Benitez? Meh. Awalnya Gillet dan Hicks memang terlihat baik. Pada musim panas 2007, musim panas pertama mereka, Benitez diberi dana belanja cukup melimpah: 46 juta pounds. Itu adalah uang belanja terbanyak dalam sejarah transfer Liverpool.

Oleh Benitez, uang itu diubah menjadi sosok Fernando Torres, Lucas Leiva, Yossi Benayoun, sampai Ryan Babel. Benitez senang. Para pemain baru juga tampil baik, terutama tentu saja Torres. Pada musim itu, Liverpool mampu finis empat besar dan menjejak semifinal Liga Champions.

Namun, bulan madu Benitez bersama dua pemilik baru hanya sampai musim itu saja. Ketika musim baru tiba, saat manajer asal Spanyol itu mengirimkan surel terkait transfer pemain kepada manajemen, Hicks datang menghardik. Dia menyuruh Benitez untuk fokus pada tim dan latihan saja. Tak usah banyak minta.

Tak lama setelah itu, petinggi Liverpool merayu Juergen Klinsmann untuk melatih Liverpool. Mereka beralasan, itu untuk berjaga-jaga kalau Benitez tiba-tiba dicomot Real Madrid atau Barcelona. Namun, itu semua hanyalah alasan.

Kabar itu memancing kemarahan dan protes dari para suporter Liverpool. Mereka tak habis pikir bagaimana bisa para petinggi klub untuk mengganti Benitez, yang mampu mengantarkan Liverpool ke dua final Liga Champions dalam periode 3 tahun, dengan Klinsmann yang tak punya rekam jejak melatih klub.

Setelah itu, hubungan pemilik dengan Benitez meretak. Liverpool memang berhasil tampil baik di Premier League musim 2008/09 kala mereka hampir jadi kampiun. Akan tetapi, di luar lapangan, masalah muncul di mana-mana. Kondisi klub semakin tak stabil.

Menjelang musim 2009/10, semua bertambah buruk. Ini dimula dari keputusan Gillet dan Hicks menunjuk Christian Purslow menjadi Managing Director Liverpool. Keputusan itu sendiri didasari bujukan Purslow bahwa ia bisa melakukan negosiasi pada bank untuk memperpanjang tenggat waktu pembayaran utang.

Pria yang sebelumnya merupakan pemilik tiket terusan di Anfield itu juga berjanji bisa mendatangkan uang yang lebih banyak, asal diberi kewenangan dalam transfer. Benar uang yang kemudian didapat lumayan, yakni sebesar 34 juta pounds. Namun, itu dilakukan dengan menjual dua pemain reguler tim, Xabi Alonso dan Alvaro Arbeloa.

Yang makin miris, Purslow kemudian membeli Alberto Aquilani dan Glen Johnson sebagai pengganti dengan total harga 35 juta pounds. Bukannya untung, Liverpool malah buntung. Purslow belakangan juga diketahui jadi dalang dalam perekrutan Joe Cole, yang meski berstatus bebas transfer, tapi punya gaji 100.000 pounds per pekan. Luar biasa mahal.

Kita kemudian tahu betapa tak mengesankannya rekrutan-rekrutan Purslow itu. Benitez tak bisa berbuat banyak dan di musim 2009/10 itu, Liverpool finis di peringkat tujuh Premier League, tak lolos fase grup Liga Champions, dan gagal menjadi juara Liga Europa.

Lebih buruknya lagi, sepanjang musim protes keras datang dari para suporter. Bahkan di awal-awal musim, saat The Reds kalah empat kali beruntun, ribuan suporter turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Mereka meminta Gillet dan Hicks angkat kaki. Sepanjang pimpinan keduanya, hubungan baik dengan fans seperti yang dijanjikan tak mampu terwujud.

Langit Merseyside makin muram saat Benitez hengkang. Terlebih saat Hicks dan Gillet memilih nama Roy Hodgson sebagai pengganti. Juara Liga Champions diganti juara Liga Denmark. Tak masuk akal. Kita tau seberapa buruk era Liverpool bersama Hodgson dan sebaiknya tak perlu diingat-ingat lagi.

Pada akhirnya, era Gillet dan Hicks di Liverpool berakhir pada musim 2010/2011 itu. Oh, ya, kalau tadi Anda sempat baca bahwa dua taipan itu punya janji membangun stadion baru, nah, itu salah satu bualan terbesar mereka. Bayar utang saja tak mampu, apalagi bangun stadion baru. Liverpool nyatanya masih bermukim di Anfield sampai sekarang.

***

Liverpool menyambut era baru saat Gillet dan Hicks hengkang. Namun, yang jadi pengganti masih dari Amerika Serikat. Perusahaan bernama Fenway Sports Group (FSG) membeli Liverpool seharga 300 juta poundsterling dari Gillet dan Hicks, serta kemudian bertanggung jawab atas utang yang ditinggalkan.

Perjalanan FSG, yang kemudian kita tahu ada di bawah komando John William Henry II, memulai perjalanan di Liverpool dengan berat. Yang pertama mereka harus melunasi utang yang menumpuk, yang kedua mereka harus memikirkan cara bagaimana mengangkat performa tim di lapangan.

Hodgson yang payah itu kemudian dipecat dan Henry menunjuk legenda klub, Kenny Dalglish, sebagai pengganti. Penunjukan Dalglish, selain diharapkan mampu membangkitkan tim, juga jadi cara Henry dan FSG-nya untuk bisa mendekatkan diri dengan suporter.

Dalglish perlahan-lahan mampu mengangkat Liverpool bangkit. Ia membawa Liverpool dari hampir degradasi sampai menjadi kampiun Piala Liga dan finalis Piala FA. Jelas bukan hal yang buruk. Namun, keberhasilan Dalglish tak membuat Henry dan FSG lepas dari protes.

Suporter Liverpool bersuara lantang saat para pemilik enggan merogoh kocek untuk belanja striker pada musim panas 2012. Sepanjang bursa transfer, rumor menyebut bahwa Liverpool akan mendatangkan Clint Dempsey. Namun, sampai bursa transfer ditutup, striker asal Amerika Serikat itu tak datang.

Henry kemudian menyampaikan permintan maaf pertamanya buat suporter dan perlahan-lahan situasi Liverpool membaik. Langit cerah yang mulai menaungi Liverpool ini tak lepas dari kejelian Henry memilih orang-orang untuk mengisi pos manajemen Liverpool.

Dua orang kepercayaannya, Tom Werner dan Mike Gordon, mampu memimpin dan menjalankan tugas sehari-hari dengan baik. Nama pertama akan lebih vokal ke publik dan media, sedangkan Gordon bertugas di belakang layar untuk memastikan segala persoalan di Anfield berjalan lancar.

Henry, Werner, dan Gordon kemudian merekrut orang-orang kompeten. Damien Comolli, Michael Edwards, Barry Hunter, Ian Graham, sampai Juergen Klopp ia rekrut. Commolli dan Edwards secara berurutan akan menjadi Direktur Olahraga Liverpool, Hunter adalah Kepala Divisi Pencarian Bakat, dan Graham adalah Direktur Riset.

Kehadiran orang-orang itu mampu membuat Liverpool jadi lebih baik. Kendati Liverpool juga sempat mengalami naik-turun di era Brendan Rodgers. Mereka saat itu memang hampir jadi juara Premier League, tapi kondisi internal tim tak berjalan baik.

Rodgers terlalu memegang kendali dalam soal transfer dan ogah mendengarkan masukan Edwards, Hunter, atau Graham. Manajer asal Irlandia Utara itu, misalnya, pernah mau mendatangkan Wilfried Bony untuk mengganti Luis Suarez. Transfer Mario Balotelli juga menimbulkan friksi di internal tim.

Hubungan yang buruk dengan manajemen, ditambah performa tim yang juga buruk, pada akhirnya membuat Rodgers dipecat. Sampai kemudian Henry, lewat bantuan orang-orang kompeten di sekelilingnya itu, mendatangkan Juergen Klopp. Kita tahu seperti apa kemudian prestasi Liverpool di bawah Klopp.

Namun, bagi Henry sendiri, protes dan kritikan tak berhenti begitu saja. Pada 2016, suporter Liverpool kembali unjuk rasa usai manajemen Liverpool menaikkan harga tiket hingga 77 pounds. Tak cuma itu, suporter juga melakukan aksi langsung saat pertandingan.

Pada sebuah laga melawan Sunderland, 10.000 suporter meninggalkan Anfield pada menit 77 pertandingan sebagai bagian dari protes. Mereka juga meneriaki Henry sebagai orang yang serakah dan tak peduli dengan fan.

Beruntung Henry dan FSG sadar dan mau berbenah. Mereka memberikan kompensasi untuk harga tiket dan meminta maaf kepada para suporter. Urusan saat itu bisa selesai dengan baik. Sesekali urusan tiket masih jadi bahan protes, tapi apinya tak sebesar dulu.

Pada awal pekan ini, setelah berbagai macam keberhasilan: membawa Liverpool jadi kampiun Liga Champions dan juara dunia, menyudahi puasa gelar Premier League, membangun kamp lapangan baru, sampai menyelesaikan masalah stadion dengan merenovasi tribune, Henry dan FSG diprotes fan lagi.

Penyebabnya tentu saja keputusan Henry bergabung dengan pemilik klub-klub kaya Eropa lainnya untuk mengadakan Super League (dan mengikutsertakan Liverpool ke dalamnya). Semua tahu itu adalah keputusan sepihak, tanpa ada diskusi dengan seluruh entitas klub: manajer, staf, pemain, sampai suporter. Karenanya, jelas protes muncul.

Suporter merasa dikhianati, menganggap Henry dan FSG tamak, dan mereka turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Banner protes dipasang di mana-mana, sedangkan banner dan bendera dukungan yang selama ini terpasang di Anfield diniatkan untuk dicopot.

Henry dan FSG kemudian memang memutuskan bahwa Liverpool mundur dari kompetisi tersebut, tapi pernyataan klub malah bikin suporter tambah panas. Tak ada permintaan maaf kepada suporter di sana, padahal Henry dan FSF sudah mengenyampingkan tradisi Liverpool yang amat menghormati suporternya.

Pada hari berikutnya, Henry muncul di media sosial klub, menyampaikan permintaan maaf kepada suporter dan seluruh entitas klub. Dia bilang bahwa keputusan untuk ikut serta di Super League adalah murni keputusan pribadinya dan pilihan untuk mundur didasari oleh ketidaksetujuan para suporter.

Akan tetapi, protes belum meredam. Banyak yang sudah terlanjur sakit hati karena Henry dan FSG dianggap lebih memetingkan dompet pribadi dan tak mengindahkan tradisi serta sejarah klub. Suporter menganggap pemilik mengabaikan nilai-nilai yang selama ini ditanamkan oleh Bill Shankly.

Suara yang menyuruh agar Henry dan FSG untuk meninggalkan Liverpool pun bermunculan, salah satunya bahkan datang dari legenda klub, Jammie Carragher. Namun, berdasarkan tulisan James Pearce di The Athletic, akan sulit melihat Henry melepas Liverpool.

Lagipula, akan sulit mencari calon pembeli yang mau mengeluarkan uang tiga miliar poundsterling (ya, valuasi Liverpool naik 10 kali lipat sejak dibeli FSG pada 2010 lalu) untuk mengambil alih klub di tengah situasi pandemi seperti ini. FSG dan Henry masih akan jadi pemilik.

***

Liverpool memiliki perjalanan cukup panjang dengan pemilik asal Amerika Serikat. Turun-naik pernah dilalui. Kehancuran dan kesuksesan sudah pernah dirasakan.

Kalau mau membandingkan, era FSG-nya Henry jelas jauh lebih baik dibanding era sebelumnya. Mereka mampu menghadirkan prestasi, membangun infrastruktur, mendatangkan staf kompeten, sampai membuat Liverpool lebih baik secara finansial. Sementara Hicks dan Gillet cuma meninggalkan utang.

Foto: @Sporf

Namun, dua era ini punya kesamaan: Sama-sama tak lepas dari protes keras para suporter dan sama-sama lupa bahwa ada beberapa keputusan yang bisa diambil setelah ada dialog. Dialog dengan manajer, pemain, dan juga tentu dengan para suporter.