Logika Ferran Soriano dan Txiki Begiristain

Foto: Twitter @City_Chief.

Soriano dan Begiristain yang meragukan nasib sial dan keberuntungan itulah yang ikut membangun dan menopang Manchester City

John Terry menarik napas panjang. Di hadapannya berdiri Edwin van der Sar dengan tinggi menjulang siap mengadang sepakan ke arah gawangnya. Terry tahu bahwa timnya sudah unggul 4-3 dalam babak adu penalti tersebut. Ini bisa jadi tendangan penentuan di duel penentuan. Chelsea bisa jadi raja Eropa jika ia berhasil membobol gawang Manchester United. 

Sembilan pemain Chelsea berdiri bergerombol di belakang Terry. Sebenarnya ia hanya perlu menendang bola ke sisi kiri gawang yang mana dilakukannya. Akan tetapi, Terry justru kehilangan keseimbangan saat menendang bola sehingga kehilangan akurasi. 

Tak ada gol yang membuat kesembilan pemain Chelsea tadi bersorak kegirangan dan menggendong Terry. Babak adu penalti berlanjut bahkan berakhir dengan gelar juara untuk United.

[Baca juga: Webstory: Manchester United Berjaya di Moskow]

Orang-orang menyebut peristiwa itu sebagai nasib sial di Moskow. Namun, di antara orang-orang itu tak ada Ferran Soriano. Menurut Soriano, Chelsea gagal menjuarai Liga Champions 2007/08 karena mereka tidak taat pada logika.

Dalam bukunya yang berjudul 'Goal: The Ball Doesn’t Go In by Chance', Soriano mempertanyakan mengapa Avram Grant menunjuk Terry untuk mengambil penalti tersebut. Dalam situasi genting seperti laga final, kenapa yang mengambil penalti justru Terry, bukannya pemain yang terbiasa mengeksekusi penalti? 

Benar bahwa Terry merupakan pemain berpengaruh di Chelsea saat itu. Masalahnya, yang dibutuhkan Chelsea dalam babak adu penalti bukan pemain home-grown, kapten, idola, apalagi influencer, tetapi eksekutor atau algojo ulung.

Soriano yang meragukan nasib sial dan keberuntungan itulah yang pada akhirnya duduk di kursi CEO Manchester City.

***

Sheikh Mansour datang untuk menjadikan Manchester City sebagai yang terhebat. Ia ingin klub-klub Inggris dan Eropa berlomba-lomba untuk menjadi sebesar City. Ia berhasrat melihat para juara di masa lalu menjadikan City sebagai panutan sekaligus rival terbaru. 

Segala sesuatu yang ada di Etihad bukan hanya soal menjadikan langit Manchester membiru serta membuat orang-orang di Manchester Barat menelan ludah dan sembunyi-sembunyi mengantar anak-anak mereka berlatih sepak bola di Akademi Manchester City. Ini tentang keharusan untuk menjadikan Manchester City sebagai yang termutakhir. 

Dua musim pertama setelah kedatangan konglomerat Abu Dhabi dan segala kekayaannya, tak ada yang berubah di Manchester City selain elu-elu yang mengencang lagi. Namun, itu semua belum cukup. Lalu City menjadi pembicaraan setelah menundukkan Manchester United 6-1 tanpa ampun di Old Trafford yang masyhur itu. Sejak hari itu orang-orang Manchester berkata dengan mantap bahwa yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.

Meski berhasil membuat Sir Alex Ferguson merutuk kesal dan petugas lapangan Premier League kelabakan karena mesti mengukir nama Manchester City di menit-menit akhir berkat gol Sergio Aguero ke gawang QPR, Roberto Mancini tak mendapat waktu panjang di Etihad. Para pemain bintang dikabarkan bakal meninggalkan City jika pelatih Italia itu enggan mengangkat koper dari Manchester Timur.

Soriano datang ke City di tengah isu ketidakharmonisan klub seperti tadi. Untunglah satu bulan setelah kedatangannya, seorang kawan lama mau mengikuti jejak dan menerima tawarannya. Pada Oktober 2012, giliran Txiki Begiristain yang datang ke City dan mengemban jabatan Direktur Sepak Bola.

“Ferran menelepon saya dan saat itu saya tahu saya harus ke mana,” ujar Begiristain tentang keputusannya hengkang ke City.

Mengelola klub yang sedang gonjang-ganjing bukan pengalaman baru bagi Soriano dan Begiristain. Keduanya pernah bekerja untuk Barcelona. Rasanya cukup sulit untuk menandingi level keruwetan konflik yang terjadi di Barcelona. Bahkan Louis van Gaal dan Bobby Robson berulang kali terseret-seret kegaduhan politik dalam tubuh pembesar Barcelona.

Friksi tentang Mancini lebih dari sekadar ketidaksukaan para pemain. Konon, Mancini juga berseteru dengan Brian Marwood yang waktu itu masih menjabat sebagai direktur sepak bola. Ketimbang tak selesai, Soriano dan para petinggi City akhirnya memutuskan untuk memindahtugaskan Marwood ke akademi, sedangkan Begiristain menjadi direktur sepak bola, persis seperti apa yang dilakukannya saat di Barcelona.

Begiristain terbiasa berhadapan dengan situasi tidak sedap. Para pemain dan pelatih mengenalnya sebagai orang yang tanpa ampun.

Mancini merasakan sendiri sepak-terjang Begiristain. Konon, Begiristain sudah lama mengincar Manuel Pellegrini, bahkan sebelum berurusan dengan Manchester City. Mancini bukan pelatih yang buruk. Toh, kepelatihannya yang membuat City jadi juara setelah puasa selama 44 tahun. Mancini hanya pelatih yang tidak memiliki sepak bola serupa yang diyakini begiristain sebagai sepak bola Manchester city.

Sebagian orang tahu bahwa akan selalu ada kelompok penggila Johan Cruyff di antara mereka yang pernah berurusan dengan Barcelona. Begiristain merupakan salah satu di antaranya. Orang-orang seperti ini percaya bahwa total voetball ala Cruyff adalah tradisi yang harus dirawat dan dihidupi terus-menerus. Ia tak boleh mati. Kalau mati, Barcelona pun tamat.

Kegigihan serupa itu pula yang dipegang baik-baik oleh Begiristain di Manchester City. Para konglomerat Abu Dhabi yang menggelontorkan uang di Etihad mungkin tidak ambil pusing dengan filosofi sepak bola seperti total voetball, tiki-taka atau apa pun itu. Yang mereka pedulikan adalah kemenangan yang berakumulasi menjadi gelar juara, lalu bertumbuh kokoh menjadi kejayaan.

Soriano bukan pesepak bola. Ia tak tahu apa-apa tentang menekel lawan dan mengacaukan serangan balik. Akan tetapi, Soriano tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang sekitarnya: Mulai dari klub, para investor, tim, hingga suporter.

Logika adalah kunci yang selalu dibawa Soriano. Sejumlah manajer atau petinggi klub sepak bola masih sering menganggap bahwa industri mereka kepalang berbeda dengan sektor lain: Begitu liar, tak dapat ditebak, tak dapat dikendalikan. 

Orang-orang ini akan bertingkah seperti suporter yang berteriak lantang “This is football!” atau “Football bloody hell!” dan selalu mengangkat cerita tentang Daud yang mengalahkan Goliat: Entah itu Real Sociedad di La Liga 2003, Porto di Liga Champions, hingga Leicester City di Premier League 2016. 

Kisah-kisah itu ada dan memang one of a kind. Namun, sepak bola yang bertumbuh menjadi industri tidak bisa bergantung pada faktor ‘one of a kind’. Unik bukan masalah selama kau tidak buta arah dan menggantungkan nasib entah berapa banyak orang pada keberuntungan dan nasib sial.

Soriano bahkan masih menemukan watak itu ketika ia ada di Barcelona. Ia heran betul mengapa Barcelona bersedia mengeluarkan duit sebesar 30 juta euro untuk mendatangkan dua pemain yang kualitasnya belum terbukti, Geovanni Deiberson dan Fabio Rochemback. 

Direktur Barcelona saat itu hanya menjawab bahwa karena ia diberi tahu bahwa Deiberson seperti Johan Neeskens, sedangkan Rochemback digadang-gadangkan bisa saja menjadi The Next Garrincha. Bagi Soriano keputusan itu menggelikan karena seperti bergantung pada omongan orang, bukannya perhitungan matang. Seolah-olah kau bisa membuang-buang uang 30 juta euro dalam konteks profesional atas nama perjudian nasib.

Logika Soriano dalam mengelola klub tidak berhenti pada ‘apa yang kamu jual?’ tetapi berlanjut pada ‘kebutuhan siapa dan apa yang harus kamu penuhi?” Soriano dalam bukunya tadi mencontohkan apa yang terjadi pada sebuah perusahaan side-rules (mistar hitung) asal Swiss. 

Perusahaan ini sanggup menjawab pertanyaan apa yang kamu jual dengan ‘alat hitung analog untuk perkalian dan pembagian, dan juga untuk fungsi seperti perpangkatan, akar, logaritma dan trigonometri. Masalahnya, pada 1972 perusahaan bernama Hewlett-Packard merilis kalkulator scientific pertama yang dikenal dengan HP-35. 

Sebenarnya fungsinya sama. Namun, Hewlett-Packard tidak memproduksi barang yang sama. Mereka memodifikasinya sehingga memiliki nilai tambah yang menarik bagi konsumen. 

Perusahaan Swiss tadi mungkin bisa saja bertindak serupa dengan memproduksi diferensiasi HP-35. Masalahnya, mereka hanya berfokus menjadi perusahaan pencipta alat hitung, bukannya perusahaan yang bisa menciptakan alat ukur akurat. Akibatnya, perusahaan Swiss itu tak lagi beroperasi setelah Hewlett-Packard berinovasi. 

Contoh ini dipakai Soriano untuk menjelaskan bahwa Manchester City harus tahu betul tentang kebutuhan siapa dan apa yang harus mereka penuhi. Tentang kebutuhan siapa, jawabannya adalah suporter yang merupakan pasar terbesar industri sepak bola.

Tentang apa kebutuhannya, jawabannya adalah menang. Suporter ingin klubnya selalu menang. Namun, apakah suporter butuh hiburan? Tentu saja. Menang dengan elegan, menang berkat gol-gol indah adalah kenikmatan yang akan membuat suporter tambah tergila-gila dengan timmu. Dengan begitu, kau memiliki pasar yang pasti dan royal. Dari situ, pendapatan seperti hak siar dan sponsor pun berdatangan.

Dari pengertian tersebut, kepemimpinan Soriano bicara tentang mewujudkan dua tujuan ini:

  1. Menang. Dengan begitu, mereka harus memiliki tim yang siap menang dengan sepak bola spektakuler ala City.
  2. Klub, anggota, staf, para petinggi, dan tim merupakan representasi nilai-nilai khas Manchester Timur yang sedang kau bangun.

Sebelum menunjuk pemain dan pelatih yang akan tampil sebagai tim ‘pemenang’ ala City, Soriano harus tahu persis bahwa manajemen juga merupakan bagian dari tim pemenang. Untuk mewujudkan itu, City harus memiliki tiga karakter ini: Visionary, Doctor No, dan Backbone.

Visionary adalah orang-orang visioner. Mereka tidak perlu bergelimang mimpi besar. Cukup satu atau dua saja, yang penting berkomitmen dan ambisius. Melihat siapa yang ada di City sekarang, Soriano cukup tepat untuk disebut sebagai orang yang memainkan fungsi ini. Ia bukan pesepak bola, bukan pula pelatih. Namun, ia tahu persis bahwa City harus menjadi klub sepak bola terbaik. Visinya padu dengan kepunyaan Sheikh Mansour.

Akan tetapi, bukan berarti segala macam isi kepala Soriano bisa menjadi kenyataan. Karakter kedua yang harus dimiliki adalah Doctor No. Soriano menggunakan istilah ini untuk mengacu kepada sosok yang bertugas untuk menajamkan visi sang visionary

Doctor No adalah orang yang kerap kontra dengan ide-ide si visionary. Ia akan selalu membenturkan visi dengan realitas. Orang-orang seperti ini terkesan tidak suportif. Namun, keberadaannya sangat dibutuhkan untuk membuat City tidak tinggal di menara gading apalagi langit ketujuh. 

Barangkali ketiadaan Doctor No inilah yang membuat Manchester United sekarang kocar-kacir. Ed Woodward pada kenyataannya tidak bisa menjadi orang yang menyetop atau menjadi ‘lawan’ Keluarga Glazer.

Di Barcelona dulu, Soriano menyebut sang CFO, Anna Xicoy, sebagai Doctor No. Di Manchester City sekarang, rasanya Chairman Khaldoon Al Mubarak adalah orang yang paling tepat untuk fungsi ini. Toh, orang inilah yang getol mengawasi keuangan City dengan sangat ketat.

Unsur yang tak kalah penting adalah sang backbone. Bagi Soriano, fungsi ini krusial karena seringkali visionary dan doctor no sulit mewujudkan konsep menjadi realitas. Backbone harus bisa menerjemahkan dua tujuan tadi ke dalam permainan tim. Maka di Manchester City, orang itu adalah Begiristain.

Jangan heran jika peralihan manajer yang terjadi tidak membuat City kelimpungan. Sejak dari Mancini, Manuel Pellegrini, hingga sekarang Pep Guardiola, City tidak kehilangan identitas baru yang sedang mereka bangun. Gelar juara tidak selalu datang setiap musim. Akan tetapi, City tidak pernah terjerembap dan tetap menjadi tim yang diperhitungkan sebagai salah satu yang terbaik di era modern.

Pellegrini diangkat menjadi manajer karena Begiristain melihat bahwa sang pelatih Chile ini sanggup memberikan apa yang dibutuhkan City lewat sepak bolanya.

“Alasan terutamanya adalah style. Kalian mengenalnya dengan sebutan El Metodo Pellegrini. Mancini punya sepak bola berbeda dan kami harus mengubahnya. Pellegrini adalah pelatih yang saya ikuti sejak di Spanyol dan sejak tiba di Manchester pada 2012, saya tahu harus langsung mengubah gaya permainan City. Saya percaya bahwa City perlu memainkan sepak bola atraktif. Metode yang dimiliki Pellegrini sudah cukup untuk menjamin bahwa tujuan itu dapat terpenuhi,” papar Begiristain tentang lampu hijau Al Mubarak untuk Pellegrini.

Semua orang, bahkan Pellegrini, tahu bahwa penunjukan itu adalah rencana B. Rencana utama Begiristain adalah membawa Guardiola ke Etihad. Sayangnya, ketika itu Guardiola sudah telanjur mengikat kontrak dengan Bayern Muenchen.

Begiristain memang bukan dari kalangan manajemen. Status itu membuatnya berulang kali dilempar kritik. Akan tetapi, Begiristain adalah anak didik Cruyff yang tak cuma bisa menggocek lawan, tetapi melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan tim.

Itulah sebabnya, ia bisa membentuk City menjadi tim yang menang dengan spektakuler. Para pemain, pelatih, dan staf yang direkrut adalah orang-orang yang sesuai dengan kebutuhan tim. City adalah kebalikan dari sejumlah tim yang mencari tujuan setelah merekrut pemain dan pelatih. Logika ini menjadikan City tak berjalan keluar dari koridor apalagi tanpa arah.

Mewujudkan tim pemenang adalah satu hal, membangun Manchester Timur sebagai representasi dunia baru adalah hal lain. Untuk mewujudkan tujuan itu, Sheikh Mansour memerintahkan pembangunan kompleks pelatihan plus akademi dengan fasilitas terbaik. Sheikh Mansour bahkan membangun kompleks ekstravaganza itu tepat di jantung Manchester Timur.

Fasilitas Etihad, baik utama maupun penunjangnya--seperti jaringan trem, pusat perbelanjaan, fasilitas kesehatan dan hiburan--diutamakan untuk penduduk Manchester Timur. Dengan cara itulah Sheikh Mansour menjalin keterikatan dengan orang-orang Manchester Timur. 

Lewat proyek itu Sheikh Mansour berkata bahwa Manchester City adalah jantung yang memberikan kehidupan untuk Manchester Timur. Dengan kegilaannya yang dijaga oleh logika Soriano dan Begirisain, Sheikh Mansour berkata kepada orang-orang Manchester Timur bahwa masa depan mereka sungguh ada.