Lorenzo Pellegrini: Pangeran Baru Giallorossi?

Foto: Instagram @lorepelle7.

Dari celoteh di masa kecil, Lorenzo Pellegrini mewujudkan obsesinya menjadi pemain AS Roma.

Lorenzo Pellegrini tidak pernah mengira bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Berawal dari sebuah ritual, kini ia menjadi salah satu pemain penting klub kebanggaannya, AS Roma.

Keluarga Pellegrini memiliki hubungan dekat dengan AS Roma. Pada suatu waktu, mereka akan meninggalkan semua kegiatan demi menyaksikan Roma bermain di Olimpico. Pada waktu yang lain, mereka akan membukakan pintu rumah untuk menyambut tetangga yang ingin menonton Roma bersama.

Momen-momen tersebut membuat alam bawah sadar membentuk Pellegrini sebagai pendukung Roma. Ketika Pellegrini berusia tiga tahun, ia sudah berani sesumbar ke kawan sepantaran bahwa ia kelak akan menjadi pemain Roma.

Selayaknya anak seusia itu, rasa jemawa ingin diwujudkannya dengan kemampuan mengolah bola. Dasar Pellegrini, ia selalu meminta ayahnya, Tonino, yang notabene adalah pesepak bola amatir, untuk mengajarinya bermain sepak bola.

Tonino merelakan waktunya untuk mengajari Pellegrini. Namun, seiring bertambahnya usia Pellegrini, ia selalu mengakhiri sesi latihan dengan pertanyaan: “Apakah kamu yakin ingin menjadi pesepak bola?”

Tonino punya banyak alasan mengapa ia bertanya demikian. Sebagai orang yang pernah merasakan pahit manis sepak bola, berharap pada bidang ini tidak cukup dengan hasrat dan kemampuan, tapi juga uang.

Setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Tonino selalu dijawab dengan penuh keyakinan oleh Pellegrini. Tonino akhirnya berpasrah dengan keinginan Pellegrini. Saat tabungannya cukup, ia lantas memasukkan anak laki-laki satu-satunya tersebut ke sekolah sepak bola bernama Almas Roma.

Sebagai pesepak bola amatir, Tonino punya banyak waktu luang dan selalu menyempatkan waktu luangnya dengan menyaksikan Pellegrini latihan. Setelah sekian waktu melihat anaknya tidak menunjukkan perkembangan, ia pun mengeluarkan Pellegrini dari sekolah tersebut.

Petualangan Pellegrini di sepak bola pun dimulai. Ia berpindah dari satu sekolah kecil ke sekolah kecil lain. Kepindahan Pellegrini ke sekolah lain ditentukan satu hal: Tabungan Tonino. Jika Tonino punya cukup uang, ia bisa pindah lebih cepat ke sekolah lain. Begitulah seterusnya.

Suatu saat, Pellegrini mendapatkan kesempatan untuk berlatih di sekolah sepak bola milik Francesco Totti. Di sekolah tersebut, harum Pellegrini tercium pencari bakat Roma. Setelah melewati masa trial, ia resmi bergabung Akademi Roma.

“Ia punya tinggi badan dan teknik di atas rata-rata. Sulit mencari penyerang seperti dia saat itu,” kata Mirko Manfre, pencari bakat Roma yang menemukan Pellegrini. 15 tahun berselang, ia tidak lagi diingat sebagai penyerang berbahaya, melainkan maestro di lini tengah.

Ada banyak perjuangan yang dilakoni Pellegrini untuk punya nama besar seperti sekarang. Pada usia 16 tahun, ia didiagnosis mengalami cardiac arrhythmia atau penyakit tentang adanya malfungsi pada sistem kerja jantung.

Diagnosis ini dijatuhkan kepada Pellegrini beberapa saat menjelang dimulainya musim 2012/13. Padahal, pada sesi latihan pramusim, pelatih Zdenek Zeman sempat menyatakan akan memberikannya kesempatan bermain pada musim tersebut.

Pellegrini juga sempat frustrasi saat dilepas ke Sassuolo. Meski terdapat opsi buy back dalam klausul transfernya, ia kesulitan menerima kenyataan bahwa ia dilepas klub yang telah dibela selama 10 tahun.

Namun, siapa sangka masa-masa yang dilewati Pellegrini di Sassuolo malah menjadi titik balik dalam kariernya. Masa di Sassuolo pula yang membuat Roma memutuskan untuk mengaktifkan opsi buy back tersebut.

Sekembalinya dari Sassuolo atau pada musim 2017/18, Pellegrini mendapatkan menit bermain 1.797 menit. Jumlah tersebut menjadikannya gelandang nomor empat dengan menit bermain terbanyak, di bawah Radja Nainggolan, Kevin Strootman, dan Daniele De Rossi.

Jumlah tersebut meningkat pada musim 2018/19 menjadi 1.821 menit. Bedanya, kali ini ia menjadi gelandang dengan menit terbanyak ketiga di bawah Steven Nzonzi dan Bryan Cristante. Perbedaan lainnya, ia mendapatkan lebih banyak kesempatan bermain di belakang penyerang.

Bermain di belakang penyerang membawa dimensi baru pada permainan Pellegrini. Dalam peran baru tersebut, ia lebih banyak terlibat untuk mengkreasikan serangan--tugas yang tidak pernah ia lakoni sebelumnya.

Cara bermain Pellegrini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gelandang serang kebanyakan, mengalirkan bola ke penyerang. Jika ada yang berbeda, mungkin bisa dilihat dari cukup seringnya ia masuk ke dalam kotak penalti untuk menjadi opsi lain dalam mencetak gol.

Per WhoScored, dalam tiga musim terakhir di Serie A, Pellegrini melepaskan 2,2 umpan kunci per pertandingan. Dalam periode yang sama untuk pemain yang kini berlaga di Serie A, hanya Hakan Calhanoglu yang punya rasio lebih baik, yakni 2,4 umpan kunci per pertandingan.

Statistik apik tersebut membawanya dibandingkan dengan pemain-pemain dari kompetisi top lain. Salah satunya adalah Houssem Aouar dari Olympique Lyon. Keduanya disandingkan dalam banyak hal, termasuk kontribusi dalam menciptakan peluang atau bahkan gol.

Pellegrini dan Aouar memiliki catatan yang tidak berbeda jauh. Per 90 menit, Pellegrini membuat 4,78 aksi yang berakhir dengan peluang, sedangkan Aouar hanya 3,67. Namun, dari angka tersebut, Aouar lebih efektif karena 14% dari angka tersebut berujung gol, sementara Pellegrini hanya punya 11%.

Musim ini, Pellegrini telah berkontribusi atas 11 gol dari 29 pertandingan. Meski kalah dari catatan milik Jordan Veretout dan Henrikh Mkhitaryan, tapi ini jadi kontribusi terbaiknya selama membela Roma.

Pada usia yang memasuki 24 tahun, jalan Pellegrini untuk menjadi pangeran Roma selanjutnya masih panjang. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Seperti halnya Pellegrini di masa lalu.