Luka Jovic 2.0

Foto: Arif Utama

Setelah gagal di Madrid, Luka Jovic memutuskan pulang ke Frankfurt. Apakah ini keputusan yang benar?

Milan Jovic baru sadar telepon genggamnya raib saat ia tiba di rumah. Tak butuh waktu lama baginya untuk berangkat ke kantor polisi. Semakin cepat ia ke kantor polisi, semakin cepat ia mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Insting Milan ternyata kalah cepat dengan pencuri telepon genggamnya. Si pencuri, yang kelak diketahui bernama Miroslav, menghubunginya. Ia meminta beberapa ratus euro dan mengakhiri telepon dengan sebuah ancaman.

“Jika Anda tidak memberikan apa yang saya minta, niscaya kaki anak Anda akan saya patahkan. Entah itu saat ia ada di lapangan atau di rumah. Saya berjanji, Anda tidak akan pernah bisa melihatnya bermain sepak bola lagi,” kata si pencuri.

Ancaman tersebut menohok Milan. Pertama, bagaimana si pencuri bisa mengambil telepon genggamnya tanpa ia sadari. Kedua, bagaimana ceritanya si pencuri bisa meminta hal yang saat ini tidak ia miliki.

Meski takut ancaman ini menjadi kenyataan, Milan akhirnya berangkat ke kepolisian Loznica. Tak berselang lama, polisi meringkus pencuri yang ternyata memiliki tempat tinggal tak jauh dari rumahnya.

Si pencuri berdalih bahwa ia mencuri telepon genggam Milan karena melihat gosip yang menyebutkan anak Milan, Luka. Luka, yang saat itu bermain di bermain di Crvena Zvezda (Red Star Belgrade), disebut si pencuri telah bergabung dengan klub besar Eropa.

Bergabungnya Luka dianggap si pencuri akan membuat Milan jadi orang kaya baru. Dengan status tersebut, si pencuri pun menganggap bahwa ratusan euro tidak akan ada nilainya apabila dibandingkan dengan kontrak Luka.

Pernyataan si pencuri ternyata tidak benar. Luka baru pergi tiga bulan setelah kejadian tersebut ke Portugal untuk memperkuat Benfica.

***

Benfica lama dikenal sebagai tempat yang ramah bagi para pemain muda. Luis Araujo, salah satu pelatih Benfica U-19, bahkan berani mengatakan, “Di sini adalah tempat terbaik bagi pemain muda untuk mendapatkan kesempatan bermain di level tertinggi.”

Pernyataan Araujo mungkin berlaku pada Joao Felix dan Bernardo Silva, tapi tidak dengan Luka Jovic. Jovic gagal mendapatkan apa yang dicanangkan oleh Benfica. Selama 1,5 musim di sana, ia hanya bermain 2 kali di liga.

Jovic berusia 19 tahun saat kesempatan dari Eintracht Frankfurt datang. Mereka memang tak menjanjikan status sebagai pemain inti, tapi mereka berani menjamin bahwa ia akan mendapatkan kesempatan bermain yang lebih banyak.

Terbang ke Frankfurt barangkali menjadi keputusan terbaik Jovic. Setelah hanya menjadi cadangan di musim pertama, ia ditunjuk jadi penyerang utama pada musim kedua. Bersama Ante Rebic dan Sebastian Haller, mereka menjadi trio yang mengerikan.

Salah satu hal yang mendukung perkembangan Jovic adalah gaya bermain Frankfurt. Oleh pelatih Adi Huetter, Jovic hanya ditugaskan untuk banyak menghabiskan waktu di kotak penalti lawan dan menyelesaikan peluang.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada musim kedua, Jovic total mencetak 27 gol dari 48 pertandingan. Ia juga memiliki rasio percobaan menjadi gol hingga 32% dan membukukan 71 minutes-per-goal.

Mantan rekan setim Jovic, Kevin-Prince Boateng, mengatakan bahwa ia adalah sosok yang memiliki segala kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang finisher. “Saya hanya bisa kagum melihat keistimewaannya dalam menyelesaikan setiap umpan,” kata Boateng.

Huetter tak luput memberikan pujian. Satu pujian diberikan oleh Huetter setelah laga melawan Fortuna Dusseldorf, 2018 silam. Laga itu sendiri diakhiri Jovic dengan lima gol dan Huetter hanya bisa berkata, “Ia amat luar biasa.”

Entah karena merasa sudah cukup puas berada di Frankfurt atau merasa sudah waktunya mencari uang lebih banyak, Jovic pergi ke Real Madrid. Huetter tak menghalanginya dan mengatakan bahwa Jovic sudah seharusnya berada di klub yang lebih besar.

Foto: @lukajovic

Madrid mengeluarkan biaya sebesar 60 juta euro untuk mendatangkan Jovic. Ada ekspektasi amat tinggi yang keluar seiring angka tersebut. Masalahnya, Jovic tak diberi kesempatan sesuai kemampuannya.

Oleh Zinedine Zidane, Jovic ternyata tidak ditempatkan sebagai seorang poacher. Banyak waktu Jovic dihabiskan untuk bergerak di semua area permainan lawan. Alasan inilah yang membuatnya melempem.

Selama 1,5 musim di Madrid, Jovic hanya mampu membukukan 2 gol dari 21 penampilan di La Liga. Pada putaran pertama musim ini, ia yang digadang-gadang menjadi back up Karim Benzema, bahkan tergeser oleh Mariano.

Alasan kedua yang menjadi biang kegagalan Jovic di Madrid adalah dirinya sendiri. Menurut mantan pelatih Timnas Serbia, Ljubisa Tumbakovic, Jovic gagal karena terbuai dengan kekayaan yang datang terlalu dini.

Pendapat Tumbakovic muncul setelah Jovic pernah ketahuan keluyuran malam. Pada awal pandemi, Maret 2020, ia ketahuan muncul di pesta ulang tahun pacarnya, padahal seharusnya ia melakukan isolasi mandiri karena baru saja datang dari Spanyol.

Tindakan tersebut membuat Jovic diserang dari segala arah. Tak hanya dari Tumbakovic, tapi juga Presiden Serbia, Aleksandar Vucic. Jovic lantas meminta maaf dan berjanji tak akan melanggar aturan lagi.

***

Menjelang berakhirnya Desember 2020, Frankfurt membuat keputusan untuk melepas penyerang nomor dua mereka, Bas Dost, ke Club Brugge. Tak berselang lama, mereka diisukan membawa Jovic pulang.

Frankfurt bukan satu-satunya klub yang ingin mendatangkan Jovic. AC Milan disebut sebagai klub lain yang juga tertarik. Milan bahkan dikabarkan menyuruh mantan rekan Jovic, Ante Rebic, untuk membujuknya.

Pada akhirnya, Jovic memilih Frankfurt. Selain tak perlu lagi beradaptasi, Huetter jadi alasannya untuk kembali. Pilihannya tidak salah, ia menutup pertandingan pertamanya di edisi keduanya berseragam Frankfurt dengan dua gol.

Dua gol tersebut dianggap sebagai momen awal kebangkitan Jovic. Banyak pihak yang semula meragukan Jovic, kini justru berbalik menuding Madrid, yang pada kenyataannya tidak bisa membuat Jovic mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Jika tudingan tersebut benar, maka rasanya kita perlu bertanya: Apakah Jovic akan bersinar (kembali)?