Luka Menganga Roma

Lesunya pemain-pemain Roma usai dibabat Inter 0-3. (Twitter/@ASRomaEN)

Sempat terlihat menjanjikan di awal musim, Roma kini kedodoran. Apakah ini memang salah Jose Mourinho?

Jose Mourinho tampaknya memang membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapatkan. Sebabnya jelas: Roma sedang tidak baik-baik saja.

Mourinho menawarkan angin segar bagi Roma ketika ditunjuk menjadi pelatih, Mei silam. Rekam jejak Mourinho, harus diakui, memang impresif kendati dalam beberapa tahun terakhir tangannya tak lagi dingin. Menangani Roma, kala itu, dipandang sebagai momentum Mourinho untuk mengulangi segalanya dari nol.

Membawa tim yang tak diunggulkan menjadi juara adalah alasan mengapa Mourinho berani menjuluki dirinya The Special One. Dia memang bisa juga menjadi juara bersama tim-tim yang di atas kertas diunggulkan seperti Real Madrid, Chelsea, dan Manchester United. Namun, keberhasilan yang mendefinisikan Mourinho adalah keberhasilan bersama Porto pada awal 2000-an dan Internazionale pada akhir dekade yang sama.

Bagi para pendukung Porto dan Inter, Mourinho tak ubahnya Mesias. Seorang penyelamat yang mengangkat status mereka dari underdog menjadi top dog. Di level domestik, Porto dan Inter memang yang teratas, tetapi tidak dengan di Eropa. Bersama Mourinho, gelar juara Liga Champions berhasil mereka raih.

Namun, bagi suporter Chelsea, Real Madrid, dan Manchester United, Mourinho dipandang berbeda. Ya, dia memang sukses mempersembahkan gelar. Akan tetapi, kiprahnya di tiga klub tersebut dinodai oleh banyak perselisihan. Di Chelsea dia berselisih dengan dr. Eva Carneiro, di Real dia punya masalah dengan Kaka dan Iker Casillas, dan di United dia acap melempar Paul Pogba dan Luke Shaw ke kolong bus.

Jose Mourinho belum bisa mengangkat Roma. (Instagram/@officialasroma)

Maka, tak mengherankan bila mereka yang berafiliasi dengan Chelsea, Real, dan United bakal mengingat Mourinho sebagai sosok yang toksik. Sosok yang justru mengacaukan harmoni dalam tim. Sosok yang tak pernah mau disalahkan dan selalu mencari kambing hitam dari dalam timnya sendiri.

Harus diakui, memang ada perubahan dalam diri Mourinho sejak dirinya menangani Real Madrid. Panasnya rivalitas dengan Barcelona kala itu (awal dekade 2010-an) membuat Mourinho kerap kehilangan kontrol. Hasilnya, dia tidak cuma rajin melempar misil ke kamp lawan tetapi juga meledakkan ranjau di kampnya sendiri.

Apa yang terjadi di Madrid itu lantas merembet ke London dan Manchester. Dalam satu dasawarsa terakhir, Mourinho seperti terjebak dalam narasi yang ada di kepalanya sendiri. Yakni, bahwa dia adalah sosok sempurna yang mustahil membuat kesalahan. Maka, apabila ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi, bagi Mourinho, itu bukan salahnya.

Dari situ, melihat kepindahan Mourinho ke Roma sebagai sebuah lembaran kosong (clean slate) adalah hal masuk akal. Roma memang merupakan salah satu klub terbesar di Italia. Namun, tekanan yang ada di sana tidaklah sebesar di Real, Chelsea, atau United. Mourinho diharapkan bisa menjadikan Roma seperti Porto dan Inter dulu.

Pada awal musim 2020/21, Roma memang terlihat bakal seperti Porto dan Inter dulu. Dalam enam pertandingan resmi pertama Mourinho bersama Roma, baik di Serie A maupun Europa Conference League, enam kemenangan berhasil diraih. Akan tetapi, seiring berjalannya musim, prospek Roma untuk menjadi Porto dan Inter baru makin kabur.

Titik terendah Roma musim ini terjadi pada 21 Oktober lalu, ketika mereka dipermalukan Bodo/Glimt di Conference League dengan skor 6-1. Kekalahan itu betul-betul tidak bisa diterima akal sehat karena, meski memiliki nilai skuad 30 kali lipat Bodo/Glimt, Roma praktis tak bisa berbuat apa-apa. Usai laga, Mourinho menyalahkan sejumlah pemain pelapis yang dianggapnya tak cukup berkualitas. Akan tetapi, dalam pertemuan kedua, Roma tetap gagal menang atas tim Norwegia tersebut kendati menurunkan tim terbaiknya.

Jika ditotal, setelah meraih enam kemenangan beruntun di enam pertandingan pertama Mourinho, Roma sudah menjalani 17 laga. Dari situ, Lorenzo Pellegrini dkk. kalah delapan kali. Akibatnya, Roma kini terjebak di posisi tujuh Serie A dan belum bisa memuncaki grupnya di Conference League.

Selama itu, Mourinho tak cuma mencak-mencak kepada para pemain pelapis Roma, tetapi juga kepada wartawan. Bahkan, sejumlah jurnalis Italia sampai memboikot konferensi pers Mourinho karena ucapannya. Alih-alih menjadikan Roma sebagai Porto dan Inter, Mourinho mengalami kembali apa yang terjadi di Real, Chelsea, dan United.

Lalu, di mana letak masalahnya? Apakah Mourinho memang merupakan sumber kekacauan yang ada di Roma?

Bila pertanyaan itu diajukan kepada Francesco Totti, jawabannya adalah tidak. Malah, sudah dua kali Totti mengungkapkan hal itu. Namun, Totti sendiri tidak sepenuhnya benar. Sebab, Mourinho bukannya tidak punya andil terhadap situasi yang ada di Giallorossi saat ini meskipun dia bukan penyebab utamanya.

Masalah Roma saat ini sebenarnya merupakan imbas dari mismanajemen yang terjadi pada era kepemilikan Raptor Group. Ketika diambil alih oleh Raptor Group pimpinan James Pallotta, Roma sempat punya masa depan cerah, terutama karena Pallotta sendiri memiliki visi yang sangat bagus. Pallotta waktu itu ingin memodernisasi Roma, salah satunya dengan membangun stadion baru yang besar dan mewah.

Rancangan Stadio della Roma (Twitter/@StadiodellaRoma)

Namun, mimpi Pallotta tersebut pada akhirnya menjadi alasan mengapa dia harus angkat kaki. Pallotta mengalokasikan sebagian besar sumber daya yang dia miliki untuk proyek Stadio della Roma. Sayangnya, dia tidak mengantisipasi hambatan yang, di kemudian hari, juga dirasakan oleh Presiden Fiorentina, Rocco Commisso.

Membangun stadion di Italia adalah sebuah misi mustahil. Kendati sudah punya rencana matang dan dana melimpah, Pallotta tak dapat menyelesaikan pembangunan Stadio della Roma karena terhalang birokrasi busuk Italia. Karena sudah telanjur mengalokasikan dana ke stadion itu, Pallotta pun mesti membiayai tim dengan cara lain.

Cara lain itu, tak lain, adalah dengan menjadikan Roma sebagai pasar swalayan. Dia membeli pemain dengan harga murah, menjualnya dengan harga lebih tinggi sebelum pemain itu benar-benar jadi, lalu menggantikannya dengan pemain baru yang murah. Praktik ini, perlahan tapi pasti, membuat Roma semakin terpuruk karena kualitas pemain yang mereka miliki memang tidak istimewa.

Kini Pallotta sudah pergi. Mourinho sendiri ditunjuk oleh pemilik baru Roma, Dan Friedkin, yang membeli klub dengan nilai 591 juta euro pada Agustus 2020. Dengan dana segar Friedkin, pada bursa transfer musim panas lalu Roma sudah bisa mulai berbelanja dalam jumlah besar. Transfer Tammy Abraham dari Chelsea ketika itu menjadi perhatian utama.

Namun, pembelian pemain-pemain pada musim panas lalu juga tidak selamanya tepat. Abraham memang bagus, tetapi bagaimana dengan Marash Kumbulla dan Bryan Reynolds? Lalu, bagaimana pula dengan keputusan meminjamkan pemain sarat pengalaman, Alessandro Florenzi, ke Milan?

Sepintas, kesalahan transfer itu bisa dibebankan pada Tiago Pinto. Namun, mengingat Pinto, si direktur olahraga, adalah orang yang membujuk Mourinho bergabung ke Roma, mungkinkah dia membuat keputusan transfer tanpa berkonsultasi dengan pelatih?

Tammy Abraham, salah satu transfer sukses Roma musim ini. (Instagram/@officialasroma)

Selain itu, Mourinho juga sudah bersikap tidak adil kepada para pemain pelapis Roma. Musim lalu, di bawah Paulo Fonseca, pemain-pemain yang tidak disukai Mourinho seperti Borja Mayoral dan Gonzalo Villar sebenarnya tampil impresif. Ini bisa dipandang sebagai sebuah kegagalan bagi Mourinho untuk meningkatkan kualitas pemain yang ada di arsenalnya. Namun, di sisi lain, itu juga dapat diartikan sebagai sinyal bahwa Roma masih membutuhkan bursa transfer untuk membentuk skuad yang diinginkan Mourinho.

Manajemen Roma sendiri tampaknya bakal memberikan waktu dan dana bagi Mourinho untuk membentuk tim sesuai keinginannya. Akan tetapi, itu juga tidak bisa menjadi jaminan kesuksesan. Mengapa? Karena secara taktis pun tidak ada yang menonjol dari Mourinho. Dia masih mengandalkan cara lama yang sebenarnya sudah tidak lagi bekerja dengan baik, terutama di Manchester United.

Sesekali, Roma asuhan Mourinho memang bisa tampil begitu atraktif. Akan tetapi, bukan Mourinho yang membuatnya begitu. Pemain-pemain macam Pellegrini, Abraham, dan Henrikh Mkhitaryan-lah yang memungkinkan itu terjadi. Ketika pemain-pemain itu absen atau sedang tidak dalam kondisi terbaik, permainan tim secara keseluruhan pun macet dan Mourinho tak punya solusi.

Tentu saja, tidak semua yang dilakukan Mourinho bisa disebut buruk. Mourinho telah mengorbitkan Felix Afena-Gyan. Kepercayaan yang dia berikan pada Pellegrini juga membuat eks gelandang Sassuolo itu bersinar. Namun, mesti diakui, dia belum bisa mengangkat Roma. Permainan Roma di bawah Mourinho tak lebih baik dari Fonseca, hasil akhir yang didapat pun setali tiga uang.

Meski begitu, masalah Roma memang terlalu pelik. Sekali lagi, ini adalah hasil mismanajemen selama kurang lebih satu dasawarsa. Maka, menyalahkan Mourinho seorang pun rasanya tidak adil. Roma, Mourinho, Pinto, dan Friedkin memang membutuhkan waktu, juga biaya, untuk merevitalisasi tim di semua lini. Oleh karenanya, bukan hal aneh jika Roma masih memberi kesempatan bagi Mourinho.