Mad, Mad, Manchester
Saya, sih, setuju-setuju saja dengan 'Ole's at the wheel', asalkan Ole Gunnar Solskjaer menyetir mobilnya dalam keadaan sober.
Jauh sebelum menjadi pria tua menyebalkan yang tidak percaya vaksin dan emoh memakai masker, Ian Brown adalah pemberontak yang menyenangkan. Saya selalu menikmati cerita-ceritanya sebagai pendukung Manchester United.
Sesungguhnya, kalau Anda bukan penggemar sepak bola, tidak banyak yang bisa dilakukan di Manchester. Untuk penggemar sepak bola, saya bisa memberikan sejumlah tujuan meski jumlahnya juga tidak banyak: Old Trafford, Broadhurst Park, Etihad, dan National Football Museum.
Orang-orang (Indonesia) yang saya kenal sudah kadung mengenal Manchester karena Madchester, karena The Charlatans, karena Joy Division serta New Order, dan karena The Stone Roses (maaf, Oasis). Oleh karena itu, mereka lebih antusias melihat Haçienda —yang kini sudah menjadi apartemen— ketimbang, katakanlah, Old Trafford.
Ian Brown berada dalam irisan itu: Antara musik dan sepak bola. Saya dan dia sama, kami sama-sama menggemari Manchester United. Jika tidak sedang menjadi frontman The Stone Roses, Brown adalah pengikut ‘Iblis Merah’ yang taat. Kesalihannya cuma kalah dari Mani Mounfield, bassis The Stone Roses.
Tumbuh di keluarga yang mayoritasnya adalah penggemar Manchester City, Brown menahbiskan dirinya sebagai pendukung United pada usia lima tahun, tidak lama setelah United menjuarai European Cup pada 1968. Pertandingan pertama United yang ia saksikan langsung adalah laga kandang melawan Southampton pada 1971. United menang 5-1 pada laga itu, Alan Gowling bikin empat gol.
“Nenek saya memajang foto keluarga di dinding; foto cucu-cucunya ditempatkan melingkar, di tengahnya ada foto Joe Corrigan (kiper Man City dari 1967-1983),” kata Brown kepada The Guardian, sebelum membubuhkan penegasan bahwa dirinya adalah pemberontak sekaligus pendukung United yang kafah: “I’m the red sheep.”
Pada 1991, The Stone Roses merilis ‘Waterfall’. Kelak, sama seperti rilisan lainnya dari kuartet tersebut, ‘This is The One’, ‘Waterfall’ cukup sering diputar sebagai bagian dari playlist hari pertandingan di Old Trafford.
Kita kemudian mengenal salah satu bait dari ‘Waterfall’ itu dinyanyikan sebagai chant pada hari-hari belakangan ini. Brown menuliskannya dengan sederhana: “Now, you’re at the wheel. Tell me how, how does it feel?” Lantas, para pendukung United mengubahnya menjadi: “Ole’s at the wheel. Tell me how good does it feel?”
Oleh pendukung lawan, frase ‘Ole’s at the wheel’ itu kemudian berubah lagi. Kali ini menjadi olok-olokan: ‘Ole’s at the wheel… drunk driving’. Ole menyetir… sambil mabuk.
***
Sesungguhnya, sulit untuk menganalisis permainan United musim ini tanpa ada struktur permainan yang jelas. Ole Gunnar Solskjaer, yang datang sebagai caretaker pada 2018 untuk kemudian dipermanenkan pada 2019, sempat memberikan penyegaran dan gaya main yang menjanjikan. Oleh pria asal Norwegia itu, United bermain direct lengkap dengan counterpress di sepertiga akhir lapangan.
Dengan gaya begitu, tidak heran apabila pada musim berikutnya, Solskjaer menempatkan pemain-pemain lincah nan cepat pada lini depan. Tujuannya, selain untuk melakukan pressing kepada pemain belakang lawan, adalah untuk melakukan transisi secepat mungkin dari bertahan ke menyerang.
Sialnya, tanpa struktur permainan yang jelas, gaya tersebut cukup sulit untuk memberikan hasil yang konsisten kepada United. The Red Devils biasanya begitu superior menghadapi lawan yang tampil ofensif, tetapi kebingungan ketika harus melawan kesebelasan yang bertahan amat dalam dan emoh mengendalikan permainan lewat penguasaan bola.
Manakala United menjadi kesebelasan yang paling dominan dalam penguasaan bola, mereka menjadi clueless —tidak tahu ke mana bola harus dialirkan. Penyakit yang acapkali muncul adalah mereka tidak cukup cepat mengalirkan bola sehingga sulit untuk membuka ruang dan membongkar pertahanan lawan.
Problem tersebut makin lengkap dengan kebiasaan para pemain United berada dalam posisi yang salah dalam fase tertentu. Ini belum bicara soal bagaimana pergerakan tanpa bola mereka juga acapkali buruk.
Oleh karena itu, wajar apabila banyak yang bertanya-tanya apa saja yang mereka lakukan pada sesi latihan. Yang sering terlihat di lapangan adalah bagaimana para pemain United seolah-olah disuruh untuk menyusun puzzle sendirian. Pokoknya, bola harus sampai ke depan. Caranya? Terserah. Tak heran ada anggapan bahwa untuk urusan build-up serangan, United betul-betul sekadar mengandalkan kemampuan individual.
United sebetulnya tidak kekurangan pemain dengan skill mumpuni. Melihat Bruno Fernandes cukup berani mengambil risiko melepaskan umpan vertikal sesungguhnya cukup menyegarkan. Marcus Rashford punya keberanian untuk melakukan duel satu lawan satu dengan bek lawan; Anthony Martial adalah jagonya melakukan dribel dalam space yang begitu sempit; Donny van de Beek punya kemampuan mengendus ruang sekecil apa pun di lini pertahanan lawan dan menjadi penyelesai umpan; dan banyak lagi.
United memang tidak disesaki oleh pemain-pemain kelas satu. Namun, cukuplah memiliki pemain-pemain dengan kemampuan lumayan asalkan tahu bagaimana memaksimalkannya dan memadukannya dalam komposisi yang pas.
Perdebatan sepak bola belakangan ini (terutama yang banalnya minta ampun di lini masa media sosial) acapkali mereduksi pembahasan menjadi soal “pemain bagus” dan “pemain medioker” seolah-olah untuk mendapat trofi, kamu harus menyusun starting XI penuh pemain kelas dunia. Memangnya berapa banyak, sih, pemain kelas dunia yang dimiliki Sir Alex Ferguson ketika mendominasi Premier League?
Ambil contoh Van de Beek. Sebagai alumnus Ajax yang sukses menembus semifinal Liga Champions 2018/19, ia memang tidak segenius Frenkie de Jong atau Hakim Ziyech. Namun, kemampuan Van de Beek dalam mencari ruang di kotak penalti lawan dan menjadi opsi tambahan dari second line adalah tambahan yang cukup bernilai.
Memiliki Fernandes yang punya keberanian mengambil risiko melepas umpan vertikal manakala menghadapi lawan yang berani bermain terbuka memang menguntungkan. Namun, menghadapi lawan yang bertahan dengan low block dan rapat, kombinasi Van de Beek dan pergerakan pemain (juga operan) yang cepat rasanya bisa menjadi senjata yang lebih tepat.
United sesungguhnya tidak kekurangan opsi. Tinggal bagaimana kejelian Solskjaer saja untuk mengaplikasikannya atau melakukan drill yang tepat pada sesi latihan. Sejauh ini, yang kita lihat United masih cukup sering mengandalkan kemampuan individu untuk menembus pertahanan ketat lawan, entah itu lewat dribel atau mengandalkan pemberi operan jitu semodel Fernandes atau Juan Mata.
Maka, jangan heran apabila melihat 18 penalti yang didapatkan United di Premier League sejak musim kemarin, hanya 4 yang berasal dari handball. Sisanya adalah pelanggaran terhadap pemain-pemain United yang melakukan aksi di dalam kotak penalti.
***
Ketika United meraih kemenangan perdananya di kandang pada Premier League musim ini lewat penalti Fernandes, rival sekota mereka, Manchester City, justru takluk di tangan Tottenham Hotspur. City boleh jadi punya problem yang tidak lebih memusingkan dibandingkan United. Namun, peringkat Premier League sampai pekan kesembilan menunjukkan bahwa ada masalah yang tidak bisa mereka lupakan.
Terpuruknya duo Manchester pada papan tengah memberi arti lain pada ‘Madchester’. Seolah-olah kedua kesebelasan mengalami hangover pada akhir pekan setelah bersenang-senang semalam suntuk di Haçienda.
Solskjaer, di sisi lain, barangkali belum cukup menyadari bahwa mobil yang ia kendarai sesungguhnya tak buruk-buruk amat. Ia hanya perlu membaca ulang manualnya.
Kalaupun itu sudah ia lakukan, barangkali ada komponen mesin yang kudu ia perbaiki atau justru cara berkendaranya yang perlu ia perhatikan. Jangan sampai niatnya berbelok ke kanan, tetapi lampu sein-nya justru ke kiri. Itu, sih, sama ngawur-nya dengan drunk driving.