Mahmoud Dahoud yang Sesungguhnya

Foto: bvb.de

Mendapat label sebagai salah satu bocah ajaib Bundesliga, Mahmoud Dahoud tampak kesulitan memenuhi segala ekspektasi yang mengarah ke pundaknya. Namun, musim ini, ia akhirnya menunjukkan bahwa seperti inilah Mahmoud Dahoud sesungguhnya.

Banyak sekali kisah menarik terkait masa lalu Mahmoud Dahoud karena ia yang lahir dan memang berdarah Suriah. Mengingat-ingat kembali perjalanannya menuju Jerman, cerita yang tersaji juga tak kalah menarik.

Namun, tak terlalu banyak yang mengangkatnya karena pesona yang Dahoud tunjukkan di atas lapangan jauh lebih menarik lagi. Kata orang-orang, ia adalah Ilkay Guendogan selanjutnya. Kata yang lainnya, ia adalah perwujudan nyata gelandang komplet di sepak bola modern.

Mereka yang mengikuti sepak bola Jerman pada kurun 2014 hingga 2017 jelas sepakat dengan semua label itu. Lucien Favre, pelatih Borussia Moenchengladbach pada 2011 hingga 2015, yang kebetulan juga mengorbitkan Dahoud, juga amat percaya.

Foto: Bundesliga.com

Gladbach memang jadi tempat Dahoud memulai karier profesional. Pada 2010 ketika usianya 14 tahun, ia bergabung dengan akademi Gladbach. Kurang dari empat tahun di sana, ia sudah mencuri muka dengan mencatatkan delapan gol dan 13 assist untuk tim U-17 dan U-19.

Bergabung dengan tim senior adalah hadiah pas atas catatan spesial tersebut. Di titik inilah ia bertemu Favre. Debutnya berlangsung pada 27 Agustus 2014 dalam play-off Liga Europa melawan FK Sarajevo. Beberapa bulan kemudian, ia juga menjalani debut Bundesliga melawan Borussia Dortmund.

Meski demikian, baru pada musim 2015–16 Dahoud benar-benar menjadi pilihan utama. Kini bukan lagi Favre yang memegang kendali taktik Gladbach, melainkan Andre Schubert.

Bahwa ia tampil sebanyak 32 laga Bundesliga musim itu, kuasa mencetak lima gol serta mencatatkan sembilan assist, adalah bukti betapa ia tak sekadar mulai tampil reguler. Keberadaannya di lapangan benar-benar memberikan impak, terlebih Gladbach mampu finis di zona Liga Champions.

Melihat aksinya sepanjang musim itu, sungguh tak berlebihan jika ada yang menyebutnya sebagai gelandang yang komplet. Saat menguasai bola, ia bisa melakukan hampir segalanya: Mengontrol tempo, melepaskan umpan pendek maupun panjang, menembak, bahkan melewati lawan.

Ketika tak menguasai bola, Dahoud yang begitu anggun saat bola di kakinya bisa berubah menjadi pemain paling agresif di lapangan. Ia akan berlari ke sana-sini untuk merebut bola sesegera mungkin. Ia bahkan tak segan berduel udara dengan pemain yang jauh lebih besar darinya.

Satu lagi: Dahoud juga fasih bermain di semua posisi lini tengah, mulai dari gelandang bertahan, gelandang tengah, hingga gelandang serang. Bukan hal aneh jika tim-tim seperti Liverpool, Paris Saint-Germain, Juventus, hingga Chelsea tertarik mendatangkannya.

Meski begitu, Dahoud justru berlabuh di Dortmund. Sayangnya, Die Borussen sedang tidak baik-baik saja kala itu. Performa mengecewakan membuat mereka mengganti pelatih di tengah jalan. Di sisi lain, Dahoud juga mesti berhadapan dengan masalah bernama cedera.

Beralihnya kursi kepelatihan ke tangan Lucien Favre pada 2018–19 sempat mengembalikan harap lantaran kisah manis keduanya di Gladbach. Namun, lagi-lagi karena cedera, Dahoud tak terlibat banyak, padahal musim pertama Dortmund bersama Favre tampak menjanjikan.

Musim berikutnya pun sama saja. Baru pada 2020–21 serangkaian cedera menjauh. Meski demikian, kondisi ini tak otomatis membuat Dahoud kembali ke performa terbaiknya. Salah satu penyebabnya karena Dahoud tak cocok dengan pendekatan sepak bola pasif ala Favre.

Saat beraksi di lapangan, pesepakbola kelahiran 1 Januari 1996 itu membutuhkan tim yang bisa membuatnya banyak berlari. Rekam jejaknya memang amat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, dalam suatu musim ia pernah mencatatkan daya jelajah dengan rata-rata 13 kilometer per laga.

Bagi Dahoud, memang seperti itulah sepak bola yang ia mainkan seharusnya. “Saya ingin selalu bergerak. Jika saya diam, saya merasa tidak terlibat lagi dalam permainan,” katanya suatu hari, dilansir FourFourTwo.

Itulah kenapa, saat Favre dipecat dari jabatannya jelang paruh kedua Bundesliga, Dahoud seperti merasakan angin surgawi. Terlebih, yang menggantikannya adalah Edin Terzic. Meski tidak berpengalaman, Terzic adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi sepak bola agresif.

Pertama-tama, ia mengembalikan skema empat bek Dortmund. Variasinya macam-macam. Namun, satu yang terlihat jelas, Dortmund tampil jauh lebih agresif. Mereka aktif menekan lawan. Jumlah tekel per laga (15,2) saja unggul dari Bayern Muenchen dan cuma kalah dari Wolfsburg.

Dalam sepak bola seperti itulah Dahoud bisa maksimal. Sejak Terzic menjadi juru taktik, Dahoud mulai sering tampil sebagai satu dari tiga gelandang Dortmund. Salah satu performa terbaiknya hadir saat menang 4–1 atas RB Leipzig di final DFB-Pokal.

Musim ini, tak ada lagi nama Edin Terzic di barisan pelatih Dortmund. Meski demikian, pendekatan bermain mereka tak banyak berubah. Agresivitas yang sebelumnya coba dibangun Terzic masih jadi andalan, bahkan kali ini jauh lebih intens lagi.

Foto: bvb.de

Marco Rose-lah alasan di balik semua itu.

Meski hingga kini masih angin-anginan, Rose berhasil membuat Dortmund menjadi mesin pressing menakutkan. Persentase pressing sukses mereka di Bundesliga musim ini mencapai 34,8%. Die Borussen juga tercatat sebagai tim dengan jumlah tekel sukses tertinggi, yakni 249 kali.

Dahoud, yang sejauh ini jadi pilihan utama di lini tengah dalam tujuh skema dasar berbeda Rose, terlibat aktif di sana. Ia termasuk salah satu pemain paling agresif Dortmund dengan jumlah pressing sebanyak 226. Jumlah tekel suksesnya juga mengesankan karena mencapai 1,7 tekel per pertandingan.

Lantaran aspek ofensif Dahoud yang juga sama baiknya (2 assist, 17 keypass, dan 1,8 dribel sukses per laga), rasanya kita seperti kembali melihat Dahoud yang sesungguhnya. Yang perlu ia lakukan berikutnya adalah terus konsisten dan sebisa mungkin menghindari cedera.