Make Eriksen Great Again

Twitter @Inter_en

Bersama Inter, Eriksen boleh terlunta-lunta. Tapi jangan lupa bahwa dia adalah gelandang cendekia. Dia adalah salah satu dari sedikitnya gelandang nomor 10 yang tersisa.

Belum lama datang ke kota Milan, Christian Eriksen sudah merana. Dia jadi tunawisma --ini sungguhan, bukan kiasan, karena dia memang tidak memiliki rumah untuk menetap. 

Mau bagaimana lagi, Eriksen resmi diboyong Inter Milan pada bursa transfer musim dingin 2020. Waktu itu pandemi COVID-19 lagi kencang-kencangnya di Italia.

Pemerintah setempat keburu menerapkan lockdown sebelum Eriksen menemukan tempat tinggal. Sempat ada niatan untuk menumpang di tempat tinggal Romelu Lukaku dan Ashley Young. Namun, Eriksen mengurungkan niatnya. Pasalnya, kedua eks pemain Manchester United itu sudah berkeluarga.

Sampai akhirnya Eriksen memutuskan menetap di kamp latihan Inter. Untungnya ada seorang koki dan beberapa anggota staf yang membuatnya tidak kesepian-kesepian amat.

"Saya tinggal di tempat latihan klub. Di sana ada seorang koki dan lima anggota staf yang memilih untuk karantina mandiri demi melindungi keluarga mereka," kata Eriksen kepada The Sun.

Fragmen masa-masa awal Eriksen di Inter itu menyiratkan sesuatu yang tak mengenakkan. Mungkin betul bahwa Eriksen dan Inter memang tak berjodoh. Dan mungkin hal itu menyiratkan bahwa kota Milan memang tempat persinggahan sementara saja untuknya.

***

Baru setahun Eriksen berseragam Inter, manajemen klub sudah berniat untuk menjualnya. Pernyataan itu ditegaskan CEO Inter Milan, Beppe Marotta. Dia tak sendirian, Piero Ausilio sang direktur olahraga juga sudah menyetujui langkah tersebut.

“Eriksen ada dalam daftar jual, Piero Ausilio juga sudah mengonfirmasinya. Dia telah berusaha beradaptasi dengan skuad, tapi nyatanya dia tidak berfungsi. Itu fakta obyektif," kata Marotta kepada Sky Italia.

Marotta tak asal ngomong. Eriksen memang minim kontribusi di Inter. Gelandang Denmark itu hanya 4 kali tampil sebagai starter di Serie A 2020/21. Menit mainnya juga cuma 276 --kelima terbawah dari seluruh penggawa Nerazzurri.

Minimnya kontribusi Eriksen bukanlah simtom yang datang tiba-tiba. Musim lalu saja menit bermain Eriksen cuma secuil --cuma 701 menit dari 17 penampilan. Mayoritas dia mentas sebagai pemain pengganti (9 kali dari 17 laga tersebut).

Eriksen sebenarnya bukannya tak mendapatkan pembelaan. Eks striker Inter, Christian Vieri, adalah salah satu yang berdiri di belakangnya. Dia menyatakan bahwa Inter yang jadi biang masalah sebenarnya. Kalau memang tak cocok, mengapa mereka menebus Eriksen sebesar 20 juta euro dari Tottenham Hotspur?

Well
, soal rekrutan gagal, terutama di era Antonio Conte, Eriksen bukanlah satu-satunya. Ada Valentino Lazaro dan Matteo Politano yang kini dilepas ke tim lain. Lazaro, yang dibeli 2 juta lebih mahal daripada Eriksen, kini dipinjamkan ke Borussia Moenchengladbach, sementara Politano dilepas ke Napoli --juga dengan status pinjaman-- usai dipermanenkan musim lalu.


Bila ditelaah, Conte sebenarnya  punya alasan cukup untuk mendatangkan Eriksen pada musim lalu. Dia memang membutuhkan gelandang kreatif demi menunjang garda terdepan.

Dari tipikal permainan, Eriksen berbeda dengan Marcelo Brozovic, Stefano Sensi, Nicolo Barella, dan Roberto Gagliardini. Pun dibanding Borja Valero atau Matias Vecino waktu itu.

Setidaknya kehadiran "pemain nomor 10" macam Eriksen akan menambah opsi Inter dari lini kedua --sekaligus mengurangi ketergantungan Inter kepada Lautaro Martinez dan Lukaku. FYI, sampai pertengahan musim 2019/20, 59,5% dari seluruh gol Inter di Serie A lahir melalui mereka berdua.

Lagipula produktivitas Eriksen cukup mentereng. Rata-rata 8 gol per musim dibuatnya sejak bergabung dengan Tottenham pada musim 2013/14.

Belum ditambah dengan kreativitas ciamiknya. Total 62 assist ia bukukan sepanjang mentas di Premier League. Saat itu jumlahnya lebih banyak dibanding playmaker elite macam Kevin De Bruyne, Eden Hazard, Mesut Oezil, dan Juan Mata.

Tapi, ya, sepak bola modern menuntut pemain untuk berkembang. Termasuk gelandang serang. Mereka kudu mampu bertahan selain mengkreasi peluang. Intinya, sih, bisa menyesuaikan diri dengan gaya main pelatih. Sayangnya, Conte menilai Eriksen tak mampu beradaptasi.

Conte sendiri intens mengaplikasikan pakem 3-5-2. Tiga gelandangnya cenderung diisi dengan pemain box-to-box seperti Arturo Vidal, Brozovic, Sensi, dan Barella. Alasannya simpel: Mereka punya atribut bertahan yang oke.

Barella dan Brozovic, misalnya, mengemas rata-rata 1,8 dan 1,7 tekel per laga. Jumlah itu menjadi yang tertinggi di antara penggawa reguler Inter. Kemudian untuk Intersep, Vidal yang memimpin. Mantan pemain Barcelona itu mencatatkan 1,8 inter di tiap pertandingan.

Eriksen? Rata-rata tekel serta intersepnya cuma menyentuh 0,4 dan 0,3. Catatan itu malah lebih rendah dari Lautaro Martinez.

Perkara kebutuhan akan pemain kreatif, Conte sudah mengalokasikannya ke wing-back. Achraf Hakimi salah satunya. Dia bahkan sudah menyumbang 5 gol --tertinggi ketiga setelah Romelu Lukaku dan Lautaro. Itulah mengapa, tanpa Eriksen pun skema Conte sudah berjalan sesuai rencana.

Sad but true, fenomena pemain "nomor 10" yang terbuang memang sudah jamak terjadi. Kecuali mereka bisa beradaptasi dan bisa bergerak mobile. Hakan Calhanoglu adalah salah satu contohnya. Meski begitu, perlu dicatat juga bahwa Calhanoglu terbentu dengan duet Franck Kessie dan Ismael Bennacer di belakangnya sehingga ia bisa bebas mengokupasi area di belakang striker dengan leluasa.

Bruno Fernandes juga jadi pengecualian karena United formasi United memang mengakomodirnya sebagai gelandang serang, tanpa beban untuk membantu pertahanan. Sisanya mungkin bisa dihitung dengan jari. Makanya sulit untuk menemukan pemain macam Ronaldinho, Juan Roman Riquelme, dan Rui Costa pada era sekarang.


Perkaranya itu tadi, para pelatih lebih membutuhkan gelandang komplet ketimbang sekadar kreatif. Apalagi, peran playmaker bisa diemban tak hanya oleh gelandang serang saja. Bisa dari winger, gelandang bertahan (deep-lying playmaker), bahkan full-back sekalipun. 

Lionel Messi, Eden Hazard (sewaktu di Chelsea), Jack Grealish adalah deretan winger yang jago menyusun serangan. Bahkan Harry Kane bisa disebut playmaker Tottenham di bawah arahan Jose Mourinho sekarang.

Ambil contoh Liverpool, deh, sebagai salah satu klub yang bisa sukses bermain tanpa peran gelandang kreatif. Ketiga gelandang Juergen Klopp dalam format 4-3-3 diisi oleh pemain box-to-box.

Di antara ketiganya, Jordan Henderson bisa disebut sebagai deep-lying playmaker buat Liverpool, tapi ia tak melulu bertugas mengkreasikan peluang. Pasalnya, tak jarang pula kreasi peluang datang dari Trent-Alexander Arnold atau Andrew Robertson yang bermain sebagai full-back.

Lalu, ke mana Eriksen akan pergi?

Situasinya saat ini rada tricky. Inter kabarnya baru akan melepas Eriksen di angka 30 juta euro. Tak banyak yang bisa memenuhi permintaan Inter karena pandemi ini melemahkan kondisi keuangan beberapa klub, tak terkecuali tim-tim besar Eropa. Belum lagi dengan gaji Eriksen yang terbilang tinggi.

Faktor-faktor itulah yang jadi penghambat Wolverhampton Wanderers, West Ham United, dan Ajax Amsterdam untuk memboyong Eriksen.

Langkah paling realistis, ya, dengan tukar guling. Bayern Muenchen, Arsenal, dan Paris Saint-Germain dirumorkan sudah ancang-ancang untuk membarter pemainnya.

Bayern menawarkan Corentin Tolisso, Arsenal menyodorkan Granit Xhaka, dan PSG dengan Leandro Paredes. Kalau dihitung-hitung, itu sebuah win-win solution. Pasalnya, gelandang macam mereka lebih berfaedah buat Conte.

Kalau dari perspektif Eriksen, sih, sebaiknya dia memilih PSG. Soalnya, dia bisa berreuni dengan Mauricio Pochettino --arsitek yang bisa menggunakan jasanya dengan baik dan benar di Tottenham Hotspur.

Setidaknya di tengah saat yang sulit ini, masih ada harapan buat Eriksen untuk mengembalikan nama baiknya, mengangkat martabat gelandang nomor 10 yang nyaris punah. 'Make Eriksen Great Again'.