Marco Rose, Borussia Moenchengladbach, dan Dua Sisi Kehidupan

Foto: Twitter @stindl28

Harapan Borussia Gladbach pada Marco Rose tidak bertepuk sebelah tangan. Rose membawa kembali sepak bola menyerang yang sempat hilang dari Borussia Moenchengladbach.

Undian babak 16 besar Liga Champions 2020/21 disebut menguntungkan Manchester City. Di babak 16 besar, mereka menghadapi Borussia Moenchengladbach.

Terlepas dari raihan apik di Grup B--Gladbach bisa bersaing dengan Real Madrid dan Inter Milan--tim asuhan Marco Rose ini masih dipandang sebelah mata. Padahal, ada bom yang tersimpan di dalam tubuh mereka. Bom itu sewaktu-waktu bisa saja menghancurkan Manchester City sampai berkeping-keping.

***

Gladbach sempat mengalami krisis identitas. Gaya sepak bola menyerang sebagai jalan menuju kebangkitan sejak 2010, hilang usai Lucien Favre memutuskan mencari tantangan baru bersama Nice di Prancis.

Favre memang bak malaikat. Di tengah eksistensi Gladbach yang tak oke-oke amat, Favre menghadirkan identitas baru. Sejak 2011 hingga 2015, Favre mengubah Gladbach dari tim semenjana menjadi salah satu tim paling agresif di Jerman dan Eropa. Alhasil, kepergiannya ke Nice menjadi tamparan tersendiri.

Di tengah-tengah kegelapan itu, datanglah Marco Rose dengan segala pencapaiannya di Red Bull Salzburg, yakni dua trofi Bundesliga Austria, satu gelar Piala Austria, dan satu gelar UEFA Youth League. Ia juga pernah membawa Salzburg melangkah ke semifinal Liga Europa.

Harapan Gladbach pada Rose tidak bertepuk sebelah tangan. Sepak bola menyerang kembali menghiasi seluruh Borussia Park.

Walau pernah dilatih Klopp dan Tuchel, pendekatan yang dilakukan Rose berbeda dengan dua sosok tersebut. Skemanya mungkin masih sama, yakni high-pressing. Namun, formasi dasar 4-4-2 permata (lebih ke 4-2-3-1) yang ia gunakan jadi pembeda.

Rose pernah mengatakan bahwa tim asuhannya harus selalu lapar dan aktif. Tim ini harus banyak berlari, memenangi bola setinggi mungkin, serta selalu berusaha lebih dekat dengan gawang. Dinamis? Sudah tentu. Vertikal? Pastinya.

Foto: Twitter @borussia

Pernyataan tersebut diperkuat oleh asistennya yang sudah memenaninya sejak melatih Salzburg, Rene Maric. Selain aktif, dinamis, dan lapar, Gladbach juga harus bermain sefleksibel mungkin. Dengan fleksibilitas, perkara abnormal akan datan memberi kejutan.

Menerapkan sepak bola macam itu tidak mudah. Rose merasakannya sendiri pada awal kepelatihannya di Gladbach. Kerapatan jarak antar-pemain kadang membuat bek sayap terekspos lawan, karena para gelandang dan penyerang cenderung merapat ke tengah.

Merespons kondisi itu, Rose menggunakan 4-4-2 permata. Tujuannya adalah membuat para winger dapat mengokupansi ruang di half space serta memberikan tekanan kepada bek sayap lawan. Hasilnya, sisi sayap Gladbach tidak menjadi tanggung jawab bek sayap semata.

Gaya pressing yang diterapkan Rose di Gladbach sepintas mirip dengan yang diterapkan Julian Nagelsmann dan Ralph Hasenhuettl. Mereka akan memadatkan pemain di tengah, memaksa lawan mengumpan ke sayap, lalu menjebak lawan di area tersebut dengan overload.

Begitu juga dengan dua pemain di depan, yang saat ini banyak diisi Alassane Plea dan Marcus Thuram. Ketika tidak menyerang, para penyerang Gladbach akan menekan bek, sekaligus memotong opsi umpan bek ke arah gelandang bertahan.

Gladbach biasa menyerang secara vertikal. Ketika mendapatkan bola di area pertahanan lawan, bola akan langsung dialirkan dengan cepat ke tengah, melalui gelandang serang, lalu berakhir di kaki para penyerang.

Umpan-umpan pendek juga jadi andalan. Rotasi posisi yang dilakukan membuat serangan cepat ini menjadi mudah dilakukan. Skema ini pula yang terlihat pada gaya bermain tim Nagelsmann dan Hasenhuettl.

Perbedaan Rose dengan Hasenhuettl dan Nagelsmann adalah kelemahan. Jika Hasenhuettl dan Nagelsmann sudah punya skema untuk menangkal serangan balik lawan, meski kadang gagal, Rose belum menemukan itu.

Ketika melakukan build up dari bawah, bek tengah akan menyebar ke sayap, membiarkan para bek sayap merangsek naik ke lini pertahanan lawan. Jarak antar-pemain yang semula rapat jadi renggang. Hal ini yang kerap dimanfaatkan lawan.

Tak heran jika Gladbach mudah kecolongan lewat serangan balik. Hal itu tampak saat mereka menghadapi Eintracht Frankfurt, Rabu (16/12). Dua dari tiga gol yang dicetak Frankfurt adalah buah serangan balik plus banyaknya ruang di lini pertahanan Gladbach.

Jangan heran juga jika gol dan kebobolan Gladbach di Bundesliga 2020/21 tidak berbeda jauh. Sepak bola agresif memampukan mereka mencetak 23 gol, tetapi kemasukan 20 gol. Apa boleh buat, Rose harus segera merumuskan ulang sistem pertahanan timnya.

***

Sepak bola adalah miniatur kehidupan. Dalam kehidupan, ada orang yang senang menjadi inisiator dan aktif, ada yang lebih senang menunggu dan menjadi pasif.

Rose memilih yang pertama. Sepak bola aktif yang ia mainkan sekarang membuat Borussia Moenchengladbach disegani di Jerman dan Eropa. Ia juga ditopang oleh pemain-pemain seperti Plea, Thuram, Breel Embolo, Florian Neuhaus, dan Lars Stindl yang mampu bermain agresif sekaligus fleksibel, sesuai keinginannya.

Akan tetapi, serupa kehidupan, Rose juga harus tahu kapan saatnya menunggu. Tidak selamanya selalu aktif dalam sepak bola itu baik. Ada kalanya kita mesti mengamati situasi, baru kemudian memutuskan jenis pendekatan aktif mana yang akan dipakai. Jika sudah begitu, Rose tentu bisa membawa Gladbach naik satu level lagi.

Jika itu terjadi, Borussia Moenchengladbach juga mesti siap kehilangan Marco Rose yang nantinya bisa saja merapat ke Borussia Dortmund, tim yang mungkin pas dengan skema mainnya, atau malah ke Manchester United.