Marco Rose dan Awal Baru (lagi) buat Dortmund
Borussia Dortmund berharap banyak pada kemampuan dan pengalaman Marco Rose, juru taktik yang akan membantu mereka memulai awal baru untuk yang kesekian kalinya.
Begitu peluit tanda berakhirnya final DFB-Pokal melawan RB Leipzig berbunyi, Edin Terzic langsung berteriak girang sambil mengepalkan tangan tinggi-tinggi.
Adegan kemudian beralih ke momen saat ia bersorak-sorai merayakan juara bersama para pemain Borussia Dortmund. Di pengujung perayaan, ia melambai, lalu membungkuk tanda hormat kepada para pendukung yang tak hadir di stadion. Dalam tangkapan kamera, matanya berkaca-kaca.
Terzic bukan siapa-siapa sembilan tahun lalu. Di Instagram, ia mengunggah foto saat ia yang berstatus suporter menyaksikan kemenangan Dortmund-nya Jurgen Klopp pada final DFB-Pokal 2012. Ia kembali menjadi saksi gelar itu tahun ini. Bukan sebagai suporter, melainkan pelatih.
Ini menjelaskan mengapa air matanya nyaris tumpah. Buat Terzic, Dortmund adalah cinta sejati. Kabarnya ia menolak saat klub Inggris maupun Jerman coba merekrutnya untuk menjadi pelatih musim depan. Terzic ingin tetap di Dortmund, meski ia tahu bahwa bukan dirinya yang akan memimpin tim.
Dengan perasaan seperti itu Terzic memperbaiki Dortmund yang sempat berantakan musim 2020/21 kemarin. Dari yang tadinya terancam gagal menembus Liga Champions, menjadi hanya berjarak satu angka dari tim peringkat kedua. Dari yang tadinya terseok-seok, berhasil mampu menggamit satu piala.
Yang coba Terzic lakukan saat baru ditunjuk sebagai pengganti Lucien Favre yang dipecat adalah mengembalikan moral tim. Tugas itu memang cocok untuk Terzic. Malah, tak ada orang lain yang paling pantas kecuali dirinya. Ia bukan cuma fans Dortmund, melainkan juga memang berasal dari sana.
Tepatnya adalah Menden. Jika Anda cek melalui peta digital, jarak antara kota itu dengan Dortmund hanya kurang dari satu jam perjalanan. Dengan begini, ikatan emosional dirinya dengan Dortmund sangat kuat, sesuatu yang tak pernah dimiliki beberapa pelatih Dortmund sebelumnya.
“Saya adalah produk Borussia Dortmund. Saya berasal dari daerah itu dan telah menjadi penggemar selama berabad-abad,” tegas Terzic, 38 tahun.
Tapi bukan hanya keterikatan emosional yang Terzic punya. Ilmu taktiknya sedikit banyak berasal dari Juergen Klopp. Saat Klopp melatih Dortmund, Terzic sempat bekerja sebagai pencari bakat dan pelatih tim muda. Ia pergi dari tim saat kesempatan di luar negeri datang.
Setidaknya selama lima tahun Terzic bertualang dan semuanya berstatus sebagai asisten pelatih Slaven Bilic. Ia mengemban jabatan itu sejak di Besiktas hingga West Ham United. Pada 2018, Dortmund memanggilnya kembali. Kali ini sebagai asisten Lucien Favre.
Bagaimana pun, bertugas sebagai asisten sangat berbeda dengan menjadi pelatih kepala. Karena itulah pekerjaan yang akhirnya ia emban per akhir tahun lalu bukan hal remeh. Lebih-lebih, Dortmund dalam kondisi yang hanya berjarak sejengkal dari hancur lebur.
“Sebagai asisten pelatih, Anda akan banyak bicara soal teori karena ini soal ide. Sekarang semuanya berubah. Saya akan membuat banyak sekali keputusan, termasuk beberapa keputusan yang mungkin sulit,” tutur Terzic.
Keputusan paling mendasar adalah mengubah pendekatan dasar Dortmund. Hampir tak ada lagi skema tiga bek yang mulai Favre gunakan sejak kedatangan Erling Braut Haaland awal tahun lalu. Sepak bola Favre yang cenderung reaktif juga menghilang seketika.
Terzic mengembalikan skema empat bek Dortmund. Variasinya macam-macam, mulai dari 4–2–3–1 hingga 4–3–3. Namun, satu yang terlihat jelas, Dortmund tampil agresif. Mereka aktif menekan lawan. Jumlah tekel per laga (15,2) saja unggul dari Bayern Muenchen dan cuma kalah dari Wolfsburg.
Ketika ditanya bagaimana gaya sepak bolanya, Terzic menjawab dengan sebutan tim yang selalu ingin mencetak banyak gol. “Ada dua cara memenangi laga. Kebobolan satu gol lebih sedikit atau selalu ingin mencetak banyak gol. Saya lebih menyukai yang terakhir,” katanya.
Pendekatan itu tak berubah, bahkan ketika menghadapi lawan kuat seperti Manchester City di Liga Champions. Mereka tetap aktif menekan lawan. Malah, seharusnya pasukan Terzic ini bisa menahan imbang City di Etihad jika saja wasit tak buta melihat gol sah Jude Bellingham.
Sosok berusia 38 tahun itu tak akan lagi berstatus pelatih kepala Dortmund per musim depan. Walau begitu, besar kemungkinan mereka akan kembali hadir dengan pendekatan tersebut. Penyebabnya, Marco Rose yang bakal jadi pengganti punya gaya sepak bola serupa.
Tugas Berat Marco Rose
Setelah berakhirnya era Klopp, datangnya pelatih baru Dortmund selalu diiringi keyakinan tinggi. Namun, kita tahu ujungnya tak pernah menyenangkan. Selain kehabisan bensin, salah satu faktornya adalah kebiasaan membangun sesuatu dari awal lagi saat pondasi mulai terbentuk.
Pada 2015, Dortmund menggaet Thomas Tuchel sebagai pelatih. Kedatangannya amat positif. Tuchel membangun ulang skuad yang ditinggalkan Klopp dengan beberapa nama muda menjanjikan. Ada Ousmane Dembele, Christian Pulisic, dan sejumlah pemain belia lain.
Tatkala semuanya sudah tertata sedemikian rupa, bahkan sempat meraih satu gelar bernama DFB-Pokal, satu per satu dari mereka hengkang. Yang paling menyesakkan jelas kepergian Tuchel yang kabarnya terlibat perselisihan hebat dengan para petinggi Dortmund.
Hal seperti ini memang penyakit ‘tim penjual’ seperti Dortmund. Musim depan, seperti biasa, hal serupa kembali terjadi. Ada Sancho yang akhirnya resmi berlabuh ke Manchester United. Haaland juga tak mustahil hengkang. Bahkan pendatang baru seperti Bellingham mulai diiringi sejumlah rumor.
Dengan begini, tugas berat bakal menanti Marco Rose yang ditunjuk untuk menjadi pelatih Dortmund per musim depan. Persoalannya jelas, dalam dua musim terakhir nama-nama seperti Haaland dan Sancho sudah menegaskan statusnya sebagai kepingan penting tim.
Betul bahwa ada andil besar Terzic di balik kebangkitan Dortmund. Namun, keberadaan Haaland dan Sancho juga amat kentara. Haaland yang sempat cedera jelang paruh pertama usai mampu bangkit dan mencetak banyak gol. Begitu pula Sancho yang kembali tampil optimal di pengujung musim.
Yang paling terlihat adalah catatan statistik keduanya. Tampil 28 kali di Bundesliga, Haaland mampu bikin 27 gol dan 6 assist. Sancho, sementara itu, berhasil menjaringkan 8 gol dan 11 assist. Akan jadi masalah besar karena salah satu dari mereka hengkang.
Untung buat Dortmund, Rose adalah pelatih yang bertumpu pada sistem, bukan pemain. Ia juga bisa memaksimalkan skuad yang ada. Sejumlah pemain muda berkembang pesat di bawahnya. Bahkan nama-nama senior seolah menemukan wajah baru setelah dibesut Rose.
Silakan tanya Marcus Thuram, Nico Elvedi, Florian Neuhaus, Alessane Plea, atau Jonas Hofmann dan mereka akan sepakat. Oh, Haaland juga mencuat pertama kali saat masih dilatih Rose di RedBull Salzburg. Dengan begini, bisa saja Rose mampu menemukan ‘Sancho-Sancho’ yang lain.
Dari segi taktik, Rose terkenal sebagai pelatih yang mengusung sepak bola yang penuh determinasi, proaktif, dan adaptif. Itu tak hanya tergambar dari bagaimana tim-tim besutannya bermain, tetapi juga pernah ia ungkapkan secara gamblang dalam salah satu konferensi pers.
Saat masih aktif menjadi pemain, Rose pernah berada di bawah arahan Juergen Klopp dan Thomas Tuchel di Mainz. Dari situlah ilmu taktiknya berasal. Determinasi dan permainan proaktif adalah hasil modifikasi gegenpressing Klopp, sedangkan gaya adaptif berasal dari Tuchel.
Rose memadukan semuanya di Salzburg. Kala pindah ke Moenchengladbach sejak 2019, hal serupa kembali dia lakukan. Kendati musim lalu hasilnya tak memuaskan, sepak bola Rose masih mampu memberi kejutan, termasuk saat menang 3–2 atas Bayern Muenchen setelah sempat tertinggal 0–2.
Dalam sepak bola Rose, para pemain wajib menekan setinggi mungkin guna merebut bola dengan cepat, lalu melancarkan serangan kilat. Ia kerap menerapkannya dalam skema 4–3–1–2 atau 4–4–2 berlian (4–1–2–1–2), skema yang juga biasa dia jadikan sebagai pakem Salzburg.
Setidaknya ada dua hal yang jadi kunci berhasilnya pendekatan tersebut. Pertama, dua dari empat gelandang dalam timnya mesti bergerak secara vertikal dan rapat, terutama kala bertahan. Di Gladbach, tugas ini diemban oleh Florian Neuhaus dan si nomor 6, Denis Zakaria.
Kedua, duet penyerang mesti punya kepekaan terhadap posisi yang tinggi. Mereka juga mesti rajin bergerak. Dalam situasi bertahan, keduanya harus aktif menekan, sedangkan kala menyerang mereka mesti rutin membuka ruang. Kedua pemain itu bertugas sebagai benteng pertama Gladbach. Begitu bola berhasil direbut, mereka bakal menyerang secara direct.
Tentu, tak selamanya pendekatan itu berjalan lancar. Saat terjadi, biasanya Rose akan mencoba banyak modifikasi. Menurut WhoScored, Gladbach termasuk tim kedua yang paling sering berganti formasi, yakni 7 kali. Selain 4–3–1–2 dan 4–4–2, ada 4–2–3–1, 4–3–3, 3–4–1–2, 3–4–2–1, dan 3–5–2.
Penyusaian itulah yang membedakan Rose dengan Terzic. Itu berarti, Rose tak hanya akan mengandalkan sepak bola agresif seperti Terzic. Ia juga membawa kemampuannya dalam menyesuaikan kondisi tim dengan apa yang terjadi di lapangan. Maka, bersiaplah untuk melihat Dortmund yang jauh lebih variatif ketimbang sebelumnya.
Yang jadi pe-er buat Rose adalah membuat para pemain Dortmund bisa dengan cepat beradaptasi dengan taktiknya. Ia juga mesti memikirkan bagaimana mengganti keberadaan Sancho, sosok kunci tim dalam tiga musim terakhir. Belum lagi soal kemungkinan hengkangnya Haaland.
Perlu diakui bahwa eks pelatih Salzburg tersebut memang termasuk pelatih dengan kemampuan dan pengalaman mumpuni sekaligus pandai mengoptimalkan skuad yang ada. Namun, kita tak boleh lupa bahwa Dortmund sedang memulai awal baru, untuk yang kesekian kalinya.