Mario Mandzukic Pembelian Jitu AC Milan?

Ilustrasi: Arif Utama.

Mandzukic bukan penyerang biasa. Ketimbang ketajaman, dia mencoba menggapai hal yang lebih sulit: Keserbabisaan. Dari keserbabisaan itu dia bisa memeluk semuanya, termasuk ketajaman itu sendiri.

Damir Ruhek masih memutar otak dalam perjalanannya ke stadion. Dia belum menemukan pengganti libero-nya yang cedera. Maklum, skuat Ruhek cekak. Dia tak memiliki stok liber lain. 

Di ujung keputusasaannya, Ruhek kemudian berdiri dari kursi bis dan menantang para pemainnya. "Siapa yang mau menjadi libero?" tanya Ruhek.

Suasana hening. Tak ada satu pun pemain Marsonia yang menjawab. Mereka tahu, bukan perkara mudah mengemban peran libero.

Selain jago bertahan, libero kudu punya atribut ofensif mumpuni karena dalam kondisi tertentu mereka diizinkan naik ke depan menjadi gelandang dan membantu serangan. Syaratnya lagi, mereka tak boleh terlambat saat melakukan trackback. Jelas tak gampang.

"Saya, saya akan melakukannya," jawab salah seorang pemainnya.

Jawaban itu cukup absurd karena posisi aslinya justru di pos penyerang. Ia terlampau jauh untuk bertransformasi menjadi pemain bertahan.

Namun, kali ini Ruhek tak pikir panjang. Toh, dia sudah mendapatkan libero dadakannya. Perkara betul atau salah, itu belakangan. Yang bisa lakukan cuma memberikan instruksi agar si pemain tak salah tampil.

Ajaib, pemainnya itu menyuguhkan sesuatu di luar perkiraan Ruhek. Dia mampu bertahan dan menyerang nyaris sama bagusnya. Kualitas itu mengingatkannya pada Velimir Zajec, libero legendaris Kroasia.

"Dalam lima menit saya menjelaskan kepadanya apa yang harus dilakukan dan dia memainkan peran itu seperti Velimir Zajec pada era terbaiknya," kata Ruhek kepada 24sata.

Ruhek tak berlebihan. Lama-kelamaan pemain mudanya itu bertumbuh menjadi salah satu yang terbaik di Kroasia. Ia merupakan salah satu kunci pencapaian mereka di final Piala Dunia 2018.

Tidak, dia tidak secara eksak mengikuti jejak Zajec, melainkan dengan caranya sendiri: Menjadi penyerang bertahan. Mario Mandzukic namanya.

***

Setengah tahun menganggur, Mandzukic mulai mengencangkan tali sepatunya lagi. Dia berangkat ke Italia, menyambut tawaran AC Milan.

Ini keputusan yang lumayan mencengangkan. Orang-orang mengira dia sudah habis. Dilepas Juventus dan malah hengkang ke klub Liga Qatar, Al-Duhail, apa namanya kalau bukan ongkang-ongkang?

Namun, penawaran Milan menarik minat Mandzukic. Dia dikontrak sampai akhir musim dengan gaji yang kabarnya berkisar 2 juta euro. Dalam kesepatakan itu juga terselip opsi perpanjangan durasi semusim.

Lagi pula, Rossoneri sedang bagus-bagusnya. Mereka menjadi kandidat kuat juara Serie A setelah tujuh musim berkubang di papan tengah.

Manajemen Milan begitu jeli dalam memanfaatkan potensi pemain-pemain barunya. Ada Rafael Leao, Theo Hernandez, Simon Kjaer, dan tentu saja Zlatan Ibrahimovic. Nama yang ditulis terakhir itu yang paling berpengaruh. Total 12 golnya di Serie A jadi buktinya.

Dari situ kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar kontribusi Mandzukic buat Milan nanti?

Tinggi badan Mandzukic 1,9 meter. Dari situ semestinya bisa dibayangkan tipe striker macam apa dirinya. Lumrahnya dia menjadi targetman yang ngepos di jantung pertahanan lawan. Tugas utamanya, tentu saja, mencetak gol.

Namun, Mandzukic punya pandangan berbeda dibanding kebanyakan penyerang. Ketimbang ketajaman, dia mencoba menggapai hal yang lebih sulit: Keserbabisaan. Dari keserbabisaan itu dia bisa memeluk semuanya, termasuk ketajaman itu sendiri.

Mandzukic menjadi penyerang kafi yang tak sekadar mampu mencetak gol. Bermain melebar sanggup, bertahan juga bisa.

Itu sudah dimulainya saat masih berseragam Wolfsburg pada musim 2010/11. Dia menjadi seorang winger alih-alih striker. Selain menyokong Edin Dzeko sebagai ujung tombak, Mandzukic bertugas menghardik kepakan sayap lawan.

Lantas apakah peran itu membuat produktivitasnya menurun? Enggak juga. Nyatanya Mandzukic berhasil mengemas 12 gol dan 8 assist semusim berselang. Kontribusinya menjadi yang tertinggi di Wolfsburg.

Catatan golnya terus mentereng saat hengkang ke Bayern Muenchen dan Atletico Madrid. Jumlah gol Mandzukic rutin menyentuh dua digit di sana .

Sampai akhirnya Mandzukic bertemu Massimiliano Allegri. Di Juventus itu, perannya sebagai penyerang bertahan makin paripurna.

Kemampuan bertahan dan work rate Mandzukic benar-benar diakomodasi oleh Allegri. Dia dipercaya mengisi pos winger kiri secara reguler, sebagai alternatif sekaligus pengatrol agresivitas Gonzalo Higuain dan Paulo Dybala dari lini kedua. Itu terjawab dengan torehan 7 gol dan 4 assist di pentas liga.

Rapor defensifnya tak kalah cemerlang dengan rerata tekel 1,1 per laga. Jumlah itu bahkan lebih tinggi ketimbang Leonardo Bonucci dan Andrea Barzagli.

“Mandzukic memberi kami suntikan fisik, baik itu bertahan maupun menyerang. Saat berada di bawah tekanan, kami bergantung padanya sampai taraf tertentu. Dia pemain penting buat kami," terang Allegri.

Gaya main Mandzukic bersama Juventus kemudian diduplikasi Zlatko Dalic di Timnas Kroasia saat mentas di Piala Dunia 2018. Dia dipasang sebagai penyerang tunggal dalam sistem 4-1-4-1.

Menjadi target-man, jelas. Dalam persepektif lain, Mandzukic adalah pemain pertama yang melakukan pressing ke lawan, termasuk mengidentifikasi siapa, kapan, dan bagaimana waku yang tepat untuk melakukan pressing. Semuanya tergantung build-up serangan lawan. Dalam hal ini, determinasi serta kemampuan membaca permainan menjadi aspek vital.

Jangan heran kalau Mandzukic menjadi striker dengan rata-rata tekel tertinggi di turnamen. Torehannya mencapai 2, mengungguli Aleksandar Mitrovic (1,7) dan Edinson Cavani (1,5). Keduanya punya jumlah laga lebih sedikit dari Mandzukic. Sementara dari produktivitas, pemain 34 tahun itu sukses mengemas 3 gol, terbanyak bersama Ivan Perisic. Tak buruk.


Dari segi urgensi, Milan sebenarnya tak butuh-butuh amat seorang bomber karena masih ada Ibrahimovic yang relatif konsisten. Leao juga perlahan mampu menunjukkan ketajamannya. Hingga pekan ke-18, Milan sudah membukukan 39 gol. Jumlah itu menjadikan mereka sebagai tim terproduktif keempat di Serie A.

Meski demikian, Stefano Pioli tetap membutuhkan seorang bigman di depan, lebih-lebih untuk duel udara. Sebagai gambaran, sejauh ini Milan begitu mendandalkan Ibrahimovic sebagai algojo udara tunggal mereka. Striker Swedia itu memenangi enam duel bila dirata-rata per laga.

Bandingkan dengan Leao yang cuma mencatatkan 1,6 dan Ante Rebic di angka 0,9. Dengan kata lain, lini depan Milan bakal kesulitan memanfaatkan bola lambung saat Ibrahimovic absen,

Nah, Mandzukic bisa menambal kelemahan Milan itu. Tinggi badannya hanya 5 sentimeter lebih pendek daripada Ibrahimovic. Bila kurang yakin, lihat saja rerata kemenangan duelnya yang mencapai 3 pada musim pemungkasnya bersama Juventus.


Kemudian, ya, spesialisasinya sebagai penyerang bertahan itu tadi. Pioli mengadopsi formasi dasar 4-2-3-1, wadah yang juga dipakai Allegri di Juventus. Ini bisa mempermudah proses adaptasi Mandzukic.

Nantinya Mandzukic diproyeksikan mengisi winger kiri. Harapannya demi memudahkan porsi Hakan Calhanoglu sebagai kreator utama dan Ibrahimovic sebagai algojonya. Kehadiran Mandzukic juga berpotensi mengatrol daya serang Theo Hernandez dari tepi kiri, baik itu penciptaan ruang maupun bantuan aksi defensif.

Itu dari segi teknis. Sementara dari aspek moral, Mandzukic diharapkan bisa menularkan pengalaman dan etos kerja positif kepada para pemain muda Milan. Dia sudah empat kali menggamit scudetto bersama Juventus serta juara Bundesliga dan Liga Champions dengan Bayern. 

Bersama Atletico Madrid, ia sukses merengkuh Piala Super Spanyol. Itu belum ditambah dengan trofi juara liga semasa memperkuat Dinamo Zagreb dan Al-Duhail.

***

Namun, semestinya Milan enggak usah ndakik-ndakik berharap Mandzukic memberi impak instan. Pertama, usianya sudah tak lagi muda. Kedua, ya, karena dia tak lagi bermain di kompetisi resmi sejak Juli 2020.

Yang menarik, Milan justru memberikan Mandzukic jersi nomor 9 yang tak bertuan nyaris 2 tahun lamanya. Eh, bukannya jersi nomor 9 mereka itu terkenal apes, ya?