Masa Pelik Matthijs de Ligt

Twitter @BianconeriZone

Sudah hampir dua musim De Ligt bersama Juventus. Namun, performanya masih gitu-gitu aja.

Juventus beruntung bisa memiliki Matthijs de Ligt. Dia salah satu pemain muda terbaik di dunia. Jangan ditanya, sila lihat titel Golden Boy dan Kopa Trophy yang tersimpan di rumahnya.

Pada musim 2018/19, De Ligt berhasil mengantar Ajax Amsterdam menembus semifinal Liga Champions. Pemain 20 tahun itu bahkan menjadi aktor kemenangan Ajax atas Juventus--klubnya sekarang--di leg kedua babak perempat final.

Sementara di aras domestik, De Ligt sukses membantu Ajax mengawinkan gelar Eredivisie dan KNVB Cup. Belum lagi dengan caps-nya bersama Timnas Belanda yang sudah lebih dari selusin. Kian kukuh kredibilitasnya sebagai bek yuvenil paling potensial.

Dengan seabrek pencapaian itu, harusnya mudah bagi De Ligt untuk memancarkan pendarnya lebih terang lagi bersama Juventus. Akan tetapi, kenyataannya masih jauh dari itu.

***

Sinergi awal De Ligt dengan Juventus jauh dari kata mengesankan. Dia mencetak gol bunuh diri saat melawan Inter Milan di ICC 2019. Pun dengan debutnya di Serie A pekan kedua. Kala itu Maurizio Sarri memasangnya sebagai starter saat tanding lawan Napoli. Itu pun karena Giorgio Chiellini mengalami cedera parah dan kudu absen.

Pada akhirnya Juventus memang menjadi pemenang, tetapi De Ligt tak layak buat senang. Dia bertanggung jawab atas gol Napoli bikinan Hirving Lozano. Dalam beberapa momen lain, winger Meksiko itu juga berulangkali membuat De Ligt kewalahan.

Belum ditambah lagi dengan hobinya melakukan handball. Itu tak berjalan sekali-dua kali saja. De Ligt pernah menyentuh bola dengan tangannya di kotak penalti saat Juventus manggung di kandang Inter. Alhasil, gawang Wojciech Szczesny pun dibobol dengan mudah Lautaro Martinez. Beruntung Juventus bisa mencetak gol lebih banyak lewat bantuan Paulo Dybala dan Gonzalo Higuain.

Hobi handball De Ligt berlanjut kala duel dengan Torino dan Genoa. Kali ini Juventus selamat karena wasit tak menganggap itu sebagai pelanggaran.


Handball buat pemain belakang adalah aib. Itu tak bisa disepelekan begitu saja sebab mereka bermain begitu dekat dengan penjaga gawang. Andai mereka melakukan kesalahan semacam itu, gol yang jadi taruhannya.

De Ligt punya kemampuan distribusi bola dan duel udara yang mumpuni. Tapi, tidak soal kecepatan. Itulah mengapa dia kesulitan mengantisipasi pemain cepat macam Lozano. Reaksinya yang lambat itu pula yang membuat De Ligt sering melakukan handball.

Ini bukan perkara apes doang. Statistik menunjukkan bahwa aksi defensif De Ligt memang mengalami penurunan dibanding musim sebelumnya.

Menyitat Whoscored, rata-rata tekel dan intersep per laganya di Serie A musim 2019/20 menyentuh angka 0,9. Jumlah itu lebih sedikit dibanding torehannya pada periode terakhirnya di Eredivisie: 1 tekel dan 1,1 intersep.

Agar lebih spesifik lagi, tengok juga statistiknya di Liga Champions. Bersama Ajax, De Ligt mengukir rata-rata 1,5 tekel dan 1,4 intersep dalam 11 pementasan. Sementara bersama Juventus musim lalu, raihannya menurun di angka 1,2 dan 1. Itu pun dengan jumlah 5 pertandingan lebih sedikit daripada di Ajax.

Dalam wawancaranya dengan Fox Sport Belanda, De Ligt mengaku dirinya sekarang tak sesuperior semasa masih bersama Ajax. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berjanji untuk lebih bekerja keras lagi. 

Seburuk itukah De Ligt sekarang? 


Untuk menjawabnya, kita juga kudu membandingkan gaya main Ajax dan Juventus. Nah, ini yang beda. Sementara Ajax menerapkan pertahanan satu lawan satu (man-marking), Bianconeri memakai metode zonal marking.

Dalam man-marking, seorang pemain akan menempel ketat lawan atau melacak pergerakan satu pemain. Kalau zonal marking, pemain berorientasi untuk menutupi ruang di sekitar posisinya sambil menjaga jarak ideal dengan pemain lawan. Kedua pendekatan ini punya plus-minus masing-masing.

Juventus sendiri sebenarnya menganut paham man-marking di rezim Massimiliano Allegri. Namun, Maurizio Sarri mengalihkannya ke metode zonal marking. Pergantian sistem ini kemudian membuat beberapa pemain kesulitan. Tak terkecuali De Ligt yang baru saja bergabung.

“Juventus telah kemasukan banyak gol dari tendangan sudut karena mereka beralih ke zonal marking dari man-marking yang merupakan bagian besar strategi pertahanan Allegri," terang Filippo Conticello, koresponden La Gazzetta dello Sport.

Untuk mengaplikasi zonal marking dibutuhkan koordinasi sempurna dari para pemain belakang. Sialnya, tandem De Ligt, Leonardo Bonucci bukanlah bek yang bagus soal pemosisian. Apalagi eks pemain AC Milan itu juga sama-sama punya area operasi di sisi kanan. Jadilah De Ligt mengisi sisi kiri, yang mana belum pernah dia lakukan sebelumnya.

De Ligt bukan satu-satunya penggawa Ajax yang kesulitan beradaptasi dengan klub anyarnya. Ada Frenkie de Jong yang tertatih-tatih di Barcelona. Padahal, De Jong merupakan pemain terbaik Eredivisie musim 2018/19.

Menurut mantan pelatih Ajax dan Timnas Belanda, Louis van Gaal, yang dialami De Ligt dan De Jong adalah kewajaran. Ada banyak faktor yang perlu disesuaikan oleh pemain untuk nyetel di tim barunya.

"Barcelona tidak memaksimalkan kualitas De Jong. Hal yang sama terjadi pada De Ligt. Mereka menghadapi kultur, struktur, dan cara bermain yang berbeda. Orang berpikir itu mudah bagi mereka, tetapi sebenarnya tidak," jelas Van Gaal.


Yang jadi soal, hambatan De Ligt di musim ini bukan cuma adaptasi, tetapi juga cedera. Transfermarkt merangkum bahwa bek kelahiran Leiderdorp itu telah menepi 120 hari dan absen 18 sebanyak pertandingan dengan Juventus. Ada tiga penyebabnya: Cedera bahu, COVID-19, dan yang terbaru masalah otot.

Karena itulah menit mainnya begitu minim. Di Serie A saja, De Ligt baru mencicipi 16 pertandingan. Sementara 5 laga sudah dia lakoni di Liga Champions meski sebenarnya De Ligt mengalami peningkatan performa di era Andrea Pirlo sekarang. Rerata tekel dan intersepnya ada di angka 1,2. Itu menjadi yang tertinggi dalam dua musim ke belakang.

“Kami menjadi lebih agresif dan dia banyak membantu saat kami menguasai bola. Walau baru masih 20 tahun dia sudah memiliki kualitas sebagai kapten tim," puji Pirlo.

Gaya main Pirlo memang relatif lebih direct ketimbang Sarri. Tak banyak pendistribusian bola dari lini belakang. Walau begitu, Pirlo masih tetap memaksimalkan spek De Ligt sebagai ball-playing defender. Itu tertuang dari rata-rata 65 umpan per pertandingan yang dilepaskannya, tertinggi di antara bek sentral Juventus lainnya. De Ligt juga memimpin duel udara dengan rerata 2,4 kemenangan di tiap pertandingan.

Tentu masih ada beberapa aspek yang kudu dikatrol De Ligt. Produktivitas adalah paling urgen karena sejauh ini De Ligt masih nihil gol. 

Sebagai bek yang cukup ofensif, gol menjadi salah satu komoditi mereka. Ya, seperti De Ligt ini. FYI, di musim lalu dia sukses mengoleksi 4 gol. Pun semasa di Ajax, setidaknya dia menyumbang 3 gol di setiap musimnya.