Melihat Ajax Menari

Foto: @AFCAjax.

Vic Buckingham datang dan membuat Ajax bisa menari. Rinus Michels dan Johan Cruyff kemudian menyempurnakan tarian itu. Kini Erik Ten Hag punya versi 2.0 dari tarian itu. Namun, yang jadi masalah: Tarian Ajax hanya indah di Belanda saja.

"In the port of Amsterdam
You can see sailors dance"

Amsterdam adalah kota yang tepat untuk bersuka cita. Gantilah kata port dengan ArenA dan kata sailors dengan players di bait lagu David Bowie itu dan intinya akan sama saja. Di Amsterdam, kalian bisa melihat orang menari-nari.

Namun, untuk bisa menari seleluasa sekarang, orang-orang Amsterdam harus melewati banyak tantangan. Pada awal abad ke-20, aktivitas menari dilarang di Ibu Kota Belanda itu. Katanya, itu adalah aktivitas tak bermoral. Satu-satunya tarian yang diperbolehkan hanyalah balet dan orang yang dapat menikmatinya adalah para bangsawan.

Beruntung para pemangku kebijakan segera tersadar dan, pada tahun 1924, larangan itu dicabut. Orang-orang bebas menari di mana saja. Kini, di seantero Amsterdam, kita bisa melihat orang-orang melakukan tarian: Dari sekadar berdansa sampai breakdance.

"Menari" di lapangan-lapangan sepak bola di Amsterdam sendiri baru populer pada medio 1950-an akhir. Adalah seorang Inggris bernama Victor Frederick Buckingham yang jadi pelopornya. Saat itu Buckingham datang ke Amsterdam untuk melatih Ajax.

Hal yang kemudian ditanamkan Buckingham pada anak asuhnya adalah permainan cair berbasis penguasaan bola. Pemain dituntut bermain dengan umpan-umpan dari kaki ke kaki dan bergerak dengan liat, baik dengan atau tanpa bola. Para pemain Ajax tak cuma dituntut berlari, tapi juga "menari": menggerakkan badan dengan irama yang pas.

Yang menarik, seperti apa yang ditulis Steven Cragg di These Football Times, Buckingham semasa jadi pelatih punya kebiasaan unik untuk melatih pemainnya mempunyai keseimbangan dalam bergerak, Buckingham menunjukkan tarian "tap-dance" di sesi-sesi latihannya.

Wajar kalau kemudian para pemainnya bisa menari dengan leluasa di lapangan. Dan kebetulan, permainan yang menuntut pemain banyak bergerak dan terus mendominasi penguasaan bola seperti yang diterapkan Buckingham bukanlah hal jamak di Eropa. Semakin menarik.

Tarian-tarian yang dilakukan para pemain Ajax di lapangan pada era Buckingham mampu memberikan sebuah gelar Eredivisie, tepatnya pada musim 1959/60. Namun, puncaknya bukan di situ. Buckingham hanya membangun fondasi: bahwa ia yang mengajarkan para pemain Ajax bisa menari di lapangan.

Pada akhirnya fondasi Buckingham disempurnakan oleh Rinus Michels, pria lokal Amsterdam yang sadar betul akan pentingnya ruang (space) dalam permainan sepak bola. Fluiditas dalam penguasaan bola milik Buckingham ditambah kemampuan mengutilisasi ruang yang diterapkan Michels membuat tarian Ajax bergemuruh sampai ke level Eropa, bahkan dunia bersama Tim Nasional Belanda.

Belum lagi itu ditambah dengan kecerdasan Johan Cruyff, si hebat yang diorbitkan Buckingham dan dimatangkan oleh Michels. Semakin sempurnalah tarian Ajax itu. Total Football. Begitu orang-orang menyebutnya. Bahkan ketika tampuk kepelatihan pindah ke tangan Stefan Kovacs pun, Ajax dan Total Football-nya masih terus sempurna.

***

Sampai hari ini, Ajax masih bermain dengan gaya mereka. Perubahan, seiring dengan berkembangnya sepak bola, memang ada. Namun, fondasinya masih tetap sama: fluiditas dalam penguasaan bola dan kemampuan mengutilisasi ruang.

Ajax adalah tim dengan rerata penguasaan bola tertinggi di Eredivisie. Angkanya mencapai 60%. Dan di kompetisi antarklub Eropa pun angka mereka termasuk yang cukup tinggi. Di Liga Champions, kendati tak lolos dari fase grup, Ajax mencatatkan rerata penguasaan bola sebesar 54,3%.

Angka Ajax itu adalah yang tertinggi ketujuh di antara 32 kontestan Liga Champions musim ini. Catatan mereka lebih banyak dari angka milik klub-klub macam Chelsea, Liverpool, RB Leipzig, atau Manchester United.

Data rerata penguasaan bola di Liga Champions musim ini. Grafis: WhoScored

Di Liga Europa, kompetisi yang diikuti setelah tersingkir dari Liga Champions, Ajax mencatatkan rerata penguasan bola sebesar 58,3%. Angka ini adalah yang tertinggi keenam dan lebih tinggi dari semifinalis musim ini: United, Villarreal, Arsenal, dan AS Roma.

Tentu saja kunci dari keberhasilan Ajax terus tumbuh dengan fondasinya ini adalah soal ketepatan dalam memilih pelatih. Erik ten Hag, pelatih mereka sekarang, adalah pelatih yang disebut-sebut menerapkan Total Football 2.0. Dia adalah pelatih yang amat detail soal possesion, pressing, dan space.

Ajax masih dibuatnya pandai "menari". Bahkan, dengan tariannya, Ajax hampir mampu menguasai Eropa pada musim 2018/19. Tim-tim besar seperti Juventus dan Real Madrid sudah berhasil ditundukkan, tapi sayang mereka kemudian kalah di semifinal Liga Champions dari Tottenham Hotspur.

Keberhasilan dan filosofi Ten Hag itu kemudian membuat banyak tim besar tertarik untuk menggunakan jasanya sebagai pelatih. Salah satu yang gencar dikabarkan adalah Tottenham Hotspur. Beruntung bagi Ajax, mereka bisa memperpanjang kontrak Ten Hag di tengah rumor kencang itu.

Pelatih berusia 51 tahun itu diganjar kontrak hingga musim 2022/23 setelah berhasil mengantarkan Ajax jadi kampiun KNVB Cup dan kemudian Eredivisie pada musim ini. Itu adalah gelar KNVB Cup dan Eredivisie kedua yang dipersembahkan Ten Hag sepanjang kariernya di Ajax.

Dalam konferensi pers usai meneken kontrak barunya, Ten Hag menegaskan bahwa ia siap membawa Ajax jadi penantang serius bagi klub-klub kuat Eropa. Mereka ingin bisa menjejak level yang lebih tinggi lagi, tentu saja di ajang Liga Champions.

Namun, modal Ten Hag dan Ajax tak sebaik pada musim 2018/19 lalu. Tak ada lagi bintang macam Frenkie de Jong, Donny van de Beek, hingga Matthijs de Ligt di dalam skuadnya. Pemain-pemain seperti Ryan Gravenberch, Perr Schuurs, atau Antony memang potensial, tapi mereka belum cukup matang.

Asa ten Hag boleh dibilang cukup muluk. Terlebih kalau mengingat kebiasaan Ajax yang setengah hati membangun tim untuk jangka panjang. Seperti tulisan Rossi Finza ini, ketika ada klub besar yang datang mengetuk pintu untuk meminta pemain mereka, Ajax akan melepasnya.

Padahal, yang dibutuhkan Ajax untuk mampu berbicara lebih banyak di Eropa adalah dengan stabilitas dan konsistensi. Dua hal yang bisa diwujudkan dengan tak hanya punya fondasi permainan saja, tapi juga memiliki skuad yang cukup bagus dan bisa diandalkan.

Untuk itu, Ajax perlu meneruskan kebijakan transfer mereka yang cukup bagus belakangan ini. Yakni dengan tak hanya mengincar pemain-pemain potensial, tapi juga mendatangkan pemain berpengalaman. Seperti saat membawa pulang Davy Klaassen (28 tahun) ke Amsterdam, serta merekrut Sebastian Haller (26 tahun) pada tengah musim lalu.

Sebab, kontribusi dua pemain yang cukup berpengalaman ini cukup bagus buat Ajax. Klaassen mampu mencetak 12 gol dan tiga assist musim ini, sedangkan Haller bisa mencetak sembilan gol dan lima asssist hanya dalam 17 penampilan.

***

Vic Buckingham datang membawa fondasi dan kemudian itu disempurnakan oleh Rinus Michels serta diperindah oleh Johan Cruyff. Sekarang Erik Ten Hag berada di Ajax dengan fondasi dan strategi yang jelas, tapi dia butuh skuad yang lebih bagus untuk menyempurnakan apa yang ada di dalam kepalanya.

Ajax memang selalu berhasil menari, di Amsterdam dan di Belanda. Namun, mereka juga kudu bisa memperlihatkan tarian yang indah itu di hadapan para bangsawan-bangsawan Eropa.