Membongkar Masalah Sadio Mane

Foto: @LFC

Mane seret gol musim ini. Di seluruh kompetisi, dia cuma menghasilkan 12 gol. Dan dalam 23 laga Premier League terakhir, cuma 3 gol yang ia cetak. Apa penyebab mampetnya keran gol Mane?

Sejak kalender berganti ke 2021, Sadio Mane cuma bisa menciptakan lima gol di seluruh kompetisi. Rinciannya dua di Liga Champions, dua di Piala FA, dan satu di Premier League.

Gol terakhirnya di Premier League tercipta ke gawang Tottenham Hotspur pada akhir Januari, sedangkan gol terakhirnya di Liga Champions terjadi pada laga leg kedua babak 16 besar melawan RB Leipzig, awal Maret silam. Sejak itu, Mane tak mampu membobol gawang lawan.

Buat pemain sekaliber Mane yang dalam tiga musim terakhir selalu menciptakan lebih dari 20 gol di seluruh kompetisi, catatannya musim ini jelas amat buruk. Di musim ini, hingga April, total golnya baru menyentuh angka 12. Di saat Liverpool membutuhkan banyak gol, Mane tak bisa hadir memenuhinya.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan Sadio Mane musim ini?

Seperti biasa, kami kemudian mendedah statistik pemain asal Senegal ini untuk menemukan penyebab tersumbatnya keran gol dia. Kami juga membandingkan statistik tersebut dengan statistik musim-musim sebelumnya.

Ketika berbicara soal penurunan jumlah gol, yang pertama kita cari tahu tentu jumlah percobaannya. Musim ini, di Liga Champions dan Premier League, Mane mencatatkan 2,85 tembakan per 90 menit. Angka itu jelas tinggi.

Bahkan, jika dibandingkan dua musim sebelumnya, angka musim ini jadi yang tertinggi. Pada musim lalu Mane mencatatkan 2,53 tembakan per 90 menit dan di musim 2018/19 angkanya lebih sedikit: 2,41.

Secara kuantitas, percobaan yang dilakukan Mane sebenarnya meningkat. Lalu bagaimana kualitasnya? Kami mencoba menengok angka non-penalty expected goal (npxG) per 90 menit miliknya dalam tiga musim terakhir dan menemukan tak ada penurunan.

Musim ini dia mencatatkan angka npxG 0,46 per 90 menit, sama seperti musim 2018/19. Justru pada musim lalu, angkanya menurun sedikit ke angka 0,45. Kuantitasnya banyak, kualitasnya juga tak buruk. Lalu, apa?

Kami kemudian mendedah lebih jauh statistik tembakan Mane dan menemukan bahwa rasio tembakan tepat sasarannya turun. Di musim ini, rasio tembakan tepat sasaran per 90 menit milik Mane ada di angka 40,2%. Sementara di musim lalu rasionya 46,3% dan di musim sebelumnya berada di angka 43,4%.

Yang jadi masalah berarti adalah penyelesaian akhirnya. Konversi memburuk. Musim ini Mane tak seklinis musim-musim sebelumnya. Ini juga bisa ditengok dari jumlah gol dan angka npxG-nya secara keseluruhan.

Musim ini, misalnya, Mane sudah mencetak 10 gol di Premier League dan Liga Champions. Namun, angka npxG-nya sebenarnya ada di angka 14,7. Seharusnya, Mane bisa mencetak 13-15 gol. Hanya saja, itu tadi, penyelesaian akhirnya memburuk. Sementara di musim lalu, dari dua ajang yang sama, dia bisa mencetak 20 gol dari angka npxG yang cuma 16.7.

Lalu, kenapa bisa begitu?

Ini kembali ke apa yang dihadapi Liverpool secara keseluruhan. Musim ini, Liverpool sering kali menghadapi tim yang menerapkan sistem pertahanan low-block. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada area bermain Mane.

Ketika menghadapi tim yang bertahan amat dalam, Mane (dan begitu juga biasanya Salah) akan bermain lebih dekat ke dalam area kotak penalti, sedangkan sisi flank dihuni oleh para full-back. Karena itu, sentuhan Mane akan lebih banyak berada di area kotak penalti lawan yang biasanya sudah disesaki pemain belakang.

Berdasarkan data yang dirilis The Athletic, Mane menyentuh bola 8,2 kali per 90 menit di area kotak penalti lawan musim ini. Jumlah itu meningkat 1,1 kali dibanding musim lalu. Sementara jumlah sentuhannya di area flank depan kiri yang selama ini jadi area bermainnya justru menurun.

Grafis: The Athletic

Pun jika kami melihat heatmaps Mane musim ini. Dari heatmaps-nya pada laga leg pertama vs Real Madrid dan laga kandang Premier League vs Chelsea, di mana Mane sama-sama bermain buruk (vs Madrid ponten WhoScored-nya 5,8, vs Chelsea 6,8), dia lebih banyak beroperasi di tengah.

Heatmaps Mane vs Madrid (kiri) dan vs Chelsea (kanan). Grafis: WhoScored

Perubahan area bermain yang cukup berbeda dari musim lalu inilah yang membuat Mane harus beradaptasi lebih, sekaligus bekerja ekstra keras, untuk bisa mencetak gol. Dan ketika bermain di area tengah pun, dia harus menemukan cara menembak di tengah kerubungan pemain belakang lawan. Ruang lebih sempit.

Padahal, kita tahu biasanya Mane mencetak gol dengan cara bergerak dari flank atau half-space. Dia juga akan semakin berbahaya ketika mendapatkan ruang yang lebih luas, seperti ketika dia bermain dari samping. Persis yang dilakukannya dalam dua leg vs RB Leipzig.

Ruang bergerak yang semakin sempit juga jadi alasan mengapa daya jelajah Mane ketika memegang bola jadi menurun. Musim ini, per 90 menit, Mane hanya menjelajah 193,4 meter dengan bola di kakinya. Sementara musim lalu, dia mampu menjelajah 235,7 meter per 90 menit. Penurunan yang cukup drastis.

Dan jika dibanding musim lalu pun, presentase dribel sukses Mane jadi menurun. Musim ini presentase dribel sukses per 90 menit miliknya ada di angka 62,2%, sedangkan musim lalu catatannya mampu mencapai angka 64,4%. Mane benar-benar mengalami kesulitan.

Ditambah lagi, Andy Robertson juga tak punya keleluasaan untuk membantu Mane seperti musim-musim sebelumnya. Absennya Virgil van Dijk, yang kemudian disusul oleh Joe Gomez dan Joel Matip, membuat full-back Liverpool tak bisa bergerak menyerang dengan bebas lagi. Mereka juga kudu fokus pada lini belakang.

Selain itu, berdasar tulisan James pearce dan Mark Carey di The Athletic, salah satu faktor yang ditakutkan jadi penyebab menurunnya jumlah gol Mane adalah soal mental. Mane dikhawatirkan mengalami penurunan kepercayaan diri seiring dengan meningkatnya ekspektasi dan kritikan padanya.

Soal ekspektasi, kita tahu banyak yang berharap bahwa Mane bisa jadi semakin baik tiap musimnya. Terlebih setelah dalam tiga musim terakhir penampilannya begitu konsisten. Ini ditengarai bisa mengganggu pikiran Mane karena dia jadi memacu dirinya di luar batas kemampuan.

Soal kritik, ini datang dari luar Liverpool, terutama dari para pandit. Banyak yang menyebut Mane tukang diving, terlalu mudah menjatuhkan diri. Belum lagi ada omongan bahwa Mane iri terhadap Mohamed Salah, sehingga membuat keduanya berselisih. Suara-suara dari luar ini yang ditakutkan mengganggu fokus pemain berusia 29 tahun ini.

Juergen Klopp sebagai manajer jelas harus menemukan solusi untuk bisa kembali membuat Mane berpendar. Klopp, dalam komentar yang kami kutip dari The Guardian, percaya bahwa pemainnya itu akan menemukan solusi terkait problem ini.

"Jika para penyerang tidak mencetak gol untuk beberapa waktu, mereka akan mulai berpikir. Saat mereka mulai memikirkan hal yang benar lagi, maka semuanya akan baik-baik saja," begitu kata Klopp.

Namun, Klopp juga perlu menyiapkan strategi untuk membuat Mane mendapatkan ruang yang lebih luas daripada yang didapatkannya belakangan ini. Mantan pemain Southampton itu perlu diplot untuk bisa bergerak lebih leluasa di sisi tepi, dan tak terlalu banyak berkutat di area tengah.

Foto: @LFC

Sebab, Mane jelas masih akan jadi tumpuan Klopp dan Liverpool di sisa musim ini, dan juga musim-musim berikutnya (jika dia bertahan). Gol dari kaki Mane tentu juga akan membuat probabilitas Liverpool untuk menang semakin meningkat.

Karena, entah kebetulan atau tidak, setiap kali Mane mencetak gol musim ini, Liverpool tak pernah kalah. So, mari menunggu apakah Mane bisa mencetak gol atau tidak di laga leg kedua perempat final vs Real Madrid dini hari nanti. Jika iya, maka fans Liverpool bisa berharap lebih banyak.