Memindahkan Portugal ke Chelsea

Ilustrasi: Arif Utama

Para pemain, gelar juara, serta cerita di Porto dan Chelsea mengingatkan orang-orang bahwa sepak bola memiliki orang yang membangun tradisinya sendiri dari penolakan.

Portugal adalah hadiah dari dewa sepak bola untuk mengingatkan Chelsea bahwa penolakan bisa melahirkan cerita hebat.

Jose Mourinho datang ke Chelsea sebagai anak buangan. Ia terdepak dari Barcelona, tempat yang ia pikir bakal menjadi rumah barunya. Ia melakukan segalanya untuk Barcelona. Ketika tugas utamanya adalah menjadi penerjemah bagi para pelatih yang tak mampu berbicara dalam bahasa Spanyol, Mourinho juga repot-repot mengurusi skuad yang kehilangan figur manajer.

Bos-bos di Barcelona boleh berkata tim ini lebih dari sekadar tim dan hubungan mereka lebih dari transaksional. Namun, mereka menutup telinga dan mencerocos tentang energi dan waktu yang habis tergerus perkara politik, urusan profesional, konflik internal, atau blablabla yang lain ketika para pemain butuh berbicara. Barangkali para petinggi itu lupa bahwa pemain harus banyak menenggak air putih, bukan janji manis.

Ketika para pemain percaya bahwa Mourinho bisa menjadi pelatih mereka, para petinggi tidak begitu. Alih-alih memilih Mourinho yang sudah menyatu dengan tim, mereka menunjuk Pep Guardiola. Tidak ada yang menyangkal bahwa Guardiola terlahir untuk memimpin Barcelona. Ia tak cuma pernah bermain di bawah didikan Johan Cruyff, tetapi juga memimpin Barcelona B.

Mourinho memang tidak didepak. Namun, semua orang tahu Mourinho begitu menggilai kemenangan. Ia tak mau kalah dari Guardiola, lalu ia mengembara mencari tempat. Setelah menjajal Benfica dan União de Leiria, Mourinho menjejak ke Porto, lalu Chelsea.

Stamford Bridge yang ditopang oleh ambisi taipan Rusia, Roman Abramovich, menyambut Mourinho dengan semringah. Mourinho agaknya tak butuh waktu lama untuk mengiyakan tawaran proyek jangka panjang sang bos besar.

Bagi Mourinho, itu bukan tawaran menjadi pelatih atau aktivitas bisnis sepak bola biasa. Tawaran ini adalah batu-batu pertama untuk membangun imperium sepak bola yang baru.

Porto yang didatangi Mourinho bukan tim yang diperhitungkan untuk juara. Namun, dengan tim kecil itu Mourinho menaklukkan Eropa. Pada babak 16 besar Liga Champions 2003/04, Mourinho bahkan menjungkalkan Manchester United yang dilatih oleh Sir Alex Ferguson.

Suporter United boleh bersorak pada menit 14 karena gol Quinton Fortune. Namun, Porto berhasil membalikkan keunggulan pada menit 78 dan menutup laga dengan kemenangan 2-1.

Benni McCarthy yang beberapa detik setelah gol Fortune tadi menggumam “How the fuck did he score?” dua kali mengoyak gawang United. Gol pertama karena pertahanan slapstick Phil Neville, gol kedua karena umpan silang Deco, pemain yang sempat menjadi buangan itu. Raut wajah Sir Alex bertambah masam kartu merah Roy Keane.

Pada akhirnya United terdepak karena hanya mampu bermain imbang 1-1 di leg kedua. Itu adalah hari yang indah bagi mereka yang membenci United.

Mourinho menandai jumpa pers pertamanya sebagai pelatih Porto dengan kesombongan yang enggan disembunyikan. Katanya, ia akan mengantar tim menginjak tangga juara. Formasi berlian 4-4-2 andalannya memukul lawan-lawannya dengan tegas sampai pada akhirnya mengamankan medali juara Liga Champions 2003/04 dan lima gelar juara lainnya.

Untuk mendapatkan itu semua, Mourinho mesti membangunkan skuad yang tertidur. Metodenya yang ilmiah, perhatiannya terhadap detail yang kejam, serta kecerdikannya untuk mengambil hati para pemain membentuk Porto menjadi tim yang layak menaklukkan Eropa.

Di antara sekian banyak pemain yang dibentuk Mourinho di Porto, Deco merupakan salah satunya. Sebelum sampai ke Porto, Deco dicampakkan oleh manajer Benfica, Graeme Souness, yang mendatangkannya pada 1997. Souness lebih suka untuk memberi gelandang Wales, Mark Pembridge, tempat di timnya.

Akibatnya, Deco yang awalnya berkewarganegaraan Brasil ini tidak pernah berlaga dalam pertandingan kompetitif selama di Benfica. Apa boleh buat, Deco dilepas ke klub divisi kedua, Salgueiros, pada 1998.

Pada 1999, Deco mendapat tempat di Porto. Semuanya berawal dari rekomendasi Tony, pemandu bakat Porto yang menyadari bahwa Deco adalah pemain yang dibutuhkan oleh timnya. Porto mengangkut Deco dengan senang hati. Namun, kehidupan Deco sebagai pesepak bola berubah di tangan Mourinho.

Tiga tahun tanpa gelar juara, Deco akhirnya paham seperti apa rasanya hidup di lapangan bola. Di bawah kepelatihan Mourinho, Deco menjadi pemain yang lebih lengkap. Deco adalah pemain nomor 10 yang diberi kebebasan di belakang dua penyerang. Namun, kebebasan tak datang sendirian. Kepadanya pula diserahkan tugas bertahan dan pemahaman taktik dengan sangat mendalam.

Deco yang pernah dibuang rela melakukan apa pun untuk orang-orang yang menerimanya. Meski bukan pemain box to box, ia tidak pernah lelah melibatkan diri sebanyak dan sesering mungkin dalam pertandingan.

Kemampuan olah bola, kreativitas, dan kesediaan untuk bekerja keras ibarat senjata pemusnah massal yang menyerang setiap lawan Porto. Yang terdengar setelahnya, Deco menjadi pemain kunci ketika Porto menjadi raja Eropa pada 2004.

Deco bukan satu-satunya pemain yang dibaptis oleh Mourinho di Porto. Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira pun demikian. Carvalho merupakan pemain akademi Porto, sedangkan Ferreira didatangkan dari Vitoria Setubal. Tangan Mourinho membentuk Ferreira dari seorang gelandang kanan menjadi full-back kanan.

Kedatangan Mourinho memberikan kesempatan kepada Carvalho di tim utama, meski ia memulainya sebagai pilihan ketiga setelah Jorge Costa dan Pedro Emanuel sebagai bek tengah. Tidak semua pemain senang dijadikan opsi ketiga. Namun, bagi Carvalho saat itu menjadi nomor tiga pun sudah cukup. Toh, dalam perjalanannya ia membuktikan bahwa ia layak menjadi pilihan pertama.

Contoh lainnya adalah Maniche yang datang ke Porto sambil membawa keraguan apakah ia bisa mendapat tempat di lini serang atau tidak. Mourinho membuat Maniche berhenti mempertanyakan hal ini. Alih-alih dimainkan sebagai pemain sayap yang merupakan posisi aslinya, Maniche justru berlaga sebagai gelandang tengah di bawah asuhan Mourinho.

Mourinho membentuk Porto sebagai tim yang penuh dengan sentuhan personalnya. Ia seperti nabi yang memilih dan menebang pohon, membilai dan menghaluskan papan, lalu merakitnya menjadi bahtera yang menyelamatkan manusia dan alam dari kepunahan akibat air bah. 

Sang pelatih Portugal melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh para pundit, pemain, bahkan pelatih lain. Porto tampil sebagai timnya Mourinho. Mereka tidak mewakili apa pun, kecuali ambisi dan kegilaan Mourinho. Porto berubah rupa dari tim kacangan menjadi tim ‘artisan’ yang hanya bisa dipegang oleh Mourinho.

Ketika Barcelona yang membuangnya itu hidup di menara gading tiki taka, Mourinho menempuh perjalanan panjang untuk membuat sepak bola mengakuinya lebih baik dari rival abadinya.

Kemenangannya atas United yang ditutup dengan perayaan ke tengah lapangan sambil berlutut adalah pernyataan perang kepada siapa pun yang meremehkannya. Bertahun-tahun kemudian di klub lain, gelagatnya waktu berlari ke arah suporter Barcelona sambil mengacungkan telunjuk adalah penegasan bahwa di atas lapangan ada yang lebih baik daripada sepak bola Catalunya.

****

Abramovich bukan orang yang murah hati. Ia tidak mau menghambur-hamburkan uang tanpa membuat perhitungan. Ia harus bisa menuai dengan berlimpah apa pun yang ditaburnya. 

Abramovich bertahan hidup dengan mencari tempat untuk memuaskan ambisi dan hasratnya. Ia datang ke Chelsea dengan menenteng misi membuat ranah sepak bola bertekuk lutut di hadapannya, persis seperti ia membuat dunia bisnis memuja dan menyembahnya. 

Abramovich tahu betul apa yang bakal diraihnya jika mampu menjadi yang nomor satu di lapangan bola. Olahraga ini bukan sekadar permainan mencetak gol, ini adalah tempat terbaik untuk merengkuh kekuasaan ekonomi-politik tanpa dibenci dan dicap sebagai penjahat.

Toh, Abramovich sudah melihat para pendahulunya. Ia melihat bagaimana Sir Alex Ferguson--yang bahkan seorang manajer, bukan pemilik klub--dan Florentino Perez memegang dunia hanya dengan bermodalkan gelar juara sepak bola. 

Akan tetapi, Abramovich tidak punya waktu untuk memulai semuanya dari awal. Kalau saja bisa, ia akan dengan senang hati membayar ilmuwan-ilmuwan tercerdas untuk menciptakan 25 orang pesepak bola nomor satu yang akan membuat timnya langsung berjaya dalam lima atau enam pertandingan.

Ketidakmungkinan itu mengantarkan Abramovich pada Mourinho. Orang-orang mungkin melihat Mourinho sebagai pelatih yang mencoreng keagungan sepak bola Catalunya dengan permainan pragmatisnya.

Namun, Abramovich memandang Mourinho sebagai orang yang serupa dengannya. Ia hidup untuk mewujudkan ambisi, benci kekalahan, pemburu trofi, genius, dan pragmatis yang tega menempuh jalan yang tak mau diinjak oleh orang lain untuk menang.

Di sisi lain, Mourinho sadar bahwa bosnya yang satu ini bukan penyabar. Ia tahu waktunya tak banyak. Chelsea bukan Porto, Abramovich bukan Jorge Nuno de Lima Pinto da Costa. Mourinho tidak diberikan ruang seluas Porto untuk bereksperimen dan menciptakan timnya sendiri. 

Maka dari itu, langkah terbaik yang bisa dilakukannya adalah memindahkan tim--atau setidaknya sebagian tim--yang sudah dibentuknya di Porto ke Chelsea. Abramovich tak butuh bahtera, ia butuh kapal perang yang bisa mengantarkannya ke kejayaan.

Dengan keputusannya itu pula, Mourinho secara tidak langsung membentuk Porto sebagai tim yang terus memproduksi pemain-pemain hebat. Sejak ditinggalkan Carvalho dan Fereira ke Chelsea, Porto gencar melakukan pencarian talenta muda dengan harga miring.

Porto bahkan membayar sekitar 250 pencari bakat ke seluruh dunia. Ketika seorang pemain Porto mendapatkan tawaran dari klub lain, Porto sudah menyiapkan pemain pengganti dengan kualitas setara.

Lewat tim artisannya yang diperkuat oleh sejumlah pemain Portugal, Mourinho memberikan apa yang dibutuhkan Abramovich. Ia memang tidak mampu membuat Chelsea menimang Si Kuping Besar. Akan tetapi, Chelsea tiga kali dibawanya menjadi penguasa sepak bola Inggris.

Ketika Mourinho sudah didepak dari Chelsea, sebagian pemainnya tinggal di sana. Carvalho mengantar Chelsea menjadi kampiun Premier League 2009/10. Bahkan Ferreira menjadi bagian dari skuad juara Liga Champions 2011/12. 

Para pemain, gelar juara, serta cerita di Porto dan Chelsea mengingatkan orang-orang bahwa sepak bola memiliki orang segila Mourinho yang membangun tradisinya sendiri dari penolakan. Cerita itu sudah lama pergi dari Stamford Bridge. Namun, bukan tidak mungkin kepingan-kepingannya akan muncul sekelebat saat Chelsea berlaga melawan Porto.