Memperlakukan Sepak Bola Perempuan seperti Lyon

Foto: UWCL

Klub lain membuat tim perempuan mereka bertahan hidup dengan gigih. Di Lyon, para pesepak bola perempuan mendapatkan segala sesuatu yang mendekatkan mereka pada kesempatan untuk menang.

Jauh setelah perempuan-perempuan Prancis menghidupkan imajinasi banyak orang di negeri-negeri jauh akan indahnya kebebasan, Olympique Lyonnais Feminine ditahbiskan sebagai ratu yang berdiri di puncak gunung prestasi sepak bola.

Coco Chanel membebaskan perempuan-perempuan Eropa dari korset ketat yang sudah menyiksa sejak Era Victoria. Di negeri yang sama, Simone de Beauvoir menyerukan ide bahwa perempuan adalah manusia merdeka.

Marie Curie mati martir sebagai ilmuwan yang membukakan mata dunia akan manfaat dan bahaya radioaktif. Ratusan tahun sebelumnya, Joan of Arc mengibarkan panji perang untuk merebut Orleans, salah satu kota terkaya di Prancis, dari jajahan Inggris.

Lantas saat ratusan pesepak bola perempuan kepayahan melepaskan diri dari keterpurukan, perempuan-perempuan Lyon berlari di atas tanah yang lapang, mendapatkan ruang luas untuk mengembangkan diri, dan bersenang-senang di atas lapangan bola.

Lyon Feminine menjadi tim tersukses di ranah sepak bola perempuan modern. Pernyataan itu bukan klaim sepihak. Dalam 14 musim terakhir, merekalah yang duduk di singgasana juara liga perempuan Prancis.

Itu artinya, Lyon cuma membutuhkan usia 2 tahun sejak didirikan pada 2004 untuk merengkuh mahkota sebagai kampiun. Itu belum tambah dengan 9 trofi Coupe de France Féminin dan 1 medali emas Trophée des Championnes. Magi dan taji Lyon tak redup dihantam kompetisi level Eropa. Tujuh gelar juara Liga Champions adalah buktinya.

Deretan prestasi tersebut tak membungkam suara-suara sumbang yang ditujukan kepada Lyon. Publik menyebut dominasi itu direngkuh karena kualitas persaingan di kompetisi sepak bola perempuan belum sengit.

Mungkin pernyataan itu benar, tetapi seharusnya tidak berhenti di sana. Seharusnya pernyataan itu membuat orang-orang mencetuskan pertanyaan: Mengapa kualitas Lyon Feminine jauh di atas tim lainnya? Mengapa tim lain tidak bisa seperti Lyon? Mengapa kualitas kompetisi sepak bola perempuan tidak baik? Mengapa sepak bola perempuan tidak diperbaiki meski kalian berulang kalinya mencecarnya sebagai kompetisi yang buruk?

***

Dominasi Lyon bukan akibat dari buruknya iklim sepak bola perempuan. Dominasi Lyon adalah ganjaran keseriusan klub mengurus tim perempuannya. Lyon serupa dengan tim lain. Mereka lahir, tumbuh, berlaga, dan bertahan di tengah iklim yang bobrok bagi sepak bola perempuan.

Geliat sepak bola perempuan Eropa sebenarnya mulai terasa lagi. Masalahnya adalah kebanyakan tim perempuan lahir karena tekanan. Tim perempuan Real Madrid yang lahir pada 2019 merupakan salah satu contohnya. 

Klub sebesar Madrid dianggap tak becus karena tidak memberikan tempat bagi sepak bola perempuan. Seharusnya Madrid dapat menggunakan reputasi dan kejayaan mereka untuk ikut membangun sepak bola perempuan. Pun demikian dengan Manchester United dan Juventus. Kedua klub ini pun baru memiliki tim perempuan tidak sampai 5 tahun dari sekarang.

Untuk sampai ke puncak, Lyon mengambil jalan yang tidak biasa, yang tidak serupa dengan Madrid, Juventus, dan United. Alih-alih membiarkan, klub merawat tim perempuan sama detail dan baiknya dengan tim laki-laki. Jika sejumlah klub memiliki tim perempuan karena ‘terpaksa’, Lyon membentuk tim perempuan dengan sengaja dan serius.

Semuanya bermula pada 2004. Presiden Lyon, Jean-Michel Aulas, memandang tim perempuan sebagai investasi yang tidak bisa dianggap remeh. Benar bahwa dana yang dikeluarkan dan didapat belum sebesar tim laki-laki. Namun, fase ini juga pernah dialami tim laki-laki pada tahun-tahun pertama mereka.

Aulas adalah pebisnis. Ia tahu persis bahwa hidup di atas ranah industri tidak boleh bermodalkan romantisme melulu. Risiko dan manfaat, kerugian dan keuntungan, semuanya harus ditempatkan pada kotak yang sama: Potensi.

Aulas memulai langkahnya dengan mengakuisisi tim perempuan bernama FC Lyon yang tengah sekarat pada 2004. Tim ini lahir pada 1970. Serupa dengan kebanyakan tim perempuan, mereka hidup segan, mati pun tak mau.

Dedikasi sumber daya dan fasilitas pelatihan papan atas Lyon sejak awal memikat sejumlah pemain terbaik dunia. Pada masa-masa awal klub, Aulas mendekati bintang-bintang terkenal seperti Hope Solo, Aly Wagner, dan pemain Amerika Serikat lainnya untuk menyempurnakan visinya yang masih muda.

Namun, Aulas juga berinvestasi pada talenta Prancis, seperti Louisa Necib-Cadamuro, yang kembali menjadi sorotan publik dengan ikut turun arena membela Prancis di Piala Dunia Perempuan 2019.

Necib-Cadamuro adalah tokoh penting dalam sejarah Lyon dengan mempersembahkan 20 gelar juara.Orang-orang menyebutnya sebagai Ziza atau Zidane versi perempuan. Julukan itu tak hanya mengacu karena mereka sama-sama keturunan Aljazair yang menghabiskan masa kecil di Marseille, tetapi juga karena kualitasnya sebagai jenderal serangan tim.

Lyon memperlakukan tim perempuan dan laki-lakinya dengan setara. Ini tidak semata-mata berbicara tentang gaji, tetapi juga perlakuan yang sama. Di Lyon, tim laki-laki dan perempuan menggunakan kandang yang sama, Groupama Stadium, serta fasilitas latihan dan medis yang sama. Jika tim pria pergi ke laga tandang dengan jet pribadi, begitu pula dengan tim perempuan.

Lyon menetapkan standar gaji tinggi bagi para pemain perempuan. Mereka menyediakan staf dan menciptakan lingkungan bagi tim untuk berlatih di level tertinggi. Klub lain membuat tim perempuan mereka bertahan hidup dengan gigih. Di Lyon, para pesepak bola perempuan mendapatkan segala sesuatu yang mendekatkan mereka pada kesempatan untuk menang.

Ada Hegerberg mengkritik Federasi Sepak Bola Norwegia yang tidak serius mengurus sepak bola perempuan. Perengkuh Ballon d’Or Feminin pertama ini bahkan menolak panggilan Timnas Norwegia sejak 2017 sebagai bentuk protes atas perlakuan tidak setara.

Dunia menyebut perlakuan setara itu tidak mungkin didapat pesepak bola perempuan karena mereka hidup di level yang berbeda. Namun, Hegerberg membuktikan bahwa apa yang diinginkannya bukan mimpi di siang bolong. 

Hegerberg diganjar sekitar 400.000 euro per tahun atau 33.000 euro per bulan yang menjadikannya sebagai pemain perempuan dengan gaji tertinggi di Prancis. Amandine Henry dan Wendie Renard yang juga masuk dalam daftar pemain dengan gaji tertinggi di Lyon masing-masing mengantongi 29.000 euro per bulan.

Mereka memikat para pemain dengan kontrak yang menguntungkan dan memastikan para pemain itu bertahan di Lyon selama puncak karier. Dengan cara itu pula Lyon mendaratkan Lucy Bronze pada 2017. Aulas mendatangi Bronze usai laga semifinal Liga Champions 2016/17 yang mempertemukan Manchester City dan Lyon. Ketika itu Lyon lolos ke final dengan kemenangan agregat 3-2. Aulas melakukan pendekatan personal dengan mengapresiasi permainan Bronze dalam dua leg.

Beberapa pekan setelah perbincangan itu, Bronze tak butuh dirayu lagi untuk menandatangani kontrak yang disodorkan Lyon. Ia cukup mengingat-ingat seramai dan sebesar apa stadion tempat laga itu digelar. Ia hanya perlu menonton rekaman pertandingan dan melihat superstar yang berlaga membela Lyon.

Mengutip The Telegraph, Lyon mempertahankan para pemain yang berimpak tinggi pada tim dan mendatangkan satu atau dua bintang baru setiap musim panas. Lyon tidak perlu malu-malu memberikan penawaran kepada para pemain sekaligus pemimpin terbaik seperti Hegerberg, Dzsenifer Marozsán yang merupakan kapten Timnas Jerman, dan kapten Timnas Jepang, Saki Kumagai.

Mereka bahkan menaikkan gaji pemain sampai empat kali lipat selama ia benar-benar berdampak positif bagi tim. Dengan cara itu Lyon tidak kekurangan amunisi untuk menghadapi setiap musim.

Mereka tidak seperti batalion sekarat yang menyuruh para tentara berperang dalam keadaan pincang dan kekurangan senjata. Jika Lyon bisa menutup empat Liga Champions terakhir dengan semringah, itu karena mereka memang dipersiapkan secara sengaja untuk menjadi kampiun.

***

Kepala Akademi Lyon, Sonia Bompastor, menyebut bahwa di klub mereka, karakter adalah hal yang pertama kali dibentuk. Katanya sebagian besar perempuan di Prancis--bahkan di era modern--terbentuk dan hidup dengan rasa percaya diri yang minim.

Klub merombak mental tersebut dengan memperlakukan mereka setara dengan para pria. Kalau bicara soal Lyon, semua tim adalah setara. Tim perempuan tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi daripada tim pria.

Perlakuan seperti itu membentuk perempuan-perempuan Lyon turun arena sebagai orang-orang terhormat. Mereka dihormati klub, suporter, dan yang terpenting, oleh diri sendiri. Hegerberg dan kawan-kawannya tidak perlu memikirkan bagaimana cara agar mereka diperlakukan sebaik para pemain pria. 

Di Lyon kesetaraan bukan hal yang harus kau upayakan. Kesetaraan sama wajarnya dengan bernapas dan tertawa terpingkal-pingkal saat menonton film komedi. Dengan begitu, satu-satunya hal yang mesti dipikirkan tim adalah menang.

Para pemain Lyon memandang kemenangan sebagai keharusan.Itulah sebabnya mereka sedapat mungkin menciptakan atmosfer yang semakin mendekatkan mereka dengan kemenangan tersebut. Dalam wawancaranya bersama The Telegraph, Amandine Henry menjelaskan apa-apa saja yang terjadi di ruang ganti, terutama pada laga sepenting Liga Champions.

Para pemain senior, seperti kapten Wendie Renard, Sarah Bouhaddi, atau Eugénie Le Sommer, kebagian tugas untuk berbicara kepada tim. Sebisa mungkin mereka berbicara dalam bahasa Prancis meski mereka memiliki banyak pemain asing. Kalaupun ada kata-kata yang tidak dipahami, pemain itu hanya perlu menoleh kepada rekannya dan ia akan dengan senang hati menerjemahkan apa yang diucapkan.

Para pemain sama-sama menganggap musik di ruang ganti sebagai perkara penting. Karena itu, mereka selalu menugaskan beberapa pemain untuk mengurus musik yang dapat membantu mendongkrak semangat. Saat masih di Lyon, Bronze terbiasa mengemban tugas itu. Begitu pula dengan Renard. Bronze bahkan memiliki playlist khusus ruang ganti yang dibagikannya lewat Spotify.

Musik yang dipersiapkan di ruang ganti itu lebih dari sekadar cara bersenang-senang. Itu adalah bukti bahwa para pemain memandang setiap pertandingan harus dimenangi. Selama bisa membantu mereka meraih kemenangan, segala sesuatu--bahkan yang paling sepele sekalipun--akan dipersiapkan.

***

Stadion tak pernah sepi ketika Lyon Feminine berlaga. Jumlah suporter yang meyaksikan laga tim asuhan Jean-Luc Vasseur itu bisa mencapai lebih dari 25.000 orang. 

Bahkan saat pertandingan mesti dilakukan secara tertutup akibat pandemi, Lyon berhasil mencetak rekor. Setidaknya ada 1.700.000 orang di Prancis yang menonton laga final Liga Champions Perempuan 2019/20 antara Lyon dan Wolfsburg lewat siaran berbayar dan gratis. Itu belum ditambah dengan 880.000 penonton yang menyaksikan pertandingan tersebut lewat siaran Jerman.

Berbondong-bondong menyaksikan laga tim perempuan adalah tradisi yang dibangun di Lyon. Para petinggi klub, termasuk Aulas, menghadiri pertandingan tim perempuan sama banyaknya dengan pertandingan pria. Sikap ini menunjukkan bahwa Aulas dan manajemen tidak hanya berkomitmen secara finansial kepada tim perempuan, tetapi juga filosofi.

“Jersi tim perempuan dan pria sama-sama memiliki emblem Lyon. Mereka turun arena sebagai Lyon. Kamu harus memperlakukan tim pria dengan sebaik-baiknya dan seprofesional mungkin sehingga mereka dapat memberikan yang terbaik di lapangan. Lantas, mengapa kamu tidak memperlakukan tim perempuan dengan sikap serupa?”

Pertanyaan itu bukan hanya retorika yang harus ditulis oleh entah berapa banyak jurnalis yang meminta wawancara eksklusif dengan Aulas. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap klub.