Menanti Gerrard Naik Tingkat

Foto: AVFCOfficial.

Aston Villa bukanlah jembatan Gerrard untuk menuju Liverpool. Ini seperti tangga yang harus dinaiki Gerrard untuk menjadi pelatih top, ke mana pun tujuan ia berikutnya.

Saya terkekeh ketika ada yang menyebut bahwa Steven Gerrard cuma modal nama besar ketika dipilih jadi manajer anyar Aston Villa. Well, Gerrard memang memiliki nama besar. Namun, menihilkan apa yang ia lakukan di Rangers selama tiga tahun terakhir jelas sebuah kesalahan.

Kalian boleh menyebut saya bias, tapi saya juga boleh menyebut bahwa kalian berani berbicara seperti itu karena tidak pernah menonton--atau memperhatikan--Rangers-nya Gerrard.

Sebab bagi yang pernah menyaksikan Gerrard-nya Rangers, mereka mestinya paham bahwa, sebagai manajer, mantan kapten Liverpool itu punya ide yang bagus dan menjanjikan. Pengejawantahan ide tersebut di lapangan pun terlihat cemerlang.

Begini. Mungkin banyak yang bilang bahwa Rangers cuma bermain di kompetisi Scottish Premiership. Namun, perlu diingat bahwa Gerrard datang di musim ketiga setelah Rangers naik level kembali ke Scottish Premiership usai sejak 2012, mereka berkubang di kompetisi level tiga dan dua Skotlandia karena masalah keuangan.

Rangers yang ditanganinya berbeda. Itu adalah Rangers yang inferior. Namun, berkat Gerrard, mereka berubah menjadi superior. Pada musim pertama ia mampu membawa Rangers menang di Old Firm Derby untuk pertama kali sejak 2012. Di musim 2018/19 itu Gerrard juga membawa Rangers finis di posisi dua setelah dua musim sebelumnya cuma berada di posisi tiga.

Pada musim ketiga atau musim penuh keduanya (kompetisi Skotlandia musim 2019/20 dihentikan karena COVID-19), kita tau Gerrard mengukir sukses. Ia membawa Rangers juara Scottish Premiership dengan catatan tak terkalahkan. Mereka meraup 102 poin, mencetak 92 gol, dan cuma kebobolan 13 gol. Musim itu, Celtic juga turut dipecundangi.

Di kompetisi antarklub Eropa, tepatnya di Liga Europa, performa Rangers pun tak buruk. Pada babak kualifikasi mereka berhasil menyingkirkan Galatasaray, dan kemudian berhasil memuncaki grup yang di dalamnya terdapat Benfica. Rangers juga tak terkalahkan di situ. Sayangnya, mereka kudu tersingkir di babak 16 besar setelah keok 1-3 secara agregat dari Slavia Praha.

Secara keseluruhan, terlihat bahwa Gerrard telah berhasil mengangkat performa dan mentalitas Rangers. Dan itu yang diharapkan manajemen Aston Villa juga bisa dilakukannya di Villa Park. Gerrard juga diharapkan bisa memberikan identitas buat Villa, bahwa mereka bukan hanya tim papan tengah, tapi juga tim yang menerapkan sepak bola atraktif dan progresif.

Mari kita bahas satu-satu.

Persoalan mentalitas yang pertama. Dan ini memang cukup kronis. Selepas finis di posisi 11 dan tampil cukup menjanjikan musim lalu, Aston Villa terseok-seok sejauh musim ini berjalan. Dari 11 laga, mereka berada di posisi 16 klasemen dan sudah kebobolan 20 kali. Catatan kebobolan itu adalah yang terburuk ketiga di liga. Cuma Norwich dan Newcastle yang lebih buruk.

Semangat juang dan mentalitas pemenang seperti yang mereka tunjukkan musim lalu tak kelihatan. Bahkan sudah lima laga terakhir mereka selalu menelan kekalahan di mana salah satunya terjadi setelah unggul 2-0 terlebih dahulu (vs Wolverhampton). Itu yang harus diperbaiki Gerrard.

Kebetulan, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Gerrard mampu mengubah mentalitas Rangers yang inferior menjadi superior dalam kurun waktu tiga musim melatih. Ianis Hagi, anak asuh Gerrard di Rangers, menyebutkan dalam wawancaranya dengan The Athletic bahwa Gerrard pandai membuat mental anak-anak asuhnya bangkit.

Ia mampu mengontrol ruang ganti. Ketika timnya kalah, Gerrard lebih senang memberi kata-kata motivasi, penyemangat agar anak asuhnya segera bangun--siap bertarung kembali di lapangan. Ia menghindari makian atau marah-marah ketika ada yang melakukan kesalahan.

Jika ada pemain yang bermasalah secara individu, Gerrard pun akan mengadakan pertemuan empat mata. Ia mengajak sang pemain berbicara, mengetahui masalah dan cara menyelesaikannya. Buat Gerrard, ini akan membuat hubungannya dengan pemain lebih baik dan, dengan kondisi yang membuat pemain nyaman, diharapkan performa mereka di lapangan pun membaik.

Hal lain yang ia lakukan untuk meningkatkan mental pemainnya adalah dengan menerapkan intensitas tinggi di latihan maupun pramusim. Gerrard akan menganggap dua fase itu sama pentingnya seperti laga kompetitif. Tak ada perlakuan santai, penuh keseriusan dan tuntutan (dalam konteks positif) darinya buat pemain.

Untuk urusan performa, satu hal yang mesti diperbaiki Gerrard adalah lini pertahanan. Seperti yang sudah disebutkan, Villa sudah kebobolan 20 kali musim ini. Hampir setengah dari jumlah kebobolan mereka musim lalu (48). Padahal, musim baru berjalan 11 laga. Dan buruknya, performa pemain belakang mereka juga buruk.

Emi Martinez, sang penjaga gawang, menurun performanya. Menilik angka ekspektasi penyelamatan kiper (PSxG), Martinez seharusnya cuma kebobolan 14 atau 15 gol musim ini. Namun, kenyataannya, ia kebobolan 20. Performa Tyrone Mings dan Ezri Konsa pun tak sesolid musim lalu. Begitu pula dengan full-back kiri mereka, Matt Targett.

Gerrard jelas harus menemukan solusi. Mungkin solusinya tidak akan berupa pergantian pemain inti, mengingat kedalaman skuad Aston Villa pun tak bagus-bagus amat. Namun, ia bisa melakukan apa yang ia lakukan di Rangers: Melancarkan pressing intens sejak lini depan dengan tujuan mendapatkan bola secepat mungkin.

Musim ini, Aston Villa tidak melakukan itu. Sejauh ini mereka cuma mencatatkan 369 pressing di sepertiga akhir area lawan. Angka itu ada di urutan ke-12 Premier League. Untuk urusan pressing secara keseluruhan pun mereka buruk, karena persentase suksesnya hanya 28,1%. Membuat Villa masuk tujuh terburuk di liga.

Gerrard harus memperbaiki ini. Villa punya pemain depan macam Danny Ings dan Ollie Watkins yang punya daya jelajah tinggi dan kengototan sebagai pemain depan. Mereka bisa diubah menjadi pemain depan yang rajin melakukan pressing. Sejak di Rangers pun Gerrard memang membuat timnya melakukan pressing dengan bentuk 4-3-3.

Tiga pemain depan akan melancarkan tekanan dan, ketika mereka sudah dilewati lawan, shape bisa berubah jadi 4-5-1 atau 4-3-3 tergantung arah serangan lawan. Yang menarik, ketika lawan menyerang via tepi, tiga penyerang tepi tidak akan track-back, tapi masuk ke tengah. Urusan tepi kemudian dibebankan pada gelandang kanan maupun kiri.

Shape Rangers saat bertahan.

Sistem seperti itu nyatanya membuat Rangers moncer. Mereka cuma kebobolan 13 gol musim lalu--meski di musim ini mereka sudah kebobolan jumlah yang sama. Namun, idenya, pressing bisa meminimalisir lawan tiba di sepertiga akhir area Villa dengan cepat, bahkan bisa membuat lawan melepaskan bola lambung karena minim jalur umpan.

Dengan lawan melepas umpan lambung, Villa bisa mengontrolnya karena mereka cukup apik soal duel udara. Sejauh ini, per 90 menit, para pemain mereka mencatatkan 18,9 duel udara sukses dengan persentase 49,4%. Persentase memang perlu ditingkatkan, tapi Villa jelas sudah punya modal yang cukup.

Soal urusan menyerang--atau ketika menguasai bola, Gerrard jelas tak cuma perlu membuat Villa jadi lebih tajam, tapi juga memberikan identitas. Kebetulan, selama di Rangers, Gerrard menerapkan paham 'owning the pitch' dan 'owning the game'. Kuasai lapangan, kuasai pertandingan. Possession akan diutamakan.

Sebelumnya, di bawah Dean Smith, Villa memang kurang gemar mendominasi penguasaan bola. Rerata penguasaan bola mereka hanya 47,3% musim ini. Nomor 13 di liga. Smith juga lebih senang membuat Villa menyerang via counter attack. Dan di bawah Gerrard, itu mungkin akan jarang terjadi, terutama ketika menghadap tim yang levelnya sama.

Build-up dari bawah akan diutamakan, umpan dari kaki ke kaki akan ditingkatkan. Ia biasanya juga akan menugaskan satu gelandang sentral untuk mengontrol pertandingan. Mengarahkan ke mana serangan harus dituju. Jika di Rangers ada Steven Davis, di Aston Villa sosok Douglas Luiz atau John McGinn sama-sama bisa melakukannya.

Untuk urusan formasi, Gerrard akan memakai pola 4-3-3. Ini adalah formasi favoritnya. Sejak menangani Rangers, sudah 111 kali Gerrard menerapkannya di seluruh kompetisi. Ini berbeda dari era Smith di mana Villa acap gonta-ganti formasi. Dari 11 laga awal musim ini saja mereka sudah ganti formasi enam kali, mulai dari 3-4-1-2 sampai 4-2-3-1.

Namun, tak seperti pola 4-3-3 kebanyakan, 4-3-3 punyanya Gerrard ini tak menggunakan penyerang sayap. Dua pemain yang mengapit penyerang tengah adalah gelandang nomor 10. Mereka tak akan banyak bergerak di tepi, tetapi lebih rajin masuk ke tengah atau half-space. Terlihat seperti 4-3-2-1 atau formasi Pohon Natal.

Di Aston Villa, itu sangat mungkin kembali diterapkan. Emiliano Buendia adalah kunci, karena ia sangat bisa mengisi peran sebagai salah satu dari dua pemain nomor 10. Satu tempat lagi bisa diisi Ollie Watkins atau Leon Bailey. Anwar El Ghazi pun bisa dimanfaatkan di situ.

Pemain depan yang narrow & full-back yang menjaga width.

Di formasinya Gerrard, yang akan menjaga kelebaran (width) adalah para full-back-nya. Di sini ia menginginkan para full-back-nya untuk aktif membantu serangan; Aston Villa punya stoknya, di mana mereka memiliki Matthew Cash dan Matt Target. Jika kurang, Ashley Young masih bisa dimanfaatkan.

Dari situ, full-back akan rajin melepas umpan silang, sedangkan dua gelandang nomor 10 akan memiliki dua tugas: Entah sebagai penyelesai kedua (setelah penyerang tengah), melalui tembakan jarak dekat atau luar kotak penalti, atau sebagai kreator alternatif ketika serangan via full-back buntu.

Perpaduan full-back agresif, nomor 10 kembar yang multifungsi, striker depan yang klinis, serta gelandang pengontrol permainan yang diapit oleh dua gelandang pekerja bisa membuat serangan Aston Villa lebih dinamis ketimbang sebelumnya. Harusnya, sih, Villa jadi lebih produktif dan atraktif.

Namun, Gerrard juga bukan tanpa cela sebagai pelatih. Minus pertama adalah fakta bahwa ia pelatih yang banyak minta. Ketika tiba pertama kali di Rangers, ia meminta kepada manajemen untuk memugar kamp latihan Rangers. Ketika tersingkir dari Kualifikasi Liga Champions musim ini, ia menyatakan timnya kurang kompetitif karena manajemen enggan menggelontorkan uang untuk transfer pemain.

Aston Villa memang klub yang cukup lumayan secara finansial, tapi tuntutan yang Gerrard minta bisa berdampak buruk buat kariernya, terutama kepada hubungannya dengan manajemen. Memang sambutan dari manajemen kelihatan bagus dan Gerrard seperti diberi kepercayaan besar, tapi ini baru awal perjalanan.

Selain itu, pria berusia 41 tahun ini juga sosok pelatih yang acap tak punya plan B dalam sebuah pertandingan. Ketika 4-3-3 dan strategi menyerang seperti yang tertulis di atas tak berjalan lancar, Gerrard akan bingung. Kekalahan dari Dundee di awal musim ini bisa jadi contoh. Saat itu Rangers menguasai 67% penguasaan bola, tapi cuma bisa melepas dua tembakan tepat sasaran karena Dundee bermain compact dan disiplin terhadap shape.

Kebuntuan seperti itu masih bisa terjadi di Aston Villa, mengingat secara kedalaman skuad pun tim asuhan Gerrard ini pas-pasan. Karenanya, ia mungkin harus mulai mencari (dan melatih) alternatif lain buat timnya. Sebab Premier League juga lebih kompleks, ia bisa bertemu pelatih yang lebih pintar ketimbang yang pernah ia temui sebelumnya.

***

Orang-orang mungkin bilang bahwa Aston Villa hanya akan jadi jembatan bagi Gerrard untuk menuju Liverpool. Kebetulan kontrak Juergen Klopp memang akan habis 2024 nanti. Namun, Aston Villa sebenarnya lebih cocok disebut sebagai tangga buat pembuktian Gerrard.

Bahwa jika ia bisa kembali mengejawantahkan ide dan filosofinya dengan sempurna di lapangan--plus mengerjakan segala PR-nya, ia sudah siap menapak tempat yang lebih tinggi. Bahwa ia memang layak disebut sebagai pelatih top. Terlepas dari ke mana pun ia akan melanjutkan karier nantinya.