Mendedah Formula Baru AS Roma

Ilustrasi: Arif Utama.

Paulo Fonseca mengusahakan segala cara untuk menuntun Roma ke tangga juara. Bisa jadi musim ini waktunya para serigala berpesta.

AS Roma menggelinjang di tabel klasemen Serie A. Mereka nangkring di peringkat ketiga, menempel ketat duo Milan yang ada di peringkat satu dam dua.

I Giallorossi bahkan sukses menahan imbang tiga kandidat terkuat scudetto musim ini. Juventus dan Inter Milan ditahan 2-2. Pun dengan AC Milan yang mereka imbangi 3-3, di San Siro pula.

Kalau dilihat dari posisi klasemen dan head to head dengan tim kuat, sudah semestinya Roma masuk sebagai salah satu nomine juara Serie A 2020/21. Bukan tak mungkin mereka bakal mengulangi kesuksesan 20 tahun silam.

Kami mencoba membedah rahasia di balik moncernya performa Roma, mulai dari kejelian di bursa transfer sampai perubahan formasi yang dilakukan Paulo Fonseca. Monggo..

Transfer Jitu

Roma tak bisa dibilang sebagai klub kaya. Mereka lebih gemar mengobral aset alih-alih mendatangkan pemain anyar.

Banyak, kok, buktinya. Ada Mohamed Salah, Alisson Becker, Radja Nainggolan, Konstas Manolas, Antonio Ruediger, Miralem Pjanic, Marquinhos, dan Erik Lamela. Bila dirata-rata, kedelapan pemain itu dijual seharga 38,3 juta euro. Beberapa dari transfer di atas terkait dengan keputusan Monchi sebagai Direktur Olahraga Roma saat itu. 

Tak ada yang salah, sih. Setiap klub punya kebijakan masing-masing untuk meraup untung. Yang penting, mereka mampu mencari personel baru untuk mempertahankan performa tim.


Di musim ini Roma membelanjakan 60 juta euro di lantai transfer. Sebagai pembanding, angka itu tak genap setengah dari total belanjaan Juventus yang mencapai 128 juta euro.

Menariknya, sebagian besar ongkos transfer itu dihabiskan untuk memermanenkan para pemain yang dipinjam sejak musim lalu. Sebut saja Jordan Veretout, Chris Smalling, Gianluca Mancini, dan Carlez Perez.

Langkah itu cukup logis mengingat mereka sudah menunjukkan performa ciamik di masa probation. Jadi seenggaknya Roma enggak akan rugi-rugi amat-lah. 

Mereka juga sudah memproyeksikan Marash Kumbulla dan Borja Mayoral sebagai 'calon pemain' musim depan. Kumbulla dipinjam dari Hellas Verona sedangkan Mayoral dari Real Madrid. Nama yang disebut belakangan diplot mengisi pos Patrik Schick yang telah dilego ke Bayer Leverkusen.

Jangan lupa bahwa Roma juga mendatangkan pemain secara cuma-cuma di musim panas kemarin: Pedro Rodriguez. Usianya memang sudah kepala tiga, tetapi CV-nya jangan ditanya. Pedro telah menyabet 20 gelar bersama Barcelona dan 2 titel semasa di Chelsea. Dia juga ambil bagian saat Spanyol juara Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012.

Perubahan Formasi

“Dewasa ini formasi tiga bek menjadi salah satu garansi untuk membuat pertahanan lebih solid,” kata Paulo Fonseca.

"Di sini [Italia] sangat sulit untuk bermain di area tengah lapangan. Jika aktif menyisir dari sayap, kami bisa memaksimalkan serangan."

Fonseca adalah penyanjung sepak bola dominan. Buatnya, penguasaan bola nyaris sama mahalnya dengan kemenangan. Bola-bola pendek dan kerapatan pemain jadi karakteristik timnya.

Di lain sisi, Fonseca sadar betul dia sedang mengarungi Italia. Ya, salah satu liga dengan taktik paing jelimet sedunia.

Berangkat dari keresahan itu, Fonseca beralih formula. Dia perlahan menanggalkan pakem 4-2-3-1 andalannya sejak menukangi Shakhtar Donetsk. Adalah format tiga bek yang dipilih pelatih kelahiran Mozambik itu.

Sebenarnya sudah sejak musim lalu Fonseca menjajal pendekatan semacam itu, tetapi tidak berjalan mulus. Transisi yang buruk membuat Roma sering kecolongan serangan balik. Total 5 kali mereka kebobolan dengan skema tersebut. Angka itu menjadi yang terbanyak keempat di Serie A 2019/20. 

Barangkali Fonseca berusaha menduplikasi formasi yang diapakai Inter Milan, Atalanta, dan Lazio. Namun, perlu diingat bahwa tiga klub di atas sudah terbiasa dengan pakem tersebut.

Lain cerita dengan Roma. Mereka tak pernah mengusung perangkat tiga bek sebagai komponen utama, setidaknya dalam satu dekade terakhir.

Praktik format tiga bek tidaklah mudah. Roma mesti punya pemain yang kompeten bermain dalam wadah itu. Wing-back merupakan yang terutama karena pemain di posisi itu harus agresif selain mahir dalam bertahan. 

Kemampuan transisi juga termasuk aspek esensial. Fonseca mungkin harus mengamati trik Antonio Conte dalam memaksimalkan peran Achraf Hakimi sebagai alternatif serangan Inter. Contoh lainnya adalah Robin Gosens yang jadi andalan Gian Piero Gasperini di Atalanta. Pemain Jerman itu sudah mengumpulkan 5 gol dan 4 assist sejauh ini.

Nah, khusus Fonseca, kebutuhannya akan wing-back justru terpenuhi oleh Rick Karsdorp. Ini lucu, soalnya bek sayap asal Belanda itu bukan rekrutan baru Roma. Dia bahkan sudah mendarat di Olimpico sejak 2017. Namun, cedera lutut membuat kontribusinya tersendat.

Roma sempat merentalkannya ke Feyenoord dan baru di musim ini Karsdorp menunjukkan eksistensinya. Sudah 4 assist dibuatnya sejauh ini. Torehan yang cuma bisa dikalahkan Mkhitaryan.

Untuk catatan aksi bertahan, rapor Karsdorp tak buruk-buruk amat. Tekel dan intersepya menyentuh 1 dan 1,2 bila dirata-rata per laga.

Sementara untuk sektor wing-back kiri, Fonseca memercayakannya kepada Leonardo Spinazzola. Bek 27 tahun itu masuk tiga besar produsen umpan kunci tertinggi Roma. Spinazzola juga turut menyumbang assist saat Roma menang 4-3 atas Spezia pekan lalu.


Formasi anyar Fonseca itu juga terbukti sukses mengatrol produktivitas Roma. Paling kentara, ya, kesuksesan mereka mengonversi serangan balik. Sudah 4 kali Roma bikin gol via counter attack, terbanyak bersama Sampdoria dan Fiorentina.

Sementara kalkulasi gol Roma sudah menyentuh 44 hingga Serie A pekan ke-20. Artinya, Edin Dzeko cs memproduksi 2,2 gol di tiap pertandingannya. Jumlah itu lebih banyak dibanding musim lalu yang cuma menyentuh angka 2.

Secara garis besar, lini serang Roma sekarang lebih cair dibanding periode sebelumnya. Keberadaan wing-back makin memperkaya alternatif serangan mereka.

Mkhitaryan yang paling ketiban impaknya karena diberi free-role oleh Fonseca. Dia diizinkan untuk menyisir area tengah dan tepi agar bisa memaksimalkan produksi peluang sekaligus mengonversikannya dari lini kedua. Lagi pula, rata-rata tembakannya menyentuh 2,7 per laga, tertinggi bersama Dzeko.

Mkhitaryan bahkan menjadi pemain dengan kontribusi tertinggi di Roma: 9 gol dan 8 assist. Hebatnya lagi, itu sudah melebihi torehannya di sepanjang musim 2019/20.

Thanks to Lorenzo Pellegrini dan Jordan Veretout. Kedua gelandang ini merupakan komponen penting dalam format tiga bek Fonseca.

Pellegrini menjadi tandem Mkhitaryan di secondline. Keberadaan gelandang box-to-box sepertinya penting untuk menyeimbangkan lini tengah. Selain rajin terlibat dalam penciptaan gol, Pellegrini punya atribut bertahan ciamik. Rerata intersepnya per laga ada di angka 1,6 atau setara dengan Chris Smalling.

Sementara Veretout punya peran berbeda. Eks Aston Villa itu dipercaya Fonseca sebagai penyambung distribusi bola dari sektor belakang ke depan. Produktivitasnya juga lumayan. Torehan 7 gol jadi buktinya.

Mayoral juga layak diberi kredit. Tak sulit mengangkatnya sebagai rekrutan terbaik Roma musim ini.

Understat mencatat Mayoral membuat 6 lesakan dengan harapan gol yang cuma 4,55. Bandingkan Dzeko yang mencetak 7 gol dengan xG 10,03. Dari situ terlihat bahwa Mayoral unggul atas Dzeko soal konversi peluang.

Ini, nih, yang penting. Roma akhirnya bisa menanggalkan ketergatungannya terhadap Dzeko, si produsen gol utama mereka sejak 2016/17. Sekarang goalgetter Roma bercabang, yakni Mkhitaryan, Veretout, Mayoral, dan Pellegrini.

Harusnya Roma bisa berjaya dengan komposisi skuat seperti sekarang. Andai luput juara, seenggaknya finis di posisi empat besarlah. Toh, itu bukan pencapaian yang buruk buat mereka.