Mendedah Ibrahima Konate
Apa saja hal-hal yang menonjol dari Ibrahima Konate hingga dia jadi buruan Liverpool? Apakah pemain 21 tahun ini memang menyimpan potensi yang begitu besar?
Ralf Rangnick datang jauh-jauh dari Leipzig ke Prancis pada musim semi 2017 dengan sebuah keyakinan. Dia datang untuk menemui seorang pemain berusia 17 tahun yang diyakininya sebagai salah satu bek dengan potensi terbesar di Eropa.
Bek ini belum punya nama dan cuma bermain di klub Ligue 2, Sochaux. Lebih buruk lagi, dia bermain di Sochaux yang sedang kepayahan. Mereka kalah melulu. Dari 13 laga dimana sang bek bermain, Sochaux menelan tiga kekalahan.
Rangnick adalah satu-satunya orang dengan nama besar yang mau repot-repot datang menghampiri sang bek ke Paris. Ia melihat apa yang tak banyak pencari bakat klub lain lihat; sang bek punya postur bagus, nyaman dengan bola, dan cepat. Fakta bahwa sang bek bermain di klub yang kalah melulu bukan masalah baginya.
Rangnick kemudian menawarkan sang bek kontrak untuk bergabung ke klubnya saat itu, RB Leipzig. Ia berkata kepada orang tua sang bek bahwa Leipzig bisa mengajarinya banyak hal dan berkembang menjadi pemain yang lebih baik.
Orang tua sang bek setuju. Perjalanan Rangnick berhasil dan sejak saat itu dia semakin percaya bahwa keyakinannya benar. Bek yang dimaksud bernama Ibrahima Konate dan, setelah menjalani empat musim bersama Leipzig, dia diincar juara bertahan Premier League, Liverpool.
Sampai titik ini, kita tahu, Rangnick memang benar.
***
Ibrahima Konate saat ini berusia 21 tahun. Usianya hanya terpaut satu tahun dari rekan setimnya yang juga berasal dari Prancis, Dayot Upamecano. Namun, secara pamor, nama Konate cukup jauh di bawah Upamecano.
Upamecano sudah sejak dua musim lalu jadi pembicaraan di jagat sepak bola. Dia dinilai sebagai bek tengah paling potensial di Eropa saat ini. Oleh karena itu, bejibun klub ingin merekrutnya, mulai dari Inggris, Spanyol, sampai Jerman. Namun, pada akhirnya, Upamecano memutuskan menerima pinangan Bayern Muenchen.
Kasus Konate agak unik. Namanya mencuat pada musim 2018/19 setelah tampil begitu baik di Leipzig. Bersama Upamecano dan Willy Orban, trio ini membawa Leipzig sebagai tim dengan pertahanan terbaik di Bundesliga. Namun, setelah itu, pembicaraan terkait Konate tak sekencang pembicaraan soal Upamecano.
Salah satu penyebabnya tentu saja cedera. Dalam dua musim terakhir, Konate tak banyak bermain karena menderita berbagai cedera. Dari cedera torn muscle fiber (cedera jaringan otot) sampai cedera engkel pernah dia derita. Musim lalu, Konate hanya bermain delapan kali di Bundesliga. Musim ini, dia baru mencatatkan 10 penampilan. Itulah yang membuat namanya tenggelam.
Cedera ini pula yang akan jadi pertimbangan berat Liverpool untuk merekrutnya. Sebab, pada musim ini saja, Transfermarkt sudah mencatat bahwa Konate absen selama 154 hari karena cedera. Sementara di musim lalu, dia melewati 30 pertandingan karena masuk ruang perawatan.
Liverpool punya pengalaman membatalkan transfer karena sang pemain punya histori cedera yang buruk. Tentu saja, pengalaman yang dimaksud ada pada kasus Nabil Fekir, ketika transfernya dari Lyon gagal terlaksana karena histori cedera ACL yang diderita.
Namun, jika Liverpool tak menganggap histori cedera ini sebagai penghalang untuk merekrut Konate, pastilah mereka menilai sang pemain punya potensi spesial yang akan menguntungkan di masa depan. Dalam situasi itu, kita bisa bertanya, memangnya sebagus apa, Konate?
Hal pertama yang dilihat untuk menemukan jawaban itu adalah dengan melihat gaya bermain Konate. Sebagai bek tengah, pemain berdarah Mali itu punya tipikal untuk lebih memilih melakukan dribel sebagai aksi progresif.
Konate akan melakukan dribel untuk membawa bola sampai ke area pertahanan lawan, alih-alih melepaskan banyak umpan. Soal ini, Smarterscout sampai memberinya ponten 98. Sekadar catatan saja, Smarterscout bisa memberikan ponten dari 0-99 untuk menentukan seberapa bagus gaya bermain/atribut seorang pemain.
Perkara tipikal ini, Konate punya kesamaan dengan bek-bek tengah Liverpool lainnya seperti Joel Matip, Joe Gomez, atau Virgil van Dijk--bahkan Ozan Kabak. Keempatnya punya poten di atas 50 dalam soal dribel sebagai aksi progresif. Van Dijk punya ponten 85 dan Kabak memiliki ponten 89.
Kedua, Konate cenderung untuk menempel lawannya secara ketat. Ini bisa jadi berkaitan dengan kebiasaan main Leipzig yang menekankan pressing. Jadi, ketika melakukan aksi defensif, Konate akan memastikan jarak di antara dia dan pemain lawan tak lebih dari satu meter.
Bek-bek Liverpool seperti Van Dijk, Matip, dan Kabak juga acap melakukan ini. Oleh karena itu, ketika melihat rasio pressing sukses Konate, Van Dijk, Matip, dan Kabak pada musim 2018/19 (musim di mana Konate bermain penuh), saya menemukan angka yang tak terlalu berbeda.
Berdasar data Fbref, Konate, punya angka 38,9%, Matip punya angka 34,8%, Kabak punya angka 34,2%, dan Van dijk memiliki angka 33,3%. Ketiganya sama-sama punya rasio sukses di atas 30%. Sementara Gomez yang secara tipikal berbeda (kerap melakukan kover dengan jarak) angka rasionya hanya 28,4%.
Tentu saja, dengan tinggi badan 1,94 meter, Konate punya kesamaan dengan Van Dijk dan Matip: Sama-sama jago duel udara. Dari statistik per 90 menit musim 2018/19, rasio duel udara sukses milik ketiganya menembus angka lebih dari 70%. Sementara dari statistik per 90 menit di musim ini, angka milik Konate bahkan sudah menyentuh 82,6%.
Mari kemudian menengok statistik aksi defensif Konate. Dari catatan per 90 menit di kompetisi domestik pada musim 2018/19 itu, Konate terlihat punya catatan yang mirip dengan Matip. Keduanya memiliki porsi tekel, intersep, dan sapuan (clearances) yang sama seringnya.
Konate, misalnya, punya catatan 1,7 tekel, 2,2 intersep, dan 4,5 sapuan. Sementara Matip punya catatan 2,3 tekel, 1,9 intersep, dan 4,5 sapuan. Dari tiga statistik itu, tidak ada angka yang jauh lebih superior. Bandingkan dengan Van Dijk yang, misalnya, lebih menonjol di bagian sapuan ketimbang dua yang lain. Van Dijk mencatatkan 5,4 sapuan dan hanya punya 1,1 tekel serta intersep.
Masuk akal kalau Konate diproyeksikan untuk menjadi suksesor Matip. Kebetulan keduanya sama-sama lebih nyaman bermain di posisi bek tengah bagian kanan. Secara postur dan tipikal pun tak jauh berbeda. Pun, maaf fan Liverpool, kalau melihat histori cedera.
Selain itu, berkaitan dengan gaya bermain Leipzig, Konate adalah sosok bek yang bisa diandalkan untuk bermain di garis pertahanan tinggi. Dia juga punya kecepatan untuk membantunya andal di situasi tersebut. Ini yang membedakan dirinya dengan Kabak, misalnya, yang secara histori bermain di klub yang tak seberani Leipzig dalam menerapkan garis pertahanan.
Namun, Konate bukannya tanpa kekurangan. Dia belum bisa konsisten mempertahankan catatan-catatannya untuk tetap berada di level yang bagus. Musim ini, misalnya, angka catatan aksi defensifnya menurun ketimbang musim 2018/19.
Memang ada beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut seperti minimnya menit bermain karena cedera serta pergantian pelatih yang dilakukan Leipzig. Seperti kita ketahui, di musim 2018/19 itu, Leizpig masih ditangani Ralf Rangnick, orang yang tahu betul cara memaksimalkan potensi Konate.
Yang kedua, dan yang akan jadi perhatian besar Liverpool ketika memutuskan merekrut Konate, adalah soal distribusi. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Konate lebih memilih dribel sebagai aksi progresinya. Itu dilakukan karena distribusi bola Konate bisa dikatakan tak cukup bagus, terutama soal bola-bola panjang.
Smarterscout memberinya ponten 25 dalam soal umpan dengan jarak 10-20 meter dan ponten 10 dalam soal umpan dengan jarak lebih dari 10 meter. Jika kemudian kita bandingkan dengan catatan Matip, Gomez, atau Van Dijk, angka Konate buruk sekali.
Sebagai gambaran, ponten ketiga bek Liverpool di kategori pertama angkanya sudah lebih dari 75 dan ponten di kategori kedua angkanya lebih dari 60 (Matip punya ponten paling kecil dengan angka 61). Liverpool memang merupakan tim yang membutuhkan bek dengan kemampuan distribusi bola di atas rata-rata.
Kalaupun kita melihat angka statistik, bukan ponten, catatan Konate memang lebih buruk ketimbang tiga nama tadi. Rasio presentase umpan sukses Konate, misalnya, baru menyentuh angka 83,3% per 90 menit musim ini. Sementara catatan Van Dijk dan Gomez bahkan sudah menyentuh 90%, dan Matip ada di angka 88%.
Jika didedah per kategori (umpan pendek, medium, dan panjang), catatan Konate juga selalu jadi yang paling buncit. Bahkan, untuk kategori umpan panjang, Konate cuma punya rasio sukses sebesar 58,2%. Sementara tiga bek Liverpool itu punya angka di atas 70%. Bahkan catatan Kabak yang baru bergabung saja sudah menyentuh 72%.
Catatan Konate itu jelas perlu diperbaiki oleh Juergen Klopp dan tim pelatih Liverpool jika dia benar-benar direkrut. Sebab, pemain yang punya klausul pelepasan 40 juta euro itu memang punya potensi, tapi jelas perlu dimatangkan.
Jika Liverpool berhasil memperbaiki catatan tersebut (dan membuatnya tetap konsisten), Konate berpeluang menjadi Matip baru dan, ketika menengok Fbref dan Smarterscout, dia berpeluang menjadi seperti Diego Godin, Inigo Martinez-nya Athletic, atau Wesley Fofana-nya Leicester karena tipikal yang mirip-mirip.
***
Kabarnya, Juergen Klopp sampai harus terbang ke Jerman untuk mendengarkan opini dari beberapa pihak tentang bek tengah mana yang pantas dia rekrut. Kala itu, selain Konate, ada nama Upamecano juga yang jadi opsi.
Klopp ingin tahu siapa yang lebih baik, lebih cocok dengan Liverpool, dan lebih pas bermain di Premier League. Dari surveinya itu, dia mendapat jawaban bahwa dua nama di atas sama-sama layak untuk dibeli dan sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Upamecano kemudian lebih memilih bergabung ke Bayern, Klopp tahu ada satu nama yang tak boleh lepas dari genggamannya.
Mengetahui ini, saya curiga bahwa satu orang yang dia minta opininya adalah Ralf Rangnick.