Menembus Batas seperti Szoboszlai

Foto: szoboszlaidominik

Saat pesepak bola Hongaria mekar di tangan rezim, Szoboszlai dan ayahnya mengambil jalan yang tak lazim. Justru dari sana ia tumbuh menjadi pemain paling menjanjikan di seantero negerinya.

Sobekan kertas ditemukan sebuah restoran di Hotel Brera, Milan, 2019 silam. Bukan serpihan kertas biasa karena itu ada di atas meja Direktur Sepak Bola Juventus, Fabio Paratici.

Benar saja, setelah disusun kembali, kertas yang terurai itu berisi rencana transfer 'Si Nyonya Tua' dalam waktu dekat. Terpampang nama pemain berdasarkan klasifikasi umur serta harga transfernya. Ada Sergej Milinkovic-Savic, Mattia Zennaro, Nicolo Zaniolo, Merih Demiral, Cristian Romero, dan Federico Chiesa. 

Yang menarik perhatian bukan cuma karena Juventus betulan merekrut 3 pemain yang disebut belakangan, tetapi satu nama “asing” yang tertulis di sana: Dominik Szoboszlai.

***

Sepak bola sudah merasuki Szoboszlai sejak dini. Ayahnya, Zsolt, adalah pemain profesional dan pernah bermain di level teratas sepak bola Hongaria. Tak jarang ia mengajak anaknya untuk melihatnya tampil di lapangan.

"Dominik sudah kuberi bola ketika mulai bisa berjalan,” kenang Zsolt tentang putranya. "Dia juga datang menonton pertandinganku dan terlihat gembira.”

Selepas pensiun, Zsolt beralih profesi menjadi pelatih tim muda Videoton, sebuah klub di kota Szekesfehervar—sekitar 60 kilometer dari Budapest. Namun, itu tak berjalan lama. Videton memecatnya lalu Zsolt mengambil langkah ekstrem: Mendirikan klub sendiri, Fonix Gold. Membangun sebuah klub sama artinya dengan membangun masalah-masalah baru. Lebih-lebih lagi jika kamu berada di Hongaria.

Sejak berkuasa pada 2010, rezim Viktor Orban telah menggelontorkan miliaran dolar untuk olahraga dan mendorong berbagai perusahaan untuk menyuntikkan dana ke klub sepak bola. Stadion baru dan fasilitas pelatihan pun masif dibangun di seantero negeri. Di lain sisi, kebijakan Orban juga menuai kritik karena hanya mendukung orang-orang terdekatnya. Ada bumbu kepentingan, bukan murni dari potensi dan kemampuan.

Salah satu yang menjadi sorotan, ya, Bence Deutsch. Ia adalah anak Tomasz Deutsch, salah satu petinggi Partai Fidesz yang identik dengan Orban. Kedekatan itu melicinkan Deutsch untuk bergabung dengan MTK Budapest pada 2012. Namun, kemampuan tak pernah bohong. Deutsch gagal bersaing dan akhirnya terbuang ke klub level dua Hongaria, BFC Siofok.

Zsolt mafhum betul soal kronisme terjadi di negerinya. Ia sadar Fonix tak akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Saking minimnya fasilitas, mereka terkadang harus melakukan perjalanan dari Szekesfehervar ke ibukota untuk berlatih di tempat MTK Budapest.

“Di saat yang bersamaan, klub yang disukai pemerintah mendapatkan lusinan tempat latihan baru dalam beberapa tahun terakhir. Anda dapat melihat bagaimana prioritas ditetapkan,” kata Bence Javor, pakar korupsi di Transparency International, kepada DW.

Foto: @melihtota

Berbagai keterbatasan itu tak membuat Zsolt patah arang. Sebaliknya, ia menggunakannya sebagai pembuktian. Dari Fonix ini Zsolt bisa leluasa mengembangkan potensi Szoboszlai dengan tangannya sendiri.

Gym klub itu berada di tengah-tengah distrik pabrik. Di sana Szoboszlai dan pemain muda lainnya ditempa kurikulum Zsolt yang menitikberatkan kepada teknik. Menurutnya, pendekatan itu lebih memudahkan mereka untuk hanyut dalam permainan.

Hasilnya tak sia-sia. Szoboszlai cs. berhasil menjadi kampiun Cordial Cup dua kali (2011 dan 2013). Mereka mengalahkan tim-tim kondang macam Bayern Muenchen, Norwich City, FC Basel, dan Red Bull Salzburg.

Sejak saat itu Fonix mulai mendapat atensi dari para pencari bakat. Beberapa lulusannya digaet klub-klub elite Hongaria dan melanjutkan studi di akademi luar negeri. Sementara Szoboszlai, memilih Red Bull Salzburg sebagai destinasi selanjutnya.

“Dia datang ke FC Red Bull Salzburg sebagai pemain yang masih sangat muda,” ujar Christoph Freund kepada First Time Finish. Direktur olahraga Salzburg itu menambahkan, “Pada saat itu, dia penuh dengan bakat dan kepercayaan diri yang tinggi.”

Salzburg jelas berbeda dengan Fonix. Mereka adalah raksasa Austria yang memiliki banyak pemain berbakat. Itulah kenapa Salzburg menggembleng Szoboszlai terlebih dahulu di FC Liefering, klub afiliasi mereka yang mentas di level dua Liga Austria. Dengan begitu ia bisa mendapatkan jam terbang lebih.

Bagi Szoboszlai, proses adalah karib. Sedari kecil ia sudah terbiasa bekerja keras untuk menggapai cita-citanya sebagai pesepak bola hebat. Dalam sehari ia bisa berlatih tendangan bebas 100 hingga 200 kali. “Ketika anak-anak lain bersenang-senang dengan pergi ke bioskop, aku berada di lapangan untuk berlatih,” kenangnya.

Szoboszlai menjalani musim pertamanya dengan mengesankan. Ia mencetak 10 gol dari 33 penampilan bersama Liefering. Semua itu dilakukannya di usia yang baru 17 tahun. Semusim setelahnya, Salzburg memboyong Szoboszlai ke tim utama. Dari situ segalanya tercipta.

Tujuh gelar diraih Szoboszlai bersama Salzburg. Titel pemain terbaik Liga Austria dan olahragawan terbaik Hongaria juga ia sabet. Selama periode itu pula Szoboszlai mencicipi level teratas sepak bola dengan mentas di Liga Champions serta tampil untuk Timnas Hongaria.

***

Szoboszlai adalah tipikal gelandang serang modern: Kemampuan playmaking dan athleticism dalam sepaket. Area operasinya juga tak saklek. Ia bisa beroperasi dari tepi dan tiba-tiba muncul melalui area sentral.

Ini juga berkelindan dengan skema Jesse Marsch di Salzburg. Ia menganut pakem dasar 4-2-2-2 dengan gelandang serang sebagai penyokong dua striker. Mereka diinstruksikan untuk merotasi posisi sesuai kebutuhan. Ada kalanya menyisir tepi dan merangsek half-space. Di lain waktu gelandang serang juga dilegalkan untuk bergerak ke tengah—guna menciptakan overload dan memanfaatkan peluang dari lini kedua.

“Kami biasanya menggunakan dia sebagai nomor 10 di sisi kiri meski dia juga bisa memainkan peran serupa di tengah. Dia mampu bermain sebagai nomor 10 di kanan serta mengemban peran pemain nomor 8,” terang Marsch kepada The Athletic

Pada periode 2019/20, dari total 1.682 menit pementasan, Szoboszlai menghabiskan 61% di antaranya sebagai pemain sayap kiri. Sementara beberapa sisanya beroperasi di sektor sayap kanan, gelandang serang, serta gelandang tengah.

Tak sukar buat Szoboszlai untuk mengemban berbagai peran itu. Selain kenyang digembleng latihan teknik oleh sang ayah, ia juga sempat mendapatkan latihan fisik dari Shane Tusup. Tusup ini bukan orang sembarangan. Ia adalah pelatih renang yang sukses meraih 3 emas di Oilimpade.

“Dia sangat bugar; jadi apa pun tuntutan fisik yang Anda berikan padanya, dia dapat memenuhi itu karena dia selalu dalam kondisi bugar, selain kuat, cepat, dan atletis,” imbuh Marsch.


Setelah empat tahun bermandi gelar di Salzburg, Szoboszlai kemudian menuju kompetisi yang lebih elite, Bundesliga. RasenBallsport Leipzig yang menjadi pilihannya. Tak heran, sih, selama empat tahun ke belakang Salzburg sudah mengimpor Naby Keita, Dayot Upamecano, Konrad Laimer, dan Hwang Hee-chan ke sana.

Szoboszlai ditebus dengan mahar 20 juta euro. Jumlah itu menjadi yang tertinggi untuk pemain Hongaria. Apes, Szoboszlai justru mengalami cedera sebelum benar-benar menunjukkan eksistensinya. Ia mengalami masalah adduktor dan mesti absen hingga akhir musim 2020/21. Bukan hanya gagal menikmati debut di Leipzig, tetapi juga melewatkan Euro bersama Timnas Hongaria.

Semuanya seakan tak selaras dengan pengorbanan yang sudah dilalui Szoboszlai. Namun, masa kelam itu telah tandas. Sepasang golnya ke gawang Stuttgart di pekan kedua Bundesliga menjadi genderang setelah 224 hari terkungkung dalam kesunyian. Pada 20 Agustus itu, Szoboszlai menjadi bintang pada laga perdananya di Bundesliga.

“Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku setelah tujuh bulan absen. Butuh kerja keras untuk bisa kembali bangkit. Aku sangat percaya akan hal itu dan puas dengan penampilan ini,” ucapnya.

Semesta seolah mendukung Szoboszlai untuk bangkit. Mulai dari kedatangan Marsch, eks pelatihnya di Salzburg, sebagai pengganti Julian Nagelsmann. Kemudian kepergian Marcel Sabitzer ke Bayern Muenchen yang kian memberinya ruang sebagai bintang masa depan Leipzig.

Musim 2021/22 ini menjadi babak baru buat Szoboszlai untuk membalas tujuh bulan yang terbuang. Sambil, tentu saja, meneruskan cita-cita yang ia bangun bersama ayahnya: Membawa harum nama Hongaria di sepak bola Eropa.