Mengapa Slot?
Slot bukan pengganti Klopp. Ia hanya pelatih baru Liverpool. Namun, pada akhirnya, mengapa ia yang dipilih?
Jürgen Klopp tak akan pernah tergantikan. Liverpool bisa saja menunjuk siapa pun sebagai pengganti, tapi Klopp akan selamanya terpatri sebagai salah satu yang terbaik, terhebat yang pernah menangani klub. Buat saya, ia setara Bill Shankly dan Bob Paisley. Ia ada di atas sana.
Ketika klub kemudian menunjuk Arne Slot, saya tahu bahwa ia bukan pengganti Klopp. Ia hanya pelatih baru Liverpool. Kenapa demikian? Alasannya, yang berkaitan dengan cara klub memandang operasi mereka dalam sektor sepak bola ini, saya jelaskan di utas ini (yang barangkali sudah lebih dulu kalian baca sebelum tiba di sini).
Klopp memang tak hanya menjadi pelatih di Liverpool. Ia adalah manajer klub. Ia tak hanya punya wewenang untuk meracik strategi, menyiapkan taktik, memilih dan mengembangkan pemain untuk berlaga dari satu pertandingan ke pertandingan lain. Namun, ia juga memberi garis besar tentang seperti apa klub ini main, tentang siapa yang klub ini mau beli, tentang pemain mana yang akan diperpanjang kontraknya atau dijual, tentang staf mana saja yang perlu direkrut untuk menunjang performa pasukannya di lapangan.
Tugasnya banyak dan tak heran, sebagai manusia, ia kehabisan energi menjalankan itu semua. Memang dalam tugas perihal transfer atau mengatur kontrak pemain ia juga dibantu oleh Direktur Teknik (Michael Edwards, Julian Ward, dan kemudian Jörg Schmadtke), tapi seiring power yang semakin besar Klopp memegang kendali atas kerja-kerja tersebut.
Slot, sementara itu, tidak demikian. Ia hanya akan jadi pelatih kepala Liverpool. Tugasnya hanya berhubungan dengan tim, taktik, strategi—segala hal yang terjadi di lapangan. Tentu ia akan dilibatkan dalam hal transfer atau kontrak pemain, tapi sifatnya hanyalah berbagi pandangan, bukan pengambilan keputusan. Soal keputusan, semua akan dikomandoi Edwards—yang sekarang berstatus sebagai Kepala Departemen Sepak Bola FSG.
Karena itu, ketika mencari pelatih baru buat Liverpool, Edwards dan tim tak repot-repot mengulik soal kemampuan negosiasi atau scouting. Mereka hanya fokus soal bagaimana taktik atau strategi dari pelatih tersebut—apakah tim yang ia latih memiliki tiga kriteria ini: dinamis, bernergi, dan memiliki intensitas tinggi. Terdengar Liverpool sekali, bukan?
Feyenoord-nya Slot, bisa dibilang, hampir memiliki itu semua. Setidaknya itu yang saya lihat dari menonton pertandingan-pertandingan Feyenoord (jujur, sampai bosan dan muak). Sebelum saya menjelaskan, saya ingin kasih bocoran kepada fans Liverpool yang lainnya: Menonton Feyenoord-nya Slot bermain itu seperti menonton Liverpool bermain di fase-fase awal piala domestik tanpa Trent Alexander-Arnold dan pemain-pemain utama lainnya. Mereka punya plan yang jelas, tapi eksekusinya terkadang bikin frustrasi.
Soal eksekusi, itu memang bergantung pada kualitas pemain. Dengan pemain yang kualitasnya jauh dari apa yang dimiliki sebelumnya, eksekusi tim Slot di atas lapangan jelas bisa terlihat jauh lebih baik pula. Yang jelas, Slot punya ide.
Pertama, dari cara timnya membangun serangan. Pada fase ini, Slot sebenarnya lebih terlihat seperti pengikut Roberto de Zerbi. Bek tengahnya sering men-delay build-up untuk memancing lawan melakukan pressing—ketika lawan mendekat baru bola diumpan ke depan. Feyenoord juga, belakangan, lebih suka melakukan build-up dengan empat sampai enam pemain. Selain ada bek tengah, dua gelandang tengah juga akan menjadi opsi, pun dengan full-back.
Biasanya, bek tengah akan mengirim umpan ke gelandang tengah dan dari situ bola segera diarahkan ke depan. Seringnya opsi yang diambil adalah umpan diagonal ke arah tepi. Buat fans Liverpool, ini terlihat seperti Van Dijk yang acap melepas umpan lambung ke arah Mohamed Salah atau Alexander-Arnold di kanan-depan. Di Feyenoord sendiri, tepi atau kelebaran umumnya dijaga oleh full-back alih-alih gelandang sayap. Inilah salah satu alasan mengapa saya bilang menonton mereka seperti menonton Liverpool main tanpa Alexander-Arnold (alias dengan Connor Bradley yang lebih suka overlap).
Gelandang sayap (karena Feyenoord bermain dengan pola dasar 4-2-3-1) sendiri akan bermain narrow, mengapit penyerang tengah (dan acap juga gelandang nomor 10). Slot sendiri merupakan pelatih yang berada dalam kategori sistematis atau posisional. Jadi, di depan, lima sampai enam pemainnya terlihat seperti di sistem Klopp atau Guardiola: Berdiri mengisi tiap-tiap koridor lapangan (half-space, flank, tengah).
Ketika bola sampai di sayap, Feyenoord biasanya akan melakukan dua hal ini: cut-back atau biarkan pemain berkreasi dengan aksi individu untuk menciptakan peluang. Soal kedua, ini tercermin dari statistik, bagaimana pada musim lalu mereka mencatatkan rerata 22,8 percobaan melewati lawan per 90 menit. Sebagai catatan, Liverpool hanya memiliki catatan 19,4 untuk statistik yang sama.
Ini pula yang menurut saya menjadi kekurangan timnya Slot. Sebab dalam fase menyerang atau menciptakan peluang, ia acap bergantung pada kemampuan individu pemainnya. Dalam beberapa situasi, hal ini memang tak jadi soal. Namun, ini juga menunjukkan bahwa Slot harusnya bisa menciptakan lebih banyak variasi atau model menyerang dalam sesi latihannya. Sebab, ketika individu terkunci, kemungkinan serangan akan pampat jadi besar.
Bila melihat ke fase out-of-possession, Feyenoord-nya Slot lagi-lagi memiliki kesamaan dengan Liverpool. Kesamaan itu ada pada pilihan pressing mereka. Feyenoord dan Liverpool sama-sama akan mengarahkan build-up atau serangan lawan ke tepi, kemudian melancarkan pressing intens di area tersebut dengan tujuan membuat bola keluar lapangan atau bikin lawan cepat-cepat melepas umpan jauh ke depan.
Saat lawan memilih menyerang via tengah, Feyenoord sendiri akan membuat shape mereka narrow, mempersempit ruang, sehingga mau tak mau lawan dipaksa memakai jalur samping. Dan cara menjebak lawan di samping dengan pressing terbukti cukup efektif untuk menghentikan serangan—atau setidaknya bikin lawan kesulitan masuk ke kotak penalti.
Sebagai catatan, pada Eredivisie musim kemarin, lawan hanya mampu menyentuh bola rata-rata 11,5 kali di kotak penalti Feyenoord. Tak cuma itu, lawan juga butuh rerata 12,4 sentuhan di sepertiga akhir plus kotak penalti Feyenoord sebelum mampu melepas satu tembakan. Untuk perbandingan, lawan hanya butuh 11,4 sentuhan untuk mampu menembak ke gawang Ajax. Artinya, pertahanan Feyenoord di bawah Slot sulit dibongkar, ruang tembak sulit ditemukan.
Cara bertahan yang berenergi dengan mengandalkan pressing inilah yang membuat FSG juga menjadi yakin dengan Slot, sebab memang ada benang merah yang sama di antara Feyenoord dan Liverpool. Terlebih pressing yang dijalankan Feyenoord juga tak hanya efektif pada fase bertahan, tapi juga bisa menjadi senjata untuk menyerang. Ini tercermin pada musim lalu di mana Feyenoord mampu menciptakan 11 gol (tertinggi di Eredivisie) dari proses high turnovers (rangkaian serangan yang dimulai pada jarak 40 meter atau kurang dari gawang lawan).
Namun, pada fase tanpa penguasaan bola ini, Feyenoord-nya Slot juga memiliki kelemahan. Karena biasanya Feyenoord fokus menjebak lawan pada sebuah sisi, mereka akan rentan terekspos bila lawan mampu melakukan switch untuk menyerang via sisi yang lain. Akan selalu ada ruang kosong di sana. Selain itu, celah di antara pemain juga bisa dengan mudah dimanfaatkan lawan. Rest defence dari Feyenoord juga kurang kukuh—dan ini yang harus Slot perbaiki ketika jadi pelatih Liverpool nanti.
Yang jelas, secara keseluruhan Slot memang mencontreng tiga kriteria yang diinginkan Edwards cs. untuk menjadi pelatih baru Liverpool: Feyenoord-nya berenergi dan memiliki intensitas tinggi dalam melakukan pressing pada fase tanpa penguasaan bola. Feyenoord juga cukup dinamis, meski dinamisme ini harus ditingkatkan via lebih banyak variasi dalam fase menyerang.
Pemenuhan tiga kriteria ini yang kemudian membuat Slot terpilih. Yang membuatnya menjadi orang yang akan melakukan satu dari sekian banyak tugas Klopp di Liverpool: Menyiapkan taktik, strategi, tim untuk pertandingan. Juga untuk menyiapkan menu-menu latihan. Slot yang memiliki benang merah pada Klopp soal ini, yang diyakini tak akan membuat adaptasi dengan skuad Liverpool sekarang berlangsung lama—sesuatu yang membuat nama seperti Ruben Amorim atau Roberto de Zerbi tak dipilih.
Edwards tengah melakukan apa yang Billy Bean lakukan ketika ia dan para pemandu bakat Oakland Athletics berdiskusi soal pengganti Jason Giambi (first baseman andalan Atheltics), bahwa aset besar (dalam hal ini Klopp) yang pergi tak akan bisa digantikan. Yang ada, seperti saran Bean, adalah coba “menciptakan ulang” aset tersebut dengan mencari aset lain yang setidaknya memiliki satu kemampuan sama—dan yang terpenting dalam lis kebutuhan klub.
Dalam konteks Liverpool, Edwards tak mencari pelatih yang bisa melakukan semua yang bisa dilakukan Klopp. Ia hanya mencari pelatih yang, secara taktik dan strategi, dinilai paling bisa menggantikan Klopp—dengan kemiripan tinggi, proses adaptasi buat tim minim. Satu hal dari sekian banyak. Sebab Edwards tau ia tak mampu menemukan Klopp baru. Namun, setidaknya ia bisa, mengutip Beane, “recreate him in the aggregate.”