Mengapresiasi Long Ball

Sean Dyche, salah satu pelatih yang gemar menerapkan long ball (kiri), pada sebuah pertandingan Premier League. Foto: Wikimedia Commons.

Long ball semestinya bisa menjadi senjata mematikan alih-alih dipandang sebagai kjokkenmoddinger dari zaman primitif.

Michael Carrick mengisi lini tengah Manchester United seperti seorang phantom. Ia seolah-olah tak kasat mata, tetapi kehadirannya amat terasa.

Semua yang mendukung United tahu betapa pentingnya Carrick sekalipun ia bukan protagonis utama. Ia tidak memberondong gawang lawan seperti Cristiano Ronaldo atau Wayne Rooney, tidak pula menavigasi serangan seperti Paul Scholes. Ia tidak punya determinasi meluap-luap seperti halnya Roy Keane, tidak juga berteriak-teriak menunjukkan loyalitas selayaknya Gary Neville.

Carrick adalah keseimbangan lini tengah United. Tanpanya kinerja lini serang United bakal lebih sulit. Kehadiran Carrick sebagai holding midfielder memungkinkan United untuk memangkas serangan lawan yang datang dari tengah sekaligus melancarkan serangan dari kedalaman.

Sebagai holding midfielder, Carrick melakoni aksi defensif dengan amat halus. Ia jarang betul melakukan tekel atau merebut bola dengan mengandalkan kekuatan. Alih-alih begitu, ia lebih memilih untuk bergerak satu-dua langkah secara pelan-pelan untuk menutup ruang dan jalur operan lawan.

Kemampuan seperti itu, tentu saja, tidak didapatkan dengan mudah. Seorang pemain seperti Carrick mesti memiliki kecakapan dalam membaca arah permainan lawan dan kedisiplinan dalam penempatan posisi. Dengan begitu, alih-alih melakoni aksi defensif dengan kekuatan, Carrick memilih melakukannya dengan efisien dan efektif.

Namun, membicarakan Carrick bukan hanya membicarakan kemampuan dan aspek defensifnya. Ada alasan mengapa para pendukung United menyanyikan chant untuknya dan menyama-nyamakannya dengan Scholes. Carrick adalah salah satu pelepas operan terbaik yang pernah dilahirkan Inggris dan oleh karena itu, United mampu membangun serangan dari kedalaman ataupun bermain direct.

Carrick bisa melepas operan pendek dan operan panjang dengan sama baiknya. Operan pendeknya memungkinkan United melakukan sirkulasi bola dan membangun serangan secara pelan-pelan. Sementara, operan panjangnya memungkinkan United untuk melakukan progresi dan memukul lawan manakala ada ruang terbuka di lini pertahanan mereka.

Contoh terbaik dari bagaimana Carrick melepaskan operan panjang dengan timing yang tepat dan tanpa banyak basa-basi ada pada pertandingan melawan Bolton Wanderers, 28 Oktober 2006. Pertandingan itu sendiri selamanya diingat sebagai hari di mana Rooney mencetak hattrick sebagai kado ulang tahun untuk dirinya sendiri, waktu itu dia baru empat hari merayakan ulang tahunnya yang ke-21.

Lihat bagaimana proses gol pertama Rooney, maka kamu akan tahu betapa cepatnya Carrick berpikir untuk melepas operan. Ketika bola dikuasai di sisi kanan, Carrick buru-buru meminta bola. Dengan menggerak-gerakkan tangan ke arah dirinya sendiri, Carrick memberikan gesture supaya bola cepat-cepat diberikan kepada dirinya.

Pada momen itu, ia melihat ada sebuah celah di area tengah pertahanan Bolton—dan para pemain bertahan The Trotters belum menyadarinya. Pada saat bersamaan pula, Rooney mulai naik dari second line, berlari lurus untuk menyasar ruang itu. Dengan satu sentuhan, Carrick mengirim operan panjang yang melambung melewati beberapa pemain sekaligus. Operan yang ia kirimkan mendarat tepat di depan Rooney, yang langsung melepaskan sepakan setengah voli dengan kaki kirinya.

Jika sepak bola modern adalah perkara memanfaatkan ruang dan waktu (timing), semestinya operan panjang (long ball) bisa menjadi senjata mematikan. Namun, seringkali operan panjang justru dipandang sebelah mata.

***

Ketika dunia sepak bola terpukau dengan gaya juego de posicion yang diperagakan Pep Guardiola dan Barcelona-nya, mereka seolah tak ingin mengenal gaya main bola lainnya.

Permainan juego de posicion (sering disalahartikan sebagai tiki-taka), yang lengkap dengan penitikberatan pada ball possession dan positional play itu, akhirnya dianggap sebagai sebenar-benarnya sepak bola.

Long ball pun dianggap sebagai paria dan permainan primitif yang sebaiknya ditinggalkan saja. Padahal, tidak ada satu pun gaya main sepak bola yang betul-betul sahih dan dianggap paling benar. Bahkan possession football saja bisa dinterpretasikan berbeda-beda.

Guardiola, misalnya, menggunakan possession untuk membuka ruang, bukan sekadar operan-operan pendek tanpa juntrungan. Sementara, Ajax-nya Erik ten Hag menggunakan possession untuk melakukan progresi serangan ke depan secepat mungkin. Yang satu memilih sabar dalam melakukan build-up, yang lainnya lebih direct.

Long ball, sementara itu, dianggap sebagai seni yang sudah kedaluwarsa. Praktiknya sama usangnya dengan kick and rush yang bermodalkan lari sekencang-kencangnya dan tendang sekeras-kerasnya. Kalaupun long ball masih berkeliaran di sepak bola modern, biasanya ia diidentikkan dengan tim-tim medioker lengkap dengan manajer-manajer yang sebaiknya melatih dinosaurus saja.

Sam Allardyce dan Tony Pulis adalah contohnya. Berulang-ulang menangani tim semenjana di Premier League, keduanya tak malu menggunakan long ball sebagai aplikasi atas permainan direct mereka. Selain ditujukan untuk para target man di depan, long ball keduanya juga digunakan untuk mendapatkan second ball ketika bola jatuh.

West Bromwich Albion yang ditangani Allardyce tercatat sebagai salah satu klub yang cukup sering melepaskan long ball pada Premier League 2020/21. Sampai pekan ke-31, West Brom tercatat sudah 1.946 kali melepaskan long ball. Dalam kurun waktu yang sama, mereka hanya kalah dari Burnley (2.348) dan Newcastle United (2.008).

Sama seperti halnya tim-tim yang mengandalkan ball possession, pengaplikasikan long ball juga berbeda-beda. Jika Allardyce dan Pulis terbilang ortodoks, lain halnya dengan Sean Dyche. Burnley-nya sampai sejauh musim 2020/21 berjalan merupakan tim dengan jumlah long ball terbanyak.

Tim Premier League dengan jumlah long ball terbanyak sampai pekan ke-31 musim 2020/21. Sumber: Situs Premier League.

Dyche biasa menyusun timnya dengan formasi 4-4-1-1, lengkap dengan garis pertahanan rendah (low block). Filosofinya adalah sesedikit mungkin menyentuh bola ketika membangun serangan dan sesegera mungkin mengirim bola ke depan. Untuk menerapkan filosofinya itu, ia kemudian memilih long ball sebagai alatnya.

Oleh karena itu, Dyche membutuhkan pemain-pemain belakang dan pemain-pemain tengah yang bisa mengirim operan panjang secara akurat, bukan pemain-pemain yang suka asal buang bola ke depan. Untuk melengkapinya, ia juga memasang pemain-pemain depan yang punya kecepatan dan klinis. Tujuannya bukan sekadar menjadi finisher atau target man, tetapi juga untuk mengejar operan-operan panjang yang dilepaskan ke ruang kosong.

Jangan heran jika pemain seperti Danny Ings pernah begitu moncer bersama Burnley. Selain klinis, Ings  punya kecepatan, dinamis, gemar melakukan pressing, dan punya work rate yang bagus.

Jika Dyche dianggap masih belum cukup, lihat bagaimana Zinedine Zidane dan Ole Gunnar Solskjaer menggunakan long ball sebagai salah satu cara untuk mencetak gol. Keduanya memang bukan penganut paham long ball yang taat—Manchester United-nya Solskjaer ada di urutan ke-19 dalam hal jumlah operan long ball—tetapi tim keduanya sama-sama bermain dengan gaya direct.

Zidane pernah beberapa kali menggunakan long ball untuk mem-by pass lini tengah lawan, salah satunya Barcelona. Zidane memiliki pemain-pemain yang mampu melepas operan—entah panjang atau pendek—dengan jitu. Salah satunya Toni Kroos. Kemampuan gelandang semodel Kroos lantas dilengkapi oleh pemain-pemain depan yang klinis seperti Karim Benzema dan yang memiliki kecepatan seperti Vinicius Junior.

Pada laga melawan Liverpool di leg I perempat final Liga Champions, long ball menjadi salah satu senjata Real Madrid-nya Zidane untuk mencetak gol. Pada skema gol pertama Los Blancos, Kroos mengirimkan long ball dari defensive third Madrid kepada Vinicius yang bergerak dari lini kedua.

Proses gol Vinicius dengan Kroos melepaskan long ball dari belakang.

Gol tersebut bisa tercipta karena dua alasan. Pertama, karena tidak ada yang melakukan pressing terhadap Kroos sehingga ia leluasa melepaskan operan. Kedua, karena garis pertahanan Liverpool naik begitu tinggi, padahal jika sebuah tim tidak menerapkan pressing kepada lawan yang sedang menguasai bola, mereka harus siap-siap untuk menurunkan garis pertahanan. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi long ball dari tim yang sedang menguasai bola.

Sehari setelah aksi Kroos dan Vinicius itu, United memeragakannya lewat Victor Lindeloef dan Marcus Rashford ketika United bertanding melawan Granada pada leg I perempat final Liga Europa. Skemanya nyaris sama: Garis pertahanan Granada naik begitu tinggi dan tidak ada yang melakukan pressing kepada Lindeloef. Hasilnya, bek asal Swedia itu leluasa melepaskan long ball kepada Rashford dan pemain internasional Inggris itu sukses mencetak gol.

Proses gol Rashford dengan Lindeloef mengirim bola dari lini belakang.

Melihat apa yang dilakukan Kroos, Lindeloef, dan Carrick dulu, long ball semestinya bisa menjadi senjata mematikan, alih-alih dipandang sebagai kjokkenmoddinger dari zaman primitif.

Di kaki pemain-pemain dengan kemampuan melepas operan yang akurat seperti ketiganya, lengkap dengan kemampuan membaca ruang dan posisi, arah pergerakan lawan dan kawan, serta timing melepaskan operan yang tepat, long ball semestinya mendapatkan sedikit pengakuan.

***

Situs statistik WhoScored mendefinisikan long ball sebagai “operan yang dilepaskan dari jarak 25 yard atau lebih”. Oleh karena itu, umpan lob yang dilepaskan dari jarak dekat—misalkan dari luar kotak penalti ke dalam kotak penalti—tidak bisa dikategorikan sebagai long ball.

Sementara itu, situs taktik Spielverlagerung menyebut bahwa long ball bisa terjadi dalam tiga situasi: Dead ball (situasi bola mati), chosen ball (ketika seorang pemain secara sadar dan memiliki waktu memilih melepaskan long ball, seperti yang dilakukan Kroos dan Lindeloef), dan forced ball (ketika seorang pemain yang menguasai bola berada dalam situasi terjepit dan memilih untuk membuang bola sejauh mungkin).

Di antara ketiga situasi tersebut, situasi yang terakhir adalah yang paling merugikan. Biasanya, hal itu dilakukan oleh seorang pemain belakang yang mendapatkan tekanan dari lawan sementara ia tidak memiliki opsi yang cukup untuk mengirim bola ke pemain-pemain terdekat.

Bek Tottenham Hotspur, Davinson Sanchez, belakangan kerap terjebak dalam situasi seperti itu. Ia acap menjadi sasaran lawan karena acap gugup ketika mendapatkan pressing lawan dan menjadikan long ball sebagai satu-satunya jalan keluar.

Tentu saja sekarang tinggal bagaimana kejelian seorang pelatih memanfaatkan long ball: Menggunakannya sebagai sebuah senjata seperti dalam situasi chosen ball dan meminimalkan risiko seperti yang terjadi dalam situasi forced ball.