Mengukur Ekspektasi Lewat xG

Foto: Twitter @Arsenal

Expected Goals (xG) makin sering muncul dalam dunia perstatistikan sepak bola. Apa, sih, xG itu dan bagaimana cara menghitungnya?

Ekspektasi adalah sebuah hal yang relatif. Tidak ada batasan untuk menuai harapan. Itulah mengapa ekspektasi jadi salah satu problem terbesar manusia. Tergantung dari seberapa jauh harapan mereka dengan realitas.

Semakin besar jarak ekspektasi degan kenyataan, semakin besar pula kekecewaan itu muncul. Ya, kekecewaan jelas mimpi buruk buat manusia.

Dalam sepak bola, memenangi pertandingan adalah harapan bagi semua tim. Caranya, ya, dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan.

Eh, tapi, itu 'kan harapannya. Bagaimana kalau mereka gagal bikin gol? Lebih-lebih dengan jumlah peluang yang begitu banyak. Apakah masih layak untuk berharap? Lantas, sedekat apakah harapan itu dengan realitas yang akan terjadi?

Salah satu keresahan inilah yang memicu kelahiran Expected Goals (xG). Model perhitungan statistik ini diperkenalkan oleh OPTA pada medio 2017.

Secara garis besar, xG adalah metode untuk menilai kualitas peluang dan angka harapan gol, apakah benar-benar layak berbuah gol atau tidak. Karena, ya, peluang tak bisa dijauhkan dari yang namanya harapan. Makin banyak peluang yang didapat, makin besar pula harapan yang muncul.

Dari situ bisa ditimbang berapa banyak gol yang mestinya bisa dicetak oleh seorang pemain dengan jumlah peluang itu tadi. Apakah dia merupakan finisher yang mumpuni atau tidak.

Pasalnya, banyaknya torehan gol tak jadi jaminan kalau pemain itu piawai soal penyelesaian akhir. Sebaliknya, minimnya gol bukan berarti sang pemain buruk dalam mengakhiri peluang.



OPTA mengklaim telah menganalisis lebih dari 300 ribu tembakan untuk menghitung kemungkinan peluang berbuah gol. Semuanya meliputi berbagai macam sudut serta fase permainan yang berbeda. Meski, ya, OPTA bukan satu-satunya departemen statistik yang menghitung xG dalam sepak bola.

Berbagai situasi dan kondisi itu lantas jadi tolok ukur kualitas dari peluang itu sendiri. Mulai cara si pemain menembak (lewat kaki atau sundulan kepala), lalu antara jarak pemain dengan gawang, serta sudut di mana si pemain berada.

Kemudian, xG juga diukur dari situasi: Apakah sang pemain berada dalam kondisi satu lawan satu? Bagaimana dia menerima umpan? Dari bola lambung atau mendatar?

xG dihitung dari 0 hingga 1. Kian mendekati angka 1, semakin besar peluang itu (diekspektasikan untuk) berbuah gol. Sebaliknya, semakin rendah nilainya kian tipis pula kans untuk mencetak gol.

Pemain yang mendapatkan bola rebound di mulut gawang akan memiliki skor xG yang lebih tinggi dibanding saat dia melepaskan tembakan dari sudut sempit di luar kotak penalti. Cukup logis, mengingat situasi yang pertama punya kans gol lebih besar dibanding yang kedua.

Sebagai contoh, peluang di depan gawang dinilai 0,91. Artinya persentase kans itu berbuah gol sebesar 91%. Sementara peluang dari luar kotak penalti (sekitar 35 meter) bernilai xG 0,2 atau persentase untuk berbuah golnya cuma cuma 2%.

Ambil contoh blunder fenomenal Aiyegbeni Yakubu saat Nigeria bersua Korea Selatan di Piala Dunia 2010. Dia gagal memanfaatkan peluang emas di depan gawang yang kosong melompong.

Sontekannya malah mengarah ke samping. Padahal, kiper Korea Selatan, Jung Sung-ryong, sudah terlambat buat mengantisipasi umpan yang mengarah ke Yakubu. SciSports, salah satu perusahaan data sepak bola, menilai xG Yakubu mencapai 0,97.

Kemudian ada gol Mohamed Salah ke gawang Chelsea di musim 2018/19. Berdasarkan jarak, sudut tembakan, serta adangan pemain lawan, xG untuk tembakan ini bernilai 0,2.




So, siapa pemain dengan xG terbaik di Premier League sejauh ini? Son Heung-Min jawabannya. Menyitat data Understat, penggawa Tottenham Hotspur itu menjadi pemain terampuh dalam menyelesaikan peluang.

Son sudah mengemas 8 gol sejauh ini. Padahal, xG totalnya dari 7 pertandingan cuma mencapai 3,09. Oh, iya, jumlah xG ini merupakan kalkukasi dari seluruh tembakan Son di Premier League musim 2020/21. 

Mengapa Son jadi yang terbaik? Simpelnya, dia berhasil mencetak 8 gol atau 5 gol lebih banyak dari expected goals-nya (atau angka harapan golnya) yang mencapai 3. Artinya, Son terbilang impresif karena jumlah gol yang ia cetak justru melampaui angka harapan golnya sendiri.

Nah, hal yang berbeda dialami Aleksander Mitrovic. Jumlah golnya justru lebih rendah dari xG-nya. Cuma 2 gol yang berhasil dibuat ujung tombak Fulham tersebut. Padahal, xG Mitrovic mencapai 3,06.

Foto: Understat

Itu 'kan xG per pemain, lalu gimana kalau menilik xG tim keseluruhan di pertandingan?

Duel Manchester United versus Arsenal bisa jadi sampel. Sudah pada tahu 'kan kalau The Gunners yang jadi pemenenangnya lewat skor tipis 1-0. Tapi, kok, United gagal bikin gol? Beneran lini depan mereka tampil seburuk itu?

Mengacu dari data Understat, Arsenal memang lebih unggul soal xG dengan total 1. Bandingkan dengan United yang cuma 0,39. Ingat, itu dari kalkulasi 8 tembakan yang mereka lepaskan sepanjang pertandingan.

Kok bisa? Ya, bisa saja. Wong, United minim peluang berbahaya ke gawang Arsenal. Lagipula setengah dari 8 tembakan Bruno Fernandes cs. berasal dari luar kotak penalti lawan. Terhitung cuma kans Luke Shaw yang punya nilai xG tertinggi. Itu pun cuma menyentuh 0,13. Dengan xG serendah itu, jangan berharap banyak United mampu bikin banyak gol.

Eh, tapi jumlah xG Arsenal juga tak spesial-spesial amat sebenarnya. Cuma dua tembakan yang dilepaskan Arsenal dari dalam kotak penalti United. Mereka 'ketolong' eksekusi penalti Pierre-Emerick Aubameyang yang bernilai 0,76.

Foto: Understat


Well, ekspektasi memang tak ada batasannya. Namun, ada langkah untuk mengukur sedekat apa harapan dengan kenyataan. Ya, lewat xG itu tadi.

Kualitas finishing seorang pemain bisa diukur. Pun dengan performa tim keseluruhan--seperti amburadulnya lini depan United di hadapan Arsenal pekan lalu.

Satu hal lagi, dengan adanya metode xG seperti ini, orang-orang bakal berpikir dua kali buat ngomong, "Masa gitu aja enggak gol?"