Menjadi Kokoh seperti Republik Ceko

Foto: @Fanklubrepre.

Republik Ceko tak punya pemain bintang di Piala Eropa kali ini. Namun, mereka punya cara untuk mengeliminasi lawan-lawannya.

Piala Eropa 1996 adalah sejarah bagi Republik Ceko. Setelah perpisahan Cekoslovakia, yang membuat negara tersebut terpecah menjadi Rep. Ceko dan Slovakia, itu adalah kali pertama mereka tampil di Piala Eropa sebagai Rep. Ceko. Mereka kemudian membuat cerita yang cukup epik pada turnamen sepak bola antarnegara Benua Biru itu.

Perhelatan di tanah orang-orang Inggris itu semestinya menjadi epos yang lain, yakni tentang kepulangan sepak bola ke rumahnya. Inggris, yang sudah lama tidak meraih trofi turnamen internasional setelah Piala Dunia 1966, selalu menganggap bahwa mereka ibunya permainan si kulit bulat. Oleh karena itu, apa yang lebih cocok selain menyaksikan kepulangan sepak bola itu di tanahnya sendiri?

Namun, alih-alih tenggelam dalam pesta yang sudah mereka harap-harapkan, keinginan menyaksikan sepak bola pulang ke rumah itu cuma jadi angan-angan belaka. Jerman, yang selalu Inggris anggap sebagai musuh bebuyutan, justru tampil sebagai juara. Tim lain yang menjadi kejutan adalah Rep. Ceko, lawan yang Jerman kalahkan lewat golden goal pada partai puncak.

Itu bukan pertama kalinya Rep. Ceko tampil di final Piala Eropa. Malah, sejarah mencatat bahwa mereka pernah menjadi juara pada 1976 ketika masih tergabung dalam Cekoslovakia. Mereka tampil sebagai kampiun dengan Antonin Panenka menjadi buah bibir. Tendangan penalti pada babak tos-tosan melawan Jerman Barat ikonik hingga sekarang. Tendangannya tak keras, tetapi bisa menipu penjaga gawang.

Itulah terakhir kali Cekoslovakia menjadi juara. Setelahnya, mereka sekali finis di posisi ketiga. Lalu, tak ikut di tiga edisi berikutnya.

Sampai di Piala Eropa 1996 yang digelar di Inggris, Ceko menjadi kuda hitam. Pemain-pemain yang mereka bawa merupakan pemain-pemain potensial yang siap menggebrak. Diarsiteki Dusan Uhrin, Ceko berisikan pemain-pemain menjanjikan dalam diri Pavel Nedved, Karel Poborsky, Patrik Berger, hingga Vladimir Smicer. Dengan modal itu, Ceko bisa melaju ke babak final.

Ada unsur keberuntungan yang menaungi Ceko hingga ke babak final. Di fase grup, mereka cuma sekali menang dan sekali imbang hingga bisa lolos. Satu pertandingan lainnya berakhir dengan kekalahan.

Lalu, dengan penampilan yang mengedepankan pertahanan, Ceko berhasil mempertahankan diri di babak perempat final dan semifinal. Expected goals mereka pada kedua fase itu tak sampai 0,7. Melawan Portugal di perempat final, mereka menang 1-0. Lalu, pada babak semifinal, Ceko menang adu penalti melawan Prancis usai bermain imbang 0-0 selama 120 menit.

Sayangnya, pertahanan yang rapat tak mereka bisa hadirkan di partai puncak. Dua gol Oliver Bierhoff membalas satu sepakan penalti Patrik Berger. Harapan juara di depan mata pun sirna. Ceko gagal mengulang cerita pada 1976, yang uniknya juga digelar negara yang di kemudian hari bakal pecah, Yugoslavia.

Harapan Ceko meraih juara sebenarnya membuncah pada Piala Eropa 2004. Bagaimana tidak? Ceko saat itu diisi oleh perpaduan pemain senior dan junior yang apik. Tomas Galasek, Pavel Nedved, Karel Poborsky belum tua-tua amat untuk membimbing anak-anak muda seperti Petr Cech (22 Tahun), Tomas Rosicky (23 Tahun), hingga Milan Baros (22 Tahun).

Pada fase grup, Ceko yang berada satu grup dengan Belanda dan Jerman berhasil keluar sebagai pemuncak klasemen. Sayangnya, kisah mereka terhenti di babak semifinal. Ceko, yang sampai babak perempat final membuat 10 gol, tak bisa menembus pertahanan ketat Yunani. Apesnya, mereka kudu kebobolan di extra time.

Mimpi menjadi juara gagal. Satu hal yang bisa dibanggakan Ceko di Piala Eropa 2004 ialah Milan Baros yang keluar sebagai pencetak gol terbanyak. Total, ada lima gol yang dibuat oleh pemain yang saat itu tengah membela Liverpool tersebut.

Kendati begitu, cukuplah lembaran cerita di atas menunjukkan bahwa Ceko selalu bisa menarik perhatian pada beberapa gelaran Piala Eropa. Semenjak pecah dan berdiri menjadi Republik Ceko, mereka selalu ikut serta dalam Piala Eropa. Pada edisi 2020 ini, mereka siap membuat kejutan kembali.

***

Tak banyak nama tenar yang masuk ke dalam skuad Ceko untuk Piala Eropa 2020. Paling-paling, ya, duet West Ham United, yakni Tomas Soucek dan Vladimir Coufal, yang tampil cukup apik bersama The Hammers sepanjang musim 2020/21.

Soucek yang notabene seorang gelandang bertahan sukses membuat 10 gol di pentas Premier League. Tinggi badan menjadikan Soucek senjata mematikan West Ham. Oleh David Moyes, Soucek dijadikan target long ball timnya.

Sementara itu, Coufal sukses membuat tujuh assist untuk West Ham di Premier League. Jumlah itu membuat Coufal menjadi penyumbang assist terbanyak nomor di kesebelasan asal London Timur tersebut setelah Aaron Cresswell.

Sebenarnya, Ceko juga punya Patrik Schick. Akan tetapi, penampilannya bersama Bayer Leverkusen tak terlalu istimewa. Cuma sembilan gol dari 29 penampilan di Bundesliga yang ia cetak. Jumlahnya saja kalah dari Soucek yang seorang gelandang.

Namun, ketiadaan bintang atau superstar menjadi berkah tersendiri buat Cek. Jika diibaratkan dengan baris-berbaris, tim besutan Jaroslav Silhavy tersebut berjalan serentak ke arah yang sama berbekal kolektivitas. Mereka menjadi sebuah tim yang kohesif.

Selain mengandalkan kolektivitas, Ceko juga tidak segan beradu fisik untuk memenangi perebutan bola. Soucek (192 cm) dan Antonin Barak (190 cm) bak menjadi menara kembar di lini tengah Ceko. Ini belum ditambah kehadiran Tomas Holes, yang bisa meng-cover keduanya dari belakang (bertindak sebagai perantara antara dua gelandang tengah dan dua bek sentral).

Holes memang cuma bertinggi 180 cm. Namun, badannya kokoh dan kekar. Dengan begitu, Holes betul-betul mengandalkan determinasi dan kekuatan tubuhnya untuk merebut bola. Sejauh ini, dari 4 penampilan di Piala Euro 2020, Holes sudah membuat 14 kali ball recovery. Artinya, rata-rata ia membuat 3,5 ball recovery per laga.

Namun, sepanjang perhelatan Piala Euro 2020 ini, duet Soucek dan Holes-lah yang lebih sering diturunkan sebagai starter sebagai double pivot. Duet Soucek-Barak dengan Holes bermain di belakang mereka baru tampil sebagai starter ketika mengalahkan Belanda di perdelapan final. Hasilnya tokcer, lini tengah Ceko tampil bak tiang susah betul digoyang. 

Baik Soucek maupun Holes juga cukup rajin membantu pertahanan. Dengan kesediaan kedua gelandang poros untuk turun membantu pertahanan, kedua full-back Ceko menjadi lebih nyaman untuk membantu serangan. Coufal di sisi kanan dan Jan Boril di sisi kiri biasanya menjadi andalan. Coufal, yang sudah mendapatkan 360 menit bermain, rata-rata membuat 1 key passes per laga. Selain itu, ia juga sudah menyumbang 1 assist.  

Lini tengah dan lini belakang yang kokoh ini membuat Ceko tak mementingkan penguasaan bola. Rata-rata, penguasaan bola Ceko cuma berada di angka 47,2 persen per pertandingannya (terendah di antara tim yang mentas pada babak perempat final). Total Expected goals (xG) mereka juga cuma mencapai angka 1,84 pada babak grup.

Saat menyerang, Ceko akan mengandalkan serangan balik cepat dengan kombinasi umpan-umpan silang dari kedua sisi. Patrik Schick yang juga lihai dalam duel udara amat dimanfaatkan untuk menjadi target serangan. Schick sendiri memang menjadi pendulang gol utama Ceko. Empat dari lima gol Ceko lahir dari kaki dan kepala Schick.

Selain mengandalkan serangan balik dan umpan silang, set-piece Ceko juga menjadi ancaman bagi lawan-lawannya. Dengan mengandalkan kekuatan fisik ini, Ceko mencoba memperoleh gol via bola mati. Sejauh ini ada tiga gol yang dibuat Ceko via situasi bola-bola mati.

***

Saat menang atas Belanda pada babak 16 besar, banyak yang mengatakan bahwa Ceko dinaungi keberuntungan. Andai saja Donyell Malen mencetak gol pada situasi one on one atau Mathijs De Ligt tak kartu merah, mungkin saja Ceko akan pulang.

Namun, Ceko sebenarnya juga tampil baik pada pertandingan tersebut. Holes tampil disiplin untuk menjaga Gini Wijnaldum. Terbatasnya ruang Wijnaldum membuat opsi Belanda di depan gawang menipis.

Pertahanan yang rapat dari Ceko juga membuat Memphis Depay tak berdaya. Depay jarang sekali mendapatkan bola di kotak penalti. Tercatat, cuma tiga kali ia menyentuh bola di dalam kotak penalti. Pada akhirnya, selain kesalahan elementer yang dilakukan Belanda, organisasi pertahanan yang baik dapat membantu Ceko mengeliminasi Belanda di babak 16 besar lalu. 

Ingat, selalu ada lebih dari satu faktor yang biasanya menentukan hasil akhir pertandingan.