Messias

Foto: Twitter @FIFAWorldCup

Dengan kemenangan di laga puncak Piala Dunia, Messi menyelesaikan karya terbesar yang menebus semua kekalahan yang pernah ditanggung Argentina.

Lionel Messi memukau dunia dengan kehebatan yang memberikan Argentina jalan pulang ke kemenangan yang berjarak lebih dari tiga dasawarsa.

Piala Dunia 2014 berakhir pilu untuk Messi. Foto yang menunjukkan tatapannya di hadapan trofi Piala Dunia diinterpretasikan sebagai kehilangan tak terperi. Pemandangan itu melahirkan kemungkinan, jangan-jangan biarpun sudah mengerahkan seluruh potensinya sebagai pesepak bola hingga batas terjauh, Messi tetap tidak akan sanggup mengangkat trofi Piala Dunia untuk Argentina dan dirinya sendiri.

Bagi Messi, Piala Dunia lebih dari sekadar gelar juara dan kemenangan yang menobatkan negaranya sebagai yang terbaik. Messi bertualang separuh dunia sejak berusia 13 tahun. Ia memburu hormon pertumbuhan ke Barcelona. Apa boleh buat, hanya klub itu yang mampu dan mau mengurus seluruh kebutuhan medisnya.

La Masia tampaknya menjadi tempat yang tepat bagi Messi. Kualitas akademi mumpuni bakal membentuknya menjadi bintang yang letaknya akan selalu ada di langit, melampaui seluruh pesepak bola yang masih berlaga merebut bola di atas lapangan hijau.

Masalahnya, La Masia bukan rumah bagi Messi. Bagi bocah 13 tahun, rumahnya tetap Rosario, Argentina. Toh, di sanalah Messi pertama kali mengecap kehidupan. Di tempat itu pulalah ia berkenalan dengan sepak bola, dunia yang pada akhirnya membentuknya menjadi seorang pesohor.

Barcelona ternyata tidak menjadi satu-satunya klub yang dibelanya. Mereka ternyata ‘tega’ membuangnya karena persoalan finansial. Maka melangkahkah Messi ke Paris yang megah.

Namun, semegah apa pun tempat itu, Messi tetap membutuhkan jalan pulang. Kemungkinan itu dapat diubahnya menjadi kenyataan dengan mempersembahkan gelar juara bagi Argentina. Sayangnya, perjalanan itu tak mudah. Bahkan sebelum menjejak ke Paris, ia gagal mengantar Argentina menjadi juara saat melawan Chile di partai puncak Copa America 2016.

Baru pada 2021 Messi berhasil mempersembahkan medali juara Copa America bagi Argentina. Akan tetapi, itu semua tak cukup. Messi membutuhkan Piala Dunia. Dengan cara itulah ia layak menjadi mesias, tak hanya bagi negaranya, tetapi juga bagi dirinya sendiri.

Dalam konteks biblikal, Mesias adalah sosok yang diurapi untuk menyelamatkan manusia dari kekalahan akan dosa dan membawa mereka ke dalam kehidupan baru yang penuh kemenangan. Terakhir kali Argentina menjuarai Piala Dunia adalah pada 1986. Dalam perjalanannya, Argentina membutuhkan sentuhan tangan Tuhan yang memantapkan langkah mereka hingga mengalahkan Jerman Barat 3-2 di partai final.

Bagi Argentina, dosa yang meluluhlantakkan itu adalah kegagalan berulang di Piala Dunia. Setelah gelar juara pada 1986, Argentina terseok di perebutan gelar kampiun sejagat. Pada 2018, mereka bahkan tumbang 3-4 di tangan Prancis pada babak 16 besar.

Kepemimpinan Lionel Scaloni mengubah Argentina. Mantan pemain Deportivo La Coruna tersebut bertipe adaptif alias mampu menyesuaikan taktik berdasarkan lawan yang dihadapi. Ciri khas taktiknya adalah kebebasan para pemain dalam struktur menyerang. Dalam praktiknya, Messi pun menikmati kebebasan tersebut. Ia diberi lisensi untuk turun sampai ke area para gelandang untuk memastikan Argentina menang jumlah dalam pertarungan di area tersebut.

Bagi Argentina, Messi adalah sosok yang diharapkan menjadi mesias. Pada tahun-tahun tertentu, Tuhan akan mengetuk-ngetukkan tongkat-Nya ke kaki bocah-bocah spesial. Mereka kelak tumbuh menjadi bocah-bocah terpilih dan Messi merupakan salah satunya.

Jika Mesias membutuhkan mukjizat sebagai penanda bahwa Ia adalah Tuhan yang mengambil rupa manusia, Messi pun melakukannya di Piala Dunia 2022. Yang paling mengundang decak kagum adalah proses gol ketiga Argentina dalam kisah kemenangan 3-0 atas Kroasia di partai semifinal. 

Setelah unggul 2-0, Argentina bermain reaktif seiring dengan perubahan struktur menjadi tiga bek dan tidak membutuhkan banyak aktor untuk melancarkan serangan. Dengan kecepatan dribelnya, Messi membongkar pertahanan Josko Gvardiol sendirian, lalu melepas cutback yang mampu diselesaikan menjadi gol oleh Juan Alvarez.

Sosok Messi di Argentina sangat dominan dan superior. Sebelum laga melawan Kroasia itu, Messi sudah mencetak empat gol. Torehan itu menjadikannya sebagai pencetak gol terbanyak tim Tango di Piala Dunia 2022. Dominasi Messi tidak hanya ditunjukkan oleh torehan gol. Mengutip statistik The Analyst, sejak fase grup hingga semifinal, Messi menjadi pemain kedua yang paling banyak menciptakan attacking sequence involvements.

Metrik itu mencakup seluruh aksi ofensif, termasuk umpan dan dribel, yang langsung dilakukan saat mulai mengontrol bola atau setelah merebut bola. Attacking sequence involvements mengukur kontribusi pemain dalam serangan yang tidak sebatas gol, assist, maupun umpan kunci.

Rincian attacking sequence involvements Messi tersebut adalah 19 tembakan, 14 chances created, dan 10 build up serangan. Itu artinya, Messi adalah komponen vital serangan Argentina. Ia tidak hanya menjadi eksekutor, tetapi juga inisiator. Tim mana pun yang ingin mengalahkan Argentina mesti sanggup melumpuhkan Messi.

Dominasi tersebut menjadi pedang bermata dua. Terkadang melahirkan kekuatan, terkadang menciptakan kekhawatiran. Yang ditakutkan para suporter Argentina, Kroasia menemukan cara untuk mematikan Messi. Teorinya adalah dengan menerapkan taktik bertahan zonal marking dengan garis pertahanan rendah. Cara ini dinilai efektif untuk menjaga ruang di lini belakang agar tidak dapat dimanfaatkan para penyerang Argentina.

Jika rencana ini berjalan lancar, Messi bakal lebih sering turun demi menjemput bola. Kroasia dianugerahi oleh trio gelandang sakti, Marcelo Brozovic, Luka Modric, dan Mateo Kovacic. Seharusnya mereka mampu menutup ruang gerak Messi sehingga tak sanggup mengirim umpan-umpan akurat kepada Alexis Mac Allister ataupun Alvarez.

Bersyukurlah seantero Argentina karena Scaloni memiliki kecerdasan taktik mumpuni. Ia justru menggunakan garis pertahanan rendah hingga menengah untuk mencegah trio gelandang andalan Zlatko Dalic masuk ke sepertiga area akhir. Tujuannya adalah memampatkan progresi bola Kroasia karena Brozovic, Modric, dan Kovacic hanya berputar-putar di area tengah.

Dengan cara itu Argentina mampu memenangi laga walau kalah possession dengan perbandingan 39% dan 61%. Argentina tampil sebagai tim yang meledak hingga akhirnya mempertontonkan kepiawaian Messi memperdaya lawan.

Pun dalam cerita kemenangan Argentina atas Belanda di perempat final. Menjelang menit 35, Messi melakukan solo run melewati tiga pemain Belanda yang pada akhirnya mencundangi Nathan Ake. Ia memanfaatkan celah sempit untuk mengirim umpan kepada Nahuel Molina yang berujung pada gol pertama Argentina.

Messi memang tidak membuat gerakan akrobatis di luar nalar saat menggiring bola dalam fragmen itu. Ia tetap menggunakan langkah-langkah relatif kecil atau pendek. Namun, cara yang cenderung ‘biasa’ itu mensyaratkan manuver yang presisi. Jika salah perhitungan dan koordinasi buruk, tentu penguasaan bola akan menjadi milik lawan yang mengepung.

Di partai final melawan Prancis pun, Messi menunjukkan mukjizatnya, bahkan ketika Argentina begitu mendamba gol pembeda di babak tambahan. Di sepanjang laga, ia bukan hanya mencetak dua gol, melainkan juga menjadi kreator. Contohnya adalah ketika berperan sebagai pembuka tembakan Angel Di Maria yang meruntuhkan penjagaan Hugo Lloris.

Scaloni mengambil keputusan brilian karena memainkan Di Maria. Taktik ini dijalankan untuk menjaga kelebaran di sisi kiri sekaligus mengacaukan pertahanan lawan di fase awal serangan balik. Dalam proses gol kedua itu, Argentina mempertontonkan transisi cepat, rapi, dan efektif. Messi memang bukan aktor utama dalam gol ini, tetapi jelas ada peranannya di sana. Sementara, Di Maria tampil spesial karena berhasil menyelinap dari kawalan lawan yang menjadi tanda petaka bagi Prancis.

Beruntunglah Messi karena Di Maria bermain prima. Gol penalti yang dicetak La Pulga pun berasal dari pergerakan Di Maria yang memancing lawan melakukan pelanggaran tak perlu. Jika Messi adalah mesias, Di Maria adalah malaikat yang mengabarkan berita sukacita.

Ini laga final tergila. Benar bahwa Argentina unggul 2-0 di babak pertama. Namun, mulai dari menit 80, Prancis menggelegar hingga menyamakan kedudukan 2-2 lewat dwigol Kylian Mbappe. Babak tambahan berjalan tak kalah sengit. Setelah Messi membawa Argentina unggul 3-2, Mbappe kembali membobol gawang Emiliano Martinez dari titik putih.

Apa boleh buat, adu penalti menjadi jalan terakhir untuk menentukan siapa yang berhak menyandang gelar kampiun. Penunjukan Messi sebagai penendang pertama adalah perkara penting. Dalam babak adu penalti sekrusial final Piala Dunia, jangan menyimpan yang terhebat di akhir laga. Gunakan dia sejak dini agar keunggulan dapat diamankan secepat mungkin.

Keberadaan pemain seperti Messi mutlak dalam babak adu penalti. Selain sebagai pembuka keunggulan, ia bertugas untuk memompa moral kawan-kawannya dalam duel satu lawan satu yang tak tertebak. Messi, pada akhirnya, bukan hanya mesin gol. Ia adalah nyawa bagi permainan Argentina.

****

Orang-orang Argentina melabeli diri sebagai hijos de los barcos atau orang-orang yang turun dari kapal sebagai tanda bahwa mereka adalah keturunan imigran Eropa yang tiba di Amerika Latin. Messi berbeda, ia pergi dan merajai Eropa dengan sepak bolanya. Messi pun bukan gaucho seperti yang ada dalam epos-epos Argentina. Alih-alih melawan, ia selalu dekat dengan para penguasa, entah itu di Barcelona maupun di Paris Saint-Germain.

Seluruh kondisi itu menegaskan bahwa Messi adalah orang Argentina, tetapi terlalu asing bagi Argentina. Messi memang berlaga membela Argentina, tetapi bukan cerminan dari Argentina itu sendiri.

Mesias pada akhirnya memang diasingkan. Namun, segala hal yang dilakukan-Nya membawa umat pulang kepada Tuhan setelah terpisah jauh akibat dosa. Begitu pula dengan Messi. Gelar juara Piala Dunia 2022 yang dipersembahkannya membuat orang-orang Argentina kembali ke rumah yang penuh kemenangan di ranah sepak bola setelah mengembara selama 36 tahun.

Dengan trofi emas yang diangkatnya itulah Messi menemukan jalan pulang. Dengan medali juara yang diidam-idamkannya sepanjang hayat itulah ia kembali menjadi orang Argentina yang sesungguhnya. Dengan kemenangan di laga puncak Piala Dunia, Messi menyelesaikan karya terbesar yang menebus semua kekalahan yang pernah ditanggung Argentina.