Metamorfosis Michail Antonio

Foto: @Michailantonio.

Berangkat dari winger medioker yang menghabiskan banyak waktunya di klub semi-pro, kini Antonio mengentas sebagai bomber maestro.

Tak terlintas di pikiran Michail Antonio untuk melampaui torehan Paolo Di Canio si topskorer sepanjang masa West Ham. Jangankan ke sana, menjadi penyerang saja ia tak terbayang.

Barangkali itu sama seperti yang pernah dialami Phil Collins sewaktu menjadi penggebuk drum Genesis, Sting saat memegang bass di The Police, atau Dave Grohl yang banting setir menjadi vokalis Foo Fighter selepas Nivana bubar. Namun, kemudian kita tahu sejenius apa mereka jadinya.

“Awalnya aku membencinya,” kata Michail Antonio kepada Sky Sports. Ia lalu menambahkan alasan mengapa ia tak menyukai posisi sebagai penyerang. “Saat kamu membalikkan badan, mereka [bek lawan] datang dari belakangmu. Kamu mesti bisa menerima benturan, kemudian mengontrol bola, lalu menemukan celah untuk mengumpan”.

Jumlah gol memang bukan menjadi alasan West Ham saat menggaet Antonio dari Nottingham Forest enam tahun silam. Tinggi badan yang “hanya” rata-rata (180 cm), serta kemampuan fisik membuatnya tumbuh menjadi winger alih-alih bomber. Evolusinya justru mengarah ke posisi defensif ketimbang ofensif.

Bukan sekali-dua kali Antonio dipasang sebagai bek sayap selama rezim Slaven Bilic. Pelatih asal Kroasia itu menganggap Antonio bisa sama jagonya dengan Antonio Valencia.

Anggapan tersebut tak sepenuhnya salah. Antonio melakukan pekerjaannya dengan baik meski tak cocok betul. Lucunya lagi, sekumpulan suporter The Hammers sampai membuat petisi di change.org berjudul “Hentikan Memasang Michail Antonio di Posisi Bek Kanan”.


Antonio berasal dari keluarga keturunan Jamaika. Hidup dan bertumbuh di London Selatan membuatnya melakukan semua hal seenak jidatnya. Kultur geng yang merebak di sana seolah memangkas sumbu amarah yang ia punya. “Cukup panggil aku brengsek dan aku akan berkelahi dengan senang hati,” kenangnya.

Semua mungkin menjadi lebih parah apabila orang tuanya tak mengarahkannya ke jalur tepat. Bukan sepak bola, melainkan pendidikan yang menjadi prioritas utama sang ibu, Cislyn. Ia pula alasan mengapa Antonio gagal bergabung dengan akademi Tottenham Hotspur saat berusia 14 tahun.

Cislyn meminta anaknya fokus pada General Certificate of Secondary Education (GCSE). Itu adalah ijazah akademis dari ujian yang digarap oleh anak-anak berusia 15-16 tahun atau seumuran dengan siswa tahun terakhir SMP di Inggris.

Belum lagi masalah jarak. Antonio mesti melakukan perjalanan dari selatan ke London bagian utara. Padahal, pagi hari ia sudah harus kembali bersekolah. Ceritanya mungkin bakal berbeda kalau Antonio dan keluarganya berdomisili di London Utara.

“Spurs berpikir untuk mengontrakku, tetapi ibuku berkata 'Tidak, pendidikan adalah yang utama,’" kata Antonio kepada The Sun. “Apakah aku membencinya? Anda tidak bisa membayangkan. Aku menangis dan menuangkan segala macam kekecewaan saat itu”.

Apa lacur, Antonio kembali berkubang dengan klub semi-pro, Tooting & Mitcham United Football Club. Rugi? Bisa jadi. Lumrahnya para pemain muda sudah hijrah ke akademi klub profesional semasa remaja. Pemain sepantarannya macam Kyle Walker, Jordan Henderson, serta Danny Welbeck saja sudah mendapat pembinaan dari klub-klub sekelas Sheffield United, Sunderland, dan Manchester United.

Antonio jauh dari sana. Setiap pekannya ia hanya bermain di Isthmian League yang berada tujuh level di bawah Premier League. Hanya sekitar 200 penonton yang mengerumuninya. Pernah suatu kali Antonio mentas dengan hanya ditonton 25 spektator dan semuanya menghilang setelah Tooting & Mitcham kalah telak di laga tersebut.

Jangan pula berpikir bahwa stadion di Inggris semuanya bagus, tidak demikian. Ada lapangan yang sama sekali tak mulus. Namanya juga klub semi-pro.

“Di sana ada salah satu lapangan paling jelek yang bisa Anda mainkan. Buat pemain sepertiku, yang gemar berlari dengan bola, akan berakhir buruk. Bola akan memantul ke mana-mana,” ucap Antonio. 

Foto: @FootballRemind

Di luar lapangan, Antonio mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai penjaga kolam renang indoor. Ia sadar ini adalah profesi yang membosankan. Antonio hanya tinggal menodongkan tongkat ke kolam dan menariknya ke tepi saat melihat seorang bocah tenggelam. Tak jarang juga anak-anak mendesaknya untuk bermain skittle ball dan kejar-kejaran. Jauh betul dari pekerjaan seorang sepak bola profesional, bukan?

Namun, satu hal, Antonio bukan pecundang. Ia tahu betul apa yang dilakukannya. Setengah gaji ia sisihkan untuk ibunya. Antonio juga menunjukkan komitmen yang sama di lapangan. Sebanyak 33 gol dibuatnya dari 45 pementasan di musim debutnya untuk tim senior Tooting & Mitcham.

“Di sanalah akarku dan aku selalu mencintai setiap menitnya. Tantangan di level bawah membuatku menjadi lebih tangguh sehingga terus mendorongku untuk sampai di titik ini,” jelas Antonio.

Potensi Antonio mulai terendus klub-klub profesional. Pada 2008/09, Reading yang berhasil mendapatkan tanda tangan Antonio. Namun, itu tak lantas membuat pijakan kariernya menjadi lebih kuat. Reading, yang saat itu mentas di Championship, merentalkan Antonio ke klub-klub League One (Cheltenham Town, Southampton, Colchester United, dan Sheffield Wednesday). Klub yang disebut belakangan kemudian mempermanenkannya di musim 2012/13.

Baru di Nottingham Forest Antonio mencicipi rasanya menjadi pemain penting. Ia selalu turun pada 49 pertandingan yang dilakoni Tricky Trees di musim 2014/15. Total 15 gol yang dibuatnya mengukuhkannya sebagai pemain terbaik klub di musim itu.

Tuahnya berlanjut. Empat gol dibuat Antonio di lima laga pertama Forest. Penampilannya membuat klub-klub lain kepincut tetapi Forest tidak berniat melepasnya. Mereka menolak tawaran dari West Bromwich Albion dan Derby County hingga akhirnya West Ham menenteng koper berisi 7 juta poundsterling buat menebus Antonio. 

Pada deadline day transfer 2015/16, Antonio resmi menjadi penggawa West Ham. Ia berada di gerbong yang sama dengan Victor Moses, Nikita Jelavic, dan Alex Song. David Blackmore, editor majalah Blowing Bubbles, menuliskan bahwa kecepatan Antonio bisa membantu West Ham dalam mengaplikasi serangan balik. Tapi, kemudian kita tahu bukan cuma itu yang ia punya. 

Nilai jual Antonio tak sebatas pada athleticism, tetapi juga kemampuan daya pikir yang memudahkannya dalam beradaptasi. Bagaimana ia bisa menggabungkan kekuatan fisiknya dengan ketepatan pengambilan keputusan, plus kejelian dalam penempatan ruang dan posisi. Ini kemampuan langka. Striker mana pula yang pernah mencicipi pengalaman bermain di enam posisi berbeda sebelumnya. Mulai dari full-back dan winger (kanan-kiri), wing-back kanan, dan second striker.

Itu berawal dari tahun lalu saat West Ham kehilangan stok penyerang. Marko Arnautovic hengkang ke Shanghai Port dan Sebastian Haller mesti absen karena cedera. David Moyes lantas memasang Antonio sebagai penyerang tunggal pada pakem 4-2-3-1.

Hasilnya mengesankan. Antonio mampu menjawab kebutuhan West Ham akan goal-getter. Itulah kenapa mereka berani melepas Haller ke Ajax Amsterdam di pertengahan musim. Bila ditotal, Antonio mencetak 10 gol dan menjadi topskorer West Ham—bersama Tomas Soucek—di musim 2020/21.

Pada awalnya Antonio memang kesulitan mengubah perspektif serta gaya main penyerang, dan itu normal. Dari yang mulanya bertugas menyisir lapangan serta menyajikan peluang, kini beralih sebagai corong serangan tim. Artinya, finisihing menjadi aspek prioritas.

Itu belum sepenuhnya terilis musim lalu. Understat mencatat xG Antonio di angka 14,14 atau defisit empat gol. Meskipun tersubur, ia bukan yang terbaik soal penyelesaian akhir, terburuk malah. Sebagai pembanding, Soucek hanya mencatatkan xG 8,98 dengan jumlah gol setara Antonio. 

Namun, seperti yang dibilang tadi, yang membuat Antonio spesial adalah kemampuan daya serapnya. Itu yang menumbuhkannya menjadi pemain multi-posisi. Semuanya termanifestasi jelas di tiga laga awal Premier League. Antonio mencetak gol dan assist sekaligus tanpa putus. Empat gol dan tiga assist bila ditotal. Angka harapan golnya? Surplus 0,69 atau melebihi bomber elite macam Mohamed Salah dan Dominic Calvert-Lewin.

Dengan pencapaian Antonio sebagai topskorer sementara Premier League sekarang ini, sudah semestinya kita memperhitungkannya sebagai bomber maestro. Bukan lagi winger medioker yang menghabiskan banyak waktunya di klub semi-pro.