Michael Edwards: Guru Sekolah yang Mengubah Liverpool dengan Moneyball

Foto: @LFC

2003 Michael Edwards adalah guru SMA di Peterborough. Saat ini, dia merupakan Direktur Olahraga Liverpool dan salah satu yang tersukses di Inggris. Ada konsep Moneyball di balik keberhasilannya mengubah Liverpool jadi lebih sukses.

Lima tahun silam, para petinggi Liverpool memiliki tiga nama sebagai kandidat manajer untuk menggantikan Brendan Rodgers yang baru saja dipecat. Tiga nama itu adalah Juergen Klopp, Carlo Ancelotti, dan Eddie Howe (Iya, Eddie Howe. Kami tidak bercanda).

Dari tiga nama itu, kandidat terkuat adalah Eddie Howe. Dia orang Inggris, masih muda, dan punya prestasi bagus bersama Bournemouth. Tak cuma itu, Howe juga punya permainan atraktif dan pintar mengembangkan pemain muda.

Pilihan kedua adalah Ancelotti. Alasannya jelas: Pria Italia itu punya nama besar dan segudang prestasi. Namun, ada satu hal tentang Ancelotti yang tak disukai para petinggi Liverpool: Dia gemar belanja pemain-pemain tua.

Para petingi Liverpool punya rencana jelas dalam hal belanja pemain. Mereka ingin Liverpool mendatangkan pemain berusia 26 tahun ke bawah. Sebabnya mudah ditebak, mereka yang berusia 26 tahun ke bawah bisa dijual lagi dengan harga tinggi ketika menginjak (atau melewati) masa-masa keemasannya. Namanya juga bisnis, yang dilihat pasti cuan.

Alasan itu yang kemudian membuat Ancelotti tak jadi pilihan nomor 1. Lantas, bagaimana dengan Klopp? Well, pria Jerman itu awalnya belum berhasil mencuri perhatian para petinggi Liverpool. Sampai akhirnya ada seorang pria yang meyakinkan para petinggi The Reds untuk memilih Klopp.

Pria itu adalah Michael Edwards. Saat itu ia tengah menjabat sebagai Direktur Teknik Liverpool. Alasan Edwards memilih Klopp adalah karena eks-Pelatih Borussia Dortmund itu punya beragam hal yang sesuai dengan visi dan misi Liverpool.

Klopp lihai mengorbitkan pemain muda. Mario Goetze, Robert Lewandowski, dan Mats Hummels adalah sederet pemain yang dibentuk oleh pria kelahiran Stuttgart itu. Klopp juga punya permainan atraktif. Gegenpressing-nya sudah top dan terbukti mengerikan saat itu.

Satu hal lain yang membuat Klopp unggul atas Howe adalah pengalaman di Liga Champions atau kompetisi antarklub Eropa. Dortmund dibawanya mencapai final Liga Champions 2012/13 meski tak berakhir dengan gelar juara.

Rekomendasi Edwards itu pada akhirnya disetujui oleh para petinggi Liverpool. Klopp resmi menjadi Manajer Liverpool dan sisanya, kita tahu, adalah sejarah.

***

Michael Edwards muda tak memiliki rekam jejak mentereng dalam dunia sepak bola. Edwards mengawali karier dari akademi Southampton untuk kemudian bergabung dengan akademi Peterborough United. Namun, apa daya, Edwards tak berhasil menembus tim utama klub yang kini berkompetisi di League One itu.

Pada usia 18 tahun, dia dilego dan tak ada klub lain yang mau menampung. Selama karier akademinya, Edwards bermain sebagai full-back kanan dan holding midfielder. Perannya di lapangan memang tak menonjol. Namun, dalam sebuah tulisan tentangnya di Bleacher Report, rekan-rekannya di Peterborough menyebut Edwards sebagai pemain yang punya pemahaman bagus terhadap sepak bola.

Tak beruntung sebagai pemain, Edwards akhirnya memilih melanjutkan pendidikan. Dia kuliah di University of Sheffield dan mendapat gelar sarjana di bidang Bisnis Manajemen dan Informatika. Selepas itu, dia memulai karier sebagai guru IT di sekolah lokal di Peterborough.

Kehidupannya kemudian berubah berkat satu panggilan telepon pada 2003. Adalah seorang pria bernama Barry McNeill yang melakukan panggilan. McNeill mengontak Edwards berkat rekomendasi Simon Wilson, rekan Edwards semasa di Peterborough dulu. McNeill mengajak Edwards untuk bergabung di perusahaan tempatnya bekerja, Prozone.

Kebetulan, saat itu, Prozone membutuhkan seorang analis data. Kandidat tidak hanya dituntut mengerti IT, data, atau statistik saja. Analis data itu harus mengerti sepak bola. Ini dikarenakan Prozone adalah perusahaan data sepak bola. Pada 2003, mereka baru saja mendapat klien besar: Portsmouth.

Wilson tahu bahwa Edwards adalah sosok yang tepat untuk pekerjaan ini. Dia IT guy yang paham sekali soal data dan lebih bagus lagi, Edwards amat mengerti sepak bola. Akhirnya, ayah dua anak itu berganti pekerjaan, dari seorang guru IT menjadi seorang data analis sepak bola.

Dari pekerjaan itu, Edwards mengenal Harry Redknapp yang sedang menjabat sebagai Manajer Portsmouth. Sebagai sosok yang konservatif, Redknapp awalnya ogah menggunakan jasa analis data dalam klubnya. Namun, asistennya Jim Smith, meyakinkan Redknapp untuk memakai jasa Prozone dan Edwards.

Dari hari ke hari, hubungan keduanya membaik. Edwards sampai mempunyai kantor sendiri di kamp latihan Portsmouth dan perlahan muncul sebagai sosok yang dipercaya Redknapp. Meski Redknapp sempat hengkang ke Southampton (sebelum akhirnya balik lagi), Edwards masih tetap di Portsmouth. Keduanya bekerja sama lagi dan menghasilkan gelar Piala FA pada 2008 untuk The Pompey.

Pada 2008 pula Redknapp memutuskan pindah ke Tottenham Hotspur dan satu tahun setelahnya, Edwards turut bergabung. Kala itu Edwards ditunjuk sebagai Kepala Analis Performa Spurs. Jabatan itu mempererat kerja samanya dengan Redknapp dan membuatnya punya peran penting dalam sebuah klub.

Di Spurs pula Edwards berkenalan dengan Damien Comolli yang kemudian membawanya ke Liverpool. Comolli sudah hengkang dari Spurs untuk menjadi Direktur Sepak Bola Liverpool. Kala itu, pria Prancis tersebut ditugaskan Fenway Sports Group (FSG)--pemilik baru Liverpool--untuk mencari orang yang mengerti data.

FSG bercita-cita menjadikan Liverpool sebagai klub sepak bola dengan pendekatan data yang kuat. Sebelumnya, FSG juga sudah menerapkan pendekatan data di klub bisbol milik mereka, Boston Red Sox. Lantas, Edwards adalah salah satu orang pertama yang dipilih untuk menerapkannya di Liverpool dan dia diberi tugas sebagai Kepala Analis Performa.

Pemilik FSG, John Henry, memang tergila-gila dengan konsep Moneyball. Konsep yang dipopulerkan Billy Beane itu memang menitikberatkan pencarian pemain kepada data dan statistik, bukan hanya nama besar. Akibatnya, klub bisa melakukan efensiensi ekonomi (mengeluarkan sedikit uang) untuk mendapatkan pemain bagus yang bisa mengangkat derajat klub. Henry ingin melakukan itu di Liverpool.

***

Sembilan tahun sejak ditunjuknya Edwards sebagai Kepala Analis Performa Liverpool, impian John Henry sudah tercapai. Moneyball yang diimpikannya berjalan sempurna di Liverpool dan Edwards adalah aktor di baliknya. Dia adalah Billy Beane-nya Liverpool.

Pada awalnya, semua memang tak berjalan mulus buat Edwards. Semasa Comolli masih ada, dia hanya bertugas untuk menganalisis pemain-pemain yang diincar Liverpool. Dia tak punya suara yang begitu berpengaruh. Karena itu, transfer Joe Allen, Fabio Borini, atau Oussama Assaidi bukanlah kesalahannya.

Pada era Rodgers, Edwards sudah mulai punya pengaruh yang lebih besar. Namun, hak veto terhadap transfer yang dimiliki Rodgers membuat pengaruh Edwards terhadap transfer yang dilakukan Liverpool jadi tak terlalu signifikan. Transfer Christian Benteke, Mario Balotelli, Rickie Lambert, hingga Lazar Markovic adalah contohnya.

Namun, ada satu transfer pada era Rodgers yang amat dipengaruhi oleh analisis Edwards dan timnya. Itu adalah transfer Roberto Firmino. Tentu saja, saat itu Rodgers keberatan dengan ide Edwards untuk mendatangkan Firmino. Namun, analisis saat itu menyatakan pemain Brasil itu adalah sosok yang tepat buat Liverpool. Sejarah kemudan memperlihatkan bahwa analisis Edwards benar dan penilaian Rodgers salah.

Pengaruh semakin besar dimiliki Edwards ketika dia didapuk sebagai Direktur Olahraga Liverpool. Dalam posisi ini, dia memiliki kebijakan untuk menentukan siapa yang mau dibeli Liverpool. Bak gayung bersambut, dia bekerja sama dengan sosok manajer yang mau mendengarkan dan percaya akan data. Kita tahu bahwa manajer itu adalah Juergen Klopp.

Manajer berusia 53 tahun itu memang punya pilihannya sendiri dalam bursa transfer. Meski demikian, dia merupakan sosok yang mau mendengarkan pendapat Edwards dan timnya. Contohnya ada pada transfer Mohamed Salah. Kala itu, Klopp ingin mendatangkan Julian Brandt dari Bayer Leverkusen.

Namun, Edwards dan timnya tak sepakat. Dia merekomendasikan Salah buat Klopp karena berdasarkan analisis, eks-pemain AS Roma itu memiliki apa yang dibutuhkan Liverpool. Nyatanya rekomendasi Edwards beserta tim pencari bakat Liverpool yang dikomandoi oleh Barry Hunter dan Dave Fallows itu tepat. Salah cocok dan bagus bersama Liverpool.

Analisis jeli Edwards dan timnya itulah yang melahirkan transfer-transfer sukses Liverpool lainnya. Selain Salah, ada Sadio Mane, Andy Robertson, dan Gini Wijnaldum. Mereka didatangkan dengan harga yang tak mahal, tetapi memberikan impak besar buat Liverpool.

Robertson, misalnya, dibeli dengan harga 8 juta pounds saja. Pemain sekelas Salah dan Mane masing-masing dibeli dengan harga tak lebih dari 50 juta pounds. Sementara Wijnaldum diboyong dengan mahar 23 juta pounds saja. Jika ditengok harga pasarnya sekarang, mereka bisa dijual berkali-kali lipat lebih mahal dari harga beli.

Belum lagi ada Diogo Jota musim ini yang juga disebut sebagai kejelian baru Edwards dan timnya. Dengan harga tak lebih dari 45 juta pounds, transfer Jota dinilai sebagai pembelian cerdas. Sebab, dengan performa yang ditunjukannya sejauh ini, harga tersebut bisa dibilang kurang mahal.

Untuk terus melanjutkan konsep Moneyball dengan mencari pemain berdasarkan data dan analisis, Liverpool saat ini memiliki tim pencari bakat yang tersebar di seluruh dunia. Berkat itu, Liverpool jadi punya segudang data, analisis, hingga video penampilan dari para pemain yang mereka incar atau hanya sekadar diamati.

The Athletic juga menyebut bahwa pemain-pemain itu nanti diklasifikasikan ke dalam peringkat dari A sampai D. Pemain peringkat A adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan tim, sedangkan peringkat D adalah mereka yang kemungkinan besar tidak jadi direkrut. Ini pula yang menyebabkan perekrutan Liverpool beberapa tahun belakangan jarang ada yang flop.

Belum lagi ada bantuan Ian Graham, Direktur Riset Liverpool, yang mampu menerjemahkan data-data itu menjadi mudah dipahami dalam konteks sepak bola, sehingga Klopp atau para petinggi Liverpool tak kesulitan dalam mengambil keputusan. Kebetulan yang mengajak Graham bergabung dengan Liverpool adalah Edwards, dan mereka bergabung pada tahun yang sama, yakni 2011.

Hingga kini, konsep Moneyball ala Edwards--yang dibantu Graham dan tim pencari bakat--itu telah menghasilkan gelar prestisius seperti trofi Premier League dan Liga Champions. Liverpool juga layak disebut sebagai salah satu tim terbaik di Eropa dan dunia saat ini.

Dulu, pada tahun 2002, John Henry pernah menawarkan Billy Bean posisi sebagai General Manager (GM) Boston Red Sox. Tak cuma itu, Bean juga ditawarkan gaji 12,5 juta dolar (tertinggi untuk ukuran GM kala itu) selama 5 tahun. Namun, Bean menolak.

Beruntung, Henry menemukan Theo Epstein yang juga bisa menawarkan konsep Moneyball untuk Red Sox dengan pendekatannya sendiri. Hasilnya pun cemerlang, Epstein mampu membentuk tim yang bisa menjuarai World Series pada 2004. Itu adalah gelar World Series pertama Red Sox dalam 86 tahun.

Di Liverpool, Henry menemukan Billy Bean lainnya dalam sosok Michael Edwards. Bukan Damien Comolli seperti yang diperkirakan banyak orang pada awal 2010-an.

[Baca Juga: Mengapa Liverpool Lambat di Bursa Transfer?]