Mighty Mouse

Ilustrasi: Arif Utama.

Amukan Kevin Keegan di depan kamera televisi selamanya menjadi salah satu momen ikonik dalam sejarah Premier League. Ia disebut kehilangan kendali pada waktu itu. Namun, benarkah begitu kejadiannya?

Ketika maut sudah menjemput Marshall Barer, teman-teman terdekatnya merayakannya dengan berbagai ingatan dan kenangan. Barrer, bagi mereka, bukan sekadar penulis lirik, pembuat lagu, dan seniman komersil yang andal, tetapi juga tamu yang menyebalkan.

Tak lama setelah Barer mengembuskan napas terakhir pada 25 Agustus 1998, salah seorang teman dekatnya, Brandon Maggart, langsung menyampaikan kabar kepada LA Times. Bersamaan dengan kabar duka itu, Maggart juga menitipkan pesan: “Dia adalah tamu yang menyebalkan. Masa menutup kembali selai kacang saja tidak bisa?”

Barer lahir di Astoria, Queens, pada 1923. Setelah menekuni studi di bidang seni, ia bekerja sebagai desainer dan seniman komersil di biro iklan. Namun, Hasratnya selalu lebih besar kepada dunia musik. Oleh karena itu, pada waktu senggangnya, ia menyibukkan diri menulis lirik dan menggubah lagu.

Sempat menulis sederet lagu klasik untuk kawanan berkelas yang biasa nongkrong di supper club, Barer lantas belajar bagaimana caranya menulis lagu pop. Beberapa lagu yang ia gubah kemudian dinyanyikan oleh Harry Belafonte, Sarah Vaughan, dan Nat “King” Cole.

Namun, yang paling terkenal adalah ketika dia menggubah lagu tema untuk serial kartun “Mighty Mouse”. Mighty Mouse adalah tokoh kartun yang beken pada era 1940 hingga 1960-an. Dengan jubah merah dan tangan mengepal, ia terbang dan meninju para penjahat, persis seperti Superman tapi minus kelemahan akan kryptonite.

Lagu temanya, yang berisikan lirik “Here I come to save the day!”, populer di mana-mana. Manakala syair itu dinyanyikan, rasanya ada harapan bahwa seseorang akan datang membereskan masalah yang tak kunjung tuntas.


Kevin Keegan datang ke Hamburger SV pada 1977 dengan status sebagai superstar. Ia menghabiskan enam musim bersama Liverpool dan meraih tiga gelar juara Liga Inggris plus satu European Cup (sekarang Liga Champions). Dengan badan tegap dan rambut gondrong-keriting, Keegan dengan cepat menyita perhatian para pendukung HSV.

Keegan tidak sekadar punya kemampuan; ia juga punya karisma. Karisma tersebut yang kemudian membuat banyak orang terpikat, sampai-sampai Dr Peter Krohn—pebisnis yang menjalankan HSV saat itu— menjadikannya sebagai mesin untuk menghasilkan uang.

Krohn adalah salah satu orang pertama yang menyadari bahwa citra dan tampilan seorang pemain bisa mendatangkan keuntungan buat klub. Semakin tinggi level kebintangan seorang pemain, semakin besar potensi klub untuk menggemukkan pundi-pundi uang lewat pemasaran.

Bersamaan dengan datangnya Keegan, Krohn memperlakukan HSV seperti sebuah sirkus. Event spektakuler bersama para pemain, sesi latihan, hingga bagian depan jersi semua ia jual. Krohn bahkan meminta para pemain mau mengenakan jersi berwarna pink supaya lebih banyak penonton wanita datang ke stadion.

Para pemain oke-oke saja dengan permintaan itu. Toh, makin lama tim mereka memang makin populer. Suporter yang datang ke stadion makin banyak. Lantas, dengan insting bisnisnya yang pilih tanding, Krohn menaikkan harga tiket untuk para penonton.

Semuanya lancar-lancar saja sampai Krohn membeberkan bahwa Keegan mendapatkan bayaran 100 ribu poundsterling setahun. Kaget dengan betapa mahalnya bayaran untuk Keegan, para pemain protes. Tensi di ruang ganti pun meninggi.

Sekelompok pemain HSV kemudian mendatangi pelatih mereka, Rudi Gutendorf, dan terang-terangan mengakui bahwa mereka tidak menyukai Keegan. “Jika kamu memainkan si orang Inggris ini, kami tidak ingin bekerja sama denganmu,” kata Gutendorf, menirukan apa yang pemain-pemainnya ucapkan pada wawancara dengan BBC tahun 2013.

Gutendorf tetap kukuh pada pendiriannya. Baginya, Keegan adalah sosok penting. Namun, tanpa harmonisasi di dalam tim, HSV akhirnya kepayahan dengan sendirinya. Musim itu, mereka memulai dengan buruk, sampai-sampai pada Oktober 1977, Gutendorf pergi.

Tegangnya tensi di ruang ganti menambah buruk bulan-bulan pertama kehidupan Keegan di Hamburg. Ia dan istrinya, Jean, mesti tinggal di lantai 19 sebuah hotel bersama anjing piaraan mereka. Kamar yang mereka huni tidak memiliki balkon untuk sekadar menghirup udara segar.

“Silakan bayangkan sendiri problem yang kami hadapi gara-gara situasi itu,” tulis Keegan pada autobiografinya.

Peruntungan Keegan baru membaik pada musim berikutnya. Datangnya Gunter Netzer sebagai general manager mengubah segalanya. Netzer adalah orang yang berbeda dengan Krohn—sosok yang ia gantikan. Baginya, prestasi tim di atas lapangan adalah segalanya.

Pada 1978, Netzer menunjuk Branko Zebec sebagai pelatih. Sama seperti Netzer, Zebec adalah sosok yang tidak suka basa-basi. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengusir pemain-pemain yang ia anggap menjadi racun di ruang ganti. Beruntung, Keegan bukan salah satunya.

Kendati begitu, Keegan merasa bosan dengan rutinitas ketat yang Zebec terapkan kepada para pemainnya. Bertanding, latihan, istirahat, tidur, dan begitu seterusnya. Namun, buah rutinitas itu akhirnya terasa betul; HSV menjadi salah satu tim dengan level kebugaran pemain yang amat terjaga. Musim itu, mereka memenangi 21 dari 34 laga di Bundesliga. Hasilnya, mereka keluar sebagai juara liga.

Keegan pun merasakan betul manfaat bermain di tengah tim yang lebih sehat. Setelah cuma mencetak 6 gol pada musim perdananya, ia mencetak 17 gol pada musim keduanya. Makin kagum saja pendukung HSV padanya.

Terlepas dari pasang-surut situasi yang ia hadapi, kebintangan Keegan tak memudar. Sejak awal, suporter HSV sudah meyakini bahwa tim mereka sudah kedatangan pahlawan yang bisa membereskan semuanya. Oleh karena itu, mereka menjuluki Keegan sebagai “Mighty Mouse”.

***

Les Ferdinand tidak akan pernah lupa bagaimana proses kepindahannya ke Newcastle United berlangsung. Pada 1995, ia sudah hampir pasti bergabung dengan Aston Villa. Waktu itu, kesempatan klub-klub lain untuk mencuri Ferdinand tepat di depan hidung Villa sudah teramat tipis.

Namun, Keegan berbeda. Oleh pemain-pemain yang pernah ia latih, selamanya ia dikenal sebagai orang yang optimistis dan penuh gairah. Karisma yang sudah ia miliki selama menjadi pemain masih ia bawa ketika dirinya menjadi pelatih.

Berbekal optimisme itu, Keegan berangkat ke Birmingham untuk menemui Ferdinand. Tepat sebelum Ferdinand bertemu dengan para petinggi Villa untuk membicarakan transfer, Keegan meneleponnya.

“Sebelum kau membuat keputusan,” kata Keegan, “bolehkah aku berbicara denganmu lebih dulu?”

Ferdinand luluh. Keesokan harinya, ia duduk dan berbicara dengan Keegan di hotel tempat ia menginap. Dalam beberapa menit, Ferdinand terkesima. “Dia berbicara soal visinya, soal ke mana ia akan membawa klub ini melangkah. Dia berbicara dengan penuh antusiasme,” kata Ferdinand.

Proses kepindahan ke Villa pun batal. Sebaliknya, Ferdinand mengiyakan ajakan Keegan dan bergabung dengan Newcastle.

Newcastle era Keegan adalah tim yang ajaib. Mereka merupakan pengejawantahan dari filosofi sepak bola sang pelatih sendiri: Bagaimana pun situasi pertandingannya dan siapa pun lawan yang dihadapi, cuma ada satu cara memainkan si kulit bulat, yakni dengan bermain ofensif.

Tekad Keegan untuk menjadikan Newcastle sebagai tim yang emoh buat inferior di hadapan lawan sudah terlihat sejak ia mengambil alih kesebelasan pada Februari 1992.

Ketika Keegan datang, Newcastle sedang berkubang di level kedua sepak bola Inggris. Mereka tengah berkutat untuk bebas dari jerat degradasi dan mati-matian mempertahankan diri. Dengan Keegan, Newcastle menjadi tim yang berbeda. Lewat sederet kemenangan senasional—beberapa di antaranya mereka raih dengan skor 5-1, 6-0, dan 7-1—, Newcastle selamat dengan finis dua setrip di atas zona degradasi.

Bagi The Magpies, Keegan adalah penyelamat. Ia adalah manifestasi dari Mighty Mouse itu sendiri: Datang ketika dirimu sedang susah dan menyelamatkan harimu. Satu musim berikutnya, ia membawa Newcastle promosi ke Premier League. Jika itu dirasa belum cukup, Keegan membawa Newcastle finis di urutan ketiga pada musim 1993/94—ketika Newcstle masih berstatus sebagai tim promosi.

Sebagai ganjarannya, Newcastle pun berhak tampil di Piala UEFA. Namun, apa yang Keegan berikan kepada The Toon Army sesungguhnya lebih dari sekadar peringkat akhir di klasemen ataupun selempar tiket untuk bermain di Eropa. Ia memberikan lebih dari itu; Keegan telah mengentaskan mental medioker dari tubuh Newcastle.

Bersamaan dengan kedatangan mereka di Premier League, Newcastle menjadi tim yang amat dihormati. Keegan dengan telaten menyusun kepingan puzzle-nya, membuat Newcastle menjadi tim yang utuh. Mereka tidak hanya berisikan pemain-pemain dengan talenta kelas satu, tetapi juga pemain-pemain yang rela mendedikasikan permainan mereka di atas lapangan kepada Keegan.

“Aku mengidolainya. Waktu kecil, aku adalah pendukung West Ham, tapi aku punya foto Keegan di dinding kamarku dan dia adalah superstar pertama di mataku,” kata eks gelandang Newcastle, Rob Lee, di BBC.

Ferdinand, Lee, beserta Peter Beardsley, David Ginola, Keith Gillespie, dan sekelompok pemain lainnya menjadikan Newcastle sebagai tim yang menakutkan pada 1995/96. Juara bertahan yang mesti mereka jatuhkan musim itu adalah Blackburn Rovers, tetapi semua tahu bahwa musuh sesungguhnya adalah Manchester United.

Setelah kehilangan gelar pada musim sebelumnya, United berusaha untuk kembali menduduki takhta. Namun, usaha si ‘Iblis Merah’ untuk mendapatkan gelar mendapatkan tampaknya bakal sia-sia.

Newcastle yang superior itu sempat memimpin klasemen dengan selisih 12 poin. Sampai kemudian, masa-masa krusial datang pada bulan Februari 1996. Sedikit demi sedikit, selisih itu terpangkas dan jadilah Newcastle merasakan United mendengus di tengkuk mereka.

Kekalahan 0-1 dari United di St James’ Park pada 4 Maret 1996 mengakhiri rekor 100% Newcastle di kandang. Tidak cuma itu, selisih poin dengan United pun menipis jadi tinggal satu poin saja. Situasi pun memanas.

Newcastle kehilangan pijakan. Kekalahan dari Arsenal, Liverpool, dan Blackburn pada tiga laga tandang berikutnya membuat The Magpies kehilangan posisi puncak. United mendapatkan keuntungan karena garis finis sudah di depan mata.

Atas segala keberhasilan dan status yang mereka dapatkan pada era 1990-an, United berutang pada pria Skotlandia bernama Alex Ferguson. Ia bukan hanya seorang control freak yang keras kepala, tetapi juga—entah bagaimana—bisa membuat situasi genting berpihak kepadanya.

Sadar bahwa Newcastle mulai oleng, Ferguson memberikan pukulan pemungkasnya: Sebuah perang urat saraf. Dengan entengnya, Ferguson mengatakan bahwa lawan-lawan Newcastle di kemudian hari, seperti Leeds United dan Nottingham Forest, tidak akan bermain serius ketika menghadapi The Magpies. Ini berbeda dengan United yang, menurut Ferguson, selalu menghadapi tim yang bermain 100%.

Newcastle kemudian sukses menundukkan Leeds 1-0 pada 29 April 1996. Namun, yang terjadi berikutnya adalah sebuah momen legendaris yang masih terus dikenang sampai hari ini.

Keegan, mengetahui Ferguson berbicara macam-macam soal timnya, melepaskan amarah di hadapan kamera televisi. Dengan raut muka ketus dan jari telunjuk teracung, Keegan berseru dengan penuh rasa kesal: “Bilang kepada dia kalau kalian menyaksikan ini, kami masih berjuang untuk mendapatkan titel dan dia masih harus pergi ke Middlesbrough untuk mendapatkan hasil, dan… Biar kukatakan kepada kalian semua, aku akan sangat senang, akan sangat senang sekali, jika akhirnya kami bisa mengalahkan mereka (dalam persaingan juara)!”

Kata-kata “I will love it, love it!” (“aku akan sangat senang, akan sangat senang sekali!”) itu akhirnya menjadi sesuatu yang ikonik. Ketika Newcastle tersandung di kandang Forest—dengan bermain imbang 1-1—dan pada akhir musim United keluar sebagai juara, momen itu selamanya dikenang sebagai momen di mana Keegan kehilangan kendali.

Karena Keegan kehilangan kendali, demikian pula dengan timnya. Media kemudian menarasikan perang urat saraf Ferguson sebagai salah satu karya emasnya. Namun, benarkah yang terjadi seperti itu?

Ada dua sisi dari setiap kejadian, sisi yang ditampilkan ke hadapan khalayak dan sisi yang tersembunyi dan bisa jadi tak begitu menarik untuk disimak. Namun, sisi tersembunyi itu tetap perlu dituturkan untuk mendapatkan sebuah cerita yang utuh.

Menurut pemain-pemain Newcastle, Keegan sama sekali tidak kehilangan kendali. Amukannya di hadapan kamera Sky Sports itu adalah hal biasa. Ia, menurut Lee, bahkan sering marah-marah seperti itu di sesi latihan.

Ketika mereka kembali ke bus setelah pertandingan melawan Leeds itu, dan menyaksikan wawancara dengan Sky tersebut dalam perjalanan pulang, sebagian pemain malah terkekeh. Sebagian lainnya bahkan menirukan ucapan si pelatih dengan penuh guyonan.

“Biar kukatakan kepada kalian semua, aku akan sangat senang, akan sangat senang sekali, jika akhirnya kami bisa mengalahkan mereka!”