Milan Mengurai Benang Kusut Finansial

Sepak bola tidak hanya berbicara tentang kepiawaian mencetak gol, tetapi juga kejelian mengurai benang kusut finansial.
AC Milan percaya bahwa mereka tidak diciptakan untuk menjadi ekor, tetapi kepala. Dari satu kemuliaan ke kemuliaan lain, dengan menggenggam tujuan itu mereka berjalan melewati tahun-tahun sulit.
Ketika Elliott Management datang mengambil alih kemudi, Milan sedang oleng. Badai finansial menghantam. Jangankan bermimpi besar, untuk sampai di tujuan dengan selamat saja mereka seperti tak mampu. Langkah cepat mesti diambil agar kapal ini tak karam. Elu-elu tentang kebesaran Li Yonghong ternyata tak terbukti benar.
Elliott Management sebenarnya sudah ada sejak sebelum 2018. Mereka meminjamkan dana sebesar 303 juta euro kepada Yonghong untuk mengelola Milan. Apes, Milan justru limbung. Pengelolaan keuangan yang sembrono membuat Milan jadi raksasa tak berdaya. Berangkat dari situ, Elliott datang mengambil kendali. Mereka menjadi pemilik Milan dengan mengakuisisi saham sang pengusaha China pada 2018.
Bagaimana Elliott menghidupkan kembali harapan Milan?
Kedatangan Elliott pada awalnya membikin cemas karena mereka menuntut Milan untuk mengencangkan ikat pinggang seketat-ketatnya. Itu artinya, tak ada lagi belanja pemain jor-joran. Itu bermakna, manajemen harus dirombak agar semuanya tak tinggal cerita lama.
Yang dilakukan Elliott pertama kali adalah mendatangkan CEO baru. Untuk jabatan ini, yang pada akhirnya dipilih adalah Ivan Gazidis. Menurut Elliott, Gazidis tahu persis kebutuhan Milan dalam situasi sulit. Mereka percaya, Gazidis punya tangan dan kepala dingin untuk membikin Milan tak jadi sekadar klub dengan nilai historis tinggi, tetapi juga kokoh dalam bisnis.
Ada tiga agenda yang harus diwujudkan Milan bersama Elliott. Pertama, Milan harus memiliki kualitas sepak bola yang brilian karena hakikatnya, mereka adalah klub sepak bola. Ini menjadi fondasi pertama. Agenda ini mutlak, tak dapat ditawar-tawar. Memiliki kualitas sepak bola cemerlang tak hanya akan menjadikan Milan berjaya di Italia, tetapi juga berdaya di Eropa.
Tak dapat dimungkiri bahwa Liga Champions masuk dalam bucket list. Bagaimanapun, kompetisi ini menjadi yang tertinggi jika bicara tentang sepak bola Eropa. Liga Champions tak hanya berkisah tentang pertarungan klub papan atas level Eropa, tetapi juga pundi-pundi uang yang dapat menyokong klub agar berdiri lebih tegak dan tangguh.
Kedua, pengendalian biaya. Prinsipnya sederhana, jangan menanggung beban di luar batas kekuatanmu. Celakanya, Milan seperti melupakan prinsip itu. Bursa transfer justru menjadi periode pemborosan.
Disebut pemborosan bukan karena jumlah uang yang dikeluarkan, tetapi karena jumlah uang yang dikeluarkan tak mampu mengantar mereka pada hasil yang diharapkan. Karena itu, Milan harus merumuskan ulang strategi transfer mereka. Membeli pemain tepat guna tak selalu sama dengan membeli pemain mahal.
Ketiga, menjadikan Milan sebagai jenama yang memikat. Milan butuh uang untuk bertahan hidup dan bertumbuh. Karena itulah mereka harus punya strategi dan taktik agar tetap mempesona di mata media dan setiap elemen yang terhubung dengan industri sepak bola modern.
Karena tiga agenda tersebut, Elliott meyakini betul bahwa yang dibutuhkan Milan tak hanya pemimpin yang mengerti sepak bola di lapangan, tetapi juga bisnis sepak bola. Untuk kelompok pertama mereka menggaet Paolo Maldini, Frederic Massara, dan Stefano Pioli. Berkaitan dengan kelompok kedua, adalah Gazidis yang diberi kepercayaan.
Keputusan tersebut dinilai jitu. Milan tak hanya bangkit di atas lapangan, tetapi juga di dunia bisnis. Milan merengkuh scudetto setelah 11 tahun dan masuk ke Liga Champions. Itu benar dan tak dapat disangkal. Namun, perbaikan lain yang tak dapat dipandang sebelah mata adalah perbaikan finansial.
Laporan keuangan Milan menunjukkan hal tersebut. Pada musim 2017/18, misalnya. Milan mencatatkan peningkatan pemasukan dari semua sektor. Jika pada musim 2016/17 mereka merengkuh pendapatan sekitar 212,1 juta euro, pada 2017/18 angkanya meningkat menjadi 255,8 juta euro.
Dari segi nominal, angka terbesar memang ada di sektor pendapatan hak siar dan media yang mencapai 109,3 juta euro. Namun, dari segi persentase peningkatan, angka terbaik justru ada di sektor kepemilikan pemain: Dari 6,1 juta euro menjadi 42,1 juta euro. Ini adalah imbas dari penjualan pemain yang mengalami peningkatan sebesar 31,7 juta euro, peningkatan peminjaman pemain sebesar 1,8 juta euro, dan manajemen pemain sebesar 2,5 juta euro.
Meski demikian, bursa transfer Milan belum bermain aman pada periode ini. Mengutip laporan keuangan Milan, mereka menghabiskan uang sebesar 211,2 juta euro untuk mendatangkan pemain. Jumlahnya meningkat dari 2016/17 yang ketika itu menghabiskan uang sebesar 206,7 juta euro. Dari situ, biaya personel pun meninggi, dari 135,1 juta euro menjadi 150,4 juta euro.
Beranjak ke musim 2019/20, transfer Milan makin cerdik. Selain sukses memulangkan Zlatan Ibrahimovic yang enggan meringkuk di hadapan usia tua, Milan mendatangkan pemain-pemain muda seperti Rafael Leao, Theo Hernandez, serta Ismael Bennacer. Mereka juga meminjam Alexis Saelemakers dari Anderlecht.
Pemilihan pemain tepat guna tak hanya mengganjar Milan dengan perbaikan kinerja di lapangan, tetapi juga secercah harapan pada kertas kerja keuangan. Disebut harapan karena terjadi penurunan biaya personel, dari 184,8 juta euro menjadi 160,9 juta euro. Jika dibedah, komponen ini akan memperlihatkan penurunan gaji dari 175,946 juta euro pada 2018/19 menjadi 151,663 juta euro pada 2019/20.
Meski demikian, harapan tersebut hanya pantas disebut secercah karena Milan masih mengalami kerugian finansial. Bahkan kerugian tersebut meningkat dibandingkan musim sebelumnya, dari 132,257 juta euro menjadi 186,599 juta euro. Persoalan terbesar tentu saja pandemi yang mengikis pendapatan klub, dari 241,118 juta euro menjadi 192,317 juta euro.
Pergerakan Milan di bursa transfer 2019/20 berarti dua hal: Solusi jangka pendek dan jangka panjang. Disebut solusi jangka pendek karena mereka harus menyiasati penurunan pendapatan dengan penurunan biaya pula. Disebut jangka panjang karena Milan harus berinvestasi pada pemain-pemain muda.
Yang dibutuhkan Milan sebenarnya bukan pemain-pemain berharga selangit. Tak ada jaminan bahwa pemain bintang dapat menjadi kepingan yang sesuai dengan kebutuhan Milan. Karena itu, Maldini yang tahu persis luar dan dalam Milan ditarik sebagai direktur teknik. Jabatan ini memberikannya keleluasaan untuk mengatur strategi transfer agar Milan memiliki pemain tepat guna.
Jangan lupa bahwa dalam konteks akuntansi pemain dicatat di neraca keuangan sebagai aset. Dalam konteks yang sama, aset adalah segala sesuatu yang dimiliki perusahaan untuk mendapatkan manfaat ekonomis. Bagi klub sepak bola, kemenangan dan gelar juara lebih dari sekadar prosesi pengangkatan trofi dan pengalungan medali. Dua hal itu adalah cara untuk mendapatkan pendapatan lebih tinggi. Pendapatan sponsor dan hak siar akan meningkat, begitu pula dengan uang hadiah.
Kabar baik cemerlang datang menjadi karib Milan pada 2020/21. Laporan laba-rugi menunjukkan perbaikan signifikan. Ini ditandai dengan penurunan kerugian Milan sebesar 100,278 juta euro, dari 186,599 juta euro pada 2019/20 menjadi 86,323 juta euro pada 2020/21.
Pada pos pendapatan, kenaikan drastis terjadi di sektor pendapatan hak siar dan media, dari 63,4 juta euro menjadi 138,3 juta euro. Peningkatan di sektor ini terjadi karena pemutaran beberapa laga Serie A 2019/20 pada Juli dan Agustus 2020. Keberhasilan Milan menjejak ke level Eropa pun berperan. Jangan lupa bahwa pada musim sebelumnya Milan tak berlaga di kompetisi Eropa mana pun.
Peningkatan di sektor ini adalah angin segar bagi pos pendapatan Milan. Kompetisi yang berjalan tanpa penonton membuat Milan tak bisa merengkuh pendapatan pertandingan sedikit pun.
Bicara soal pos pendapatan, Milan juga memiliki pergerakan yang meyakinkan di sektor sponsor. Penurunan pendapatan sponsor terjadi pada 2019/20, tetapi tidak mengkhawatirkan: Dari 38 juta euro pada 2018/19 menjadi 36,683 juta euro pada 2019/20.
Saat pandemi, Milan justru mendapatkan kenaikan pendapatan sponsor. Pada 2020/21, sektor ini membukukan angka 53,991 juta euro. Dalam wawancaranya bersama Forbes, petinggi Elliott yang duduk di jajaran direksi Milan, Giorgio Furlani, menjelaskan bahwa peningkatan ini juga berkaitan dengan strategi Elliott.
Menurutnya, ini adalah berkat kejelian manajemen memonenitisasi jenama Milan. Pada dasarnya, Milan adalah klub raksasa yang memiliki nilai tinggi. Sayangnya, performa buruk dan ketidakpastian dalam tahun-tahun terakhir membuat nilai tersebut menurun. Dunia industri tak lagi memandang Milan sebagai mitra bisnis yang menjanjikan.
Dari situ, Elliott juga menaruh perhatian untuk membentuk manajemen yang dapat memonetisasi Milan. Tentu saja kinerja di lapangan juga berperan karena bagaimanapun, nilai klub sepak bola ditentukan oleh performa mereka di atas lapangan. Meski demikian, membentuk tim yang mampu membuka mata pihak ketiga akan performa menjanjikan itu juga diperlukan.
Pergerakan utang bersih Milan sejauh ini juga cukup menjanjikan walau sempat mengalami peningkatan kala pandemi. Pada 2018/19, jumlahnya menurun dari 128,4 juta euro menjadi 82,9 juta euro. Lantas, pada 2019/20 jumlahnya meningkat menjadi 103,8 juta euro dan menurun lagi menjadi 101,6 juta euro pada 2020/21.
Secara sederhana, utang bersih adalah utang tetap dan lancar dikurangi dana pelunasan dan uang kas atau harta lain yang khusus disiapkan untuk pembayaran. Semakin kecil atau malah negatif utang bersih, kas perusahaan akan semakin aman. Karena itulah, penurunan utang bersih menjadi salah satu parameter penting, ini merupakan salah satu unsur yang dapat menunjukkan likuid atau tidak likuidnya keuangan perusahaan.
Mengapa RedBird Capital?
Walau berhasil mengangkat performa di lapangan dan kertas kerja, kepemilikan Elliott pada dasarnya tidak bertujuan jangka panjang. Dari situlah muncul pergerakan Milan untuk mencari pemilik baru. Adalah RedBird Capital yang pada akhirnya menjadi pemilik saham mayoritas Milan.
Perusahaan investasi asal Amerika Serikat ini bersedia menggelontorkan dana sebesar 1,3 miliar dolar AS untuk mengakuisisi kepemilikan saham mayoritas Milan pada awal Juni 2022. Seluruh prosesnya diperkirakan akan selesai pada September 2022.
RedBird Capital cukup fasih bergerak di ranah investasi olahraga, termasuk sepak bola. Selain memiliki 10% saham Liverpool, RedBird Capital berperan besar dalam mendongkrak performa klub Ligue 2, Toulouse FC.
Di bawah naungan RedBird Capital, Toulouse menjadi klub yang paling gahar bergerak di bursa transfer Ligue 2. Pemain-pemain potensial, manajer terbaik, pencetak gol terbanyak, dan pemberi assist terbanyak memahkotai kesuksesan Toulouse.
Musim 2021/22 adalah mahakarya Toulouse yang kembali ke papan atas setelah akuisisi RedBird Capital pada 2020 yang diikuti dengan janji untuk mengembalikan mereka ke Ligue 1. Pergerakan itu dilakukan dengan anggaran kurang dari 30 juta euro dengan fokus pada akademi mereka sendiri serta penggunaan data dan analisis berkualitas tinggi.
Gerry Cardinale, pendiri dan CEO RedBird Capital, menunjuk Damien Comolli yang berpengalaman sebagai presiden klub, lalu mengangkat Philippe Montanier sebagai pelatih pada 2021. RedBird disebut akan menyuntikkan dana sebesar 40 juta euro demi menjamin keamanan Toulouse berlaga di Ligue 1 pada 2022/23 dan berjuang untuk mencapai enam besar pada musim kedua di Ligue 1.
Toulouse pada akhirnya mampu menjejak ke kompetisi puncak sepak bola Prancis. Keberhasilan tersebut mengindikasikan bahwa RedBird Capital tak asal mengucurkan dana, tetapi memastikan klub paham menggunakan dana tersebut dengan semaksimal mungkin.
Cara bekerja inilah yang dipandang sesuai dengan kebutuhan Milan era sekarang. Yang dibutuhkan Milan agar tidak kembali terjerembap adalah perubahan secara bertahap, tetapi konsisten, bukannya durian runtuh. Rossoneri pernah salah langkah dalam mengatur keuangan sehingga bukannya jadi obat atas segala krisis, malah menjadi penyakit baru.
Memiliki pemilik yang berkomitmen agar nestapa tersebut tak berulang adalah langkah logis yang dapat diambil Milan. Sepak bola, bagaimanapun, tidak hanya berbicara tentang kepiawaian mencetak gol, tetapi juga kejelian mengurai benang kusut finansial.