Mission Impossible Ryan Mason

Twitter @SpursOfficial

Bersama Mason, Tottenham Hotspur berpeluang menandaskan puasa gelar 13 tahun lamanya. Namun, mereka harus lebih dulu mengalahkan Manchester City di final Piala Liga nanti.

Runtuh sudah rezim Jose Mourinho di Tottenham Hotspur. Satu setengah tahun kepemimpinannya bubar jalan tanpa ada aba-aba. Harry Kane sang wakil kapten tim saja baru tahu kabar pemecatan Mourinho 5 menit sebelum diumumkan. Ya, semendadak itu.

The Athletic menyebut atittude sebagai sebagai latar belakang Tottenham menendang Mourinho. Karena, ya, bukan rahasia lagi arsitek taktik asal Portugal itu kerap berlaku seenak jidatnya.

Momen imbang lawan Newcastle United awal April merupakan yang teraktual. “Same coach, different player,” begitu Mourinho menjawab ketika ditanyai soal ketidakmampuannya mempertahankan keunggulan seperti dulu. Dia justru menyalahkan para pemain Tottenham alih-alih menjabarkannya secara teknis.

Masalahnya, arogansi Morurinho kini tak berbanding lurus dengan prestasi. Jangankan trofi, wong dia saja masih kesulitan melindungi timnya dari inkonsistensi.

[Baca Juga: Arogansi Jose Mourinho]

Sampai akhir kepelatihannya di Tottenham, persentase kemenangan Mourinho cuma menyentuh 51,16%. Jumlah tersebut menjadi yang terendah setelah kariernya di Uniao de Leira. Bila durunut lagi, rasio kemenangan Mourinho berangsur menurun dalam beberapa edisi terakhir. Semasa di Real Madrid ke Chelsea, kemudian Manchester United.

Dari Mourinho, Tottenham sadar bahwa kecongkakan tak membawa mereka ke mana-mana. Yang ada justru para pemain The Lilywhites yang menjadi tumbal egoisme sang pelatih. Dele Alli, Tanguy Ndombele, dan Serge Aurier adalah beberapa di antaranya.

So, cara paling efektif Tottenham untuk saat ini adalah mencari pelatih baru dengan proximity lebih. Adalah Ryan Mason yang mereka pilih. Pria yang menjadi pelatih termuda sepanjang sejarah Premier League.


Mason mungkin terdengar asing. Namun, dia bukan orang lain. Pria kelahiran Enfield itu merupakan salah satu produk asli Tottenham.

Pada usia 8 tahun Mason sudah bergabung dengan klub London Utara itu meski sebenarnya kariernya cukup pendek di sana. Cuma 2 musim Mason menjadi pemain reguler. Sisanya, seperti para pemain muda lainnya, dia menghabiskan waktu sebagai pemain pinjaman di klub-klub kecil seperti Yeovil Town, Doncaster Rovers, Millwall, Swindon Town, sampai klub Prancis, Lorient.

Sampai pada musim panas 2016/17, Mason dilepas ke Hull City dengan banderol 12 juta poundsterling. Nilai tebusan segitu membuatnya menjadi pemain termahal The Tigers saat itu. Sayangnya, hanya enam bulan Mason berseragam hitam-kuning. Cedera memaksanya gantung sepatu lebih dini. 

Petaka itu terjadi pada Januari 2017, saat Hull bersua Chelsea di panggung Premier League. Kepala Mason terkena tandukkan Garry Cahill. Setelah dilarikan ke Rumah Sakit St Mary di Paddington, Mason didiagnois mengalami retak tulang tengkorak. Kepalanya robek 6 inci dan butuh 45 jahitan.

Meski telah menjalani perawatan panjang, Mason tak bisa pulih betul. Kondisinya terlalu riskan untuk kembali ke lapangan. Alhasil, dia memutuskan pensiun sebagai pesepak bola per Februari 2018.

Foto: Fanbolero

“Ryan selalu menunjukkan dirinya cerdas. Dia mengatasi keterbatasannya melalui kerja keras. Dia orang yang hangat dan rendah hati. Teladan nyata,” tulis Mauricio Pochettino dalam bukunya, "Brave New World: Inside Pochettino’s Spurs".

Pochettino adalah salah satu orang yang memercayai bakat Mason. Berbeda dengan pelatih-pelatih Tottenham sebelumnya, Pochettino memilih untuk mempertahankan Mason.

Kepercayaan itu dibuka saat Pochettino mengangkutnya ke tur pramusim ke Amerika Serikat pada awal 2014/15 dan berlanjut di Premier League. Mason menjadi tandem langganan Nabil Bentaleb di pos gelandang bertahan, menyisihkan Paulinho, Etienne Capoue, dan Benjamin Stambouli.

"Dia (Pochettino) mengubah hidupku karena dia memberi kesempatan mentas di Premier League, bermain untuk klub ini dalam derbi London Utara di Emirates,” terang Mason.

Pochettino pula yang menjadi alasan Mason kembali ke Tottenham. Tanpa pikir panjang, dia mengiyakan tawaran dari John McDermott, mantan kepala pembinaan akademi Tottenham, untuk bergabung tak lama setelah gantung sepatu.

Alasannya mutlak, Pochettino adalah teladan sempurna. Sebagai pelatih dia punya banyak keberanian untuk memberikan kesempatan kepada pemain muda. Bukan hanya dari aspek profesional, tetapi juga dari kepribadian sang pemain. Lihat saja bagaimana kesuksesan Pochettino mengembangkan Eric Dier, Kane, dan Alli.

Mason juga beruntung sudah mengobservasi dari dekat metode pelatihan Mourinho. Jadi di atas kertas, dia harusnya mengerti apa yang dibutuhkan Tottenham sekarang.


Laga debutnya sebagai pelatih tak bisa dibilang mudah. Kane terpaksa absen akibat cedera. Perlu diingat, dia merupakan topksorer sementara Premier League sejauh ini. Catatan 21 golnya setara dengan 38% total gol Tottenham di pentas liga.

Belum lagi dengan tren buruk Toby Alderweireld dkk. yang nihil kemenangan di tiga laga ke belakang. Jadi, tak ada garansi Tottenham bakal menang lawan Southampton meski itu di kandang mereka sendiri.

Namun, penilaian Pochettino soal Mason tak salah. Dia mampu menunjukkan kecerdasannya dari pinggir lapangan. Itu terjawab dengan kemenangan atas The Saints.

Well, sebenarnya Mason tak banyak mengubah pakem sebelumnya. Dia masih meneruskan formasi dasar 4-2-3-1 yang dipakai Mourinho. Bedanya, kali ini Mason memakai Lucas Moura sebagai pengganti Kane di lini depan, kemudian menaruh Giovani Lo Celso sebagai gelandang serang. Gareth Bale, yang dicadangkan dalam tiga duel sebelumnya, didaftarkan sebagai starter.

Pada awalnya skema racikan Mason tak berjalan mulus. Untuk pertama kalinya di laga kandang Premier League musim ini, mereka nihil shoot on target di babak pertama. Cuma 0,30 xG Tottenham dalam rentang waktu tersebut; kalah jauh dari Southampton yang mengumpulkan 1,03. 

Baru di babak kedua fluiditas Son Heung-min, Bale, dan Moura berbuah hasil. Gol pembuka Tottenham lahir dari pergerakan mereka. Setelah memutar badan, Son melepaskan umpan kepada Moura. Meski berhasil diblok Mohammed Salisu, Bale sukses menyambar bola dari sisi kanan.

Sekali lagi pergerakan Son-Moura berhasil melumpuhkan pertahanan Southampton. Akan tetapi, gol eks Bayer Leverkusen itu dianulir wasit karena Moura lebih dulu terperangkap offside. Akhirnya agresivitas Tottenham terbayar lunas di menit 90. Sergio Reguilon dilanggar Moussa Djenepo di kotak terlarang. Momen itu ditutup dengan gol penalti Son.

Buat sebagian orang, cerita kemenangan Tottenham ini mungkin terdengar klise. Namun, tidak begitu buat para pelakunya. Tiga poin itu penting untuk menandai lembaran baru mereka. Setidaknya, Mason sudah menunaikan sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang dilakukan Mourinho dalam tiga pertandingan pemungkasnya.

Puja-puji untuk pun Mason berdatangan, termasuk dari kapten tim, Hugo Lloris. Walau usianya 5 tahun lebih tua dari Mason, dia tak segan memuji treatment sang pelatih. 

“Bahkan dengan waktu yang singkat, dia memberi kami sebuah struktur tim, sebuah bentuk. Dia memberi kami pendekatan sepak bola yang baik,” kata Lloris selepas pertandingan. Lloris menambahkan, “Dia memang baru berusia 29 tahun, tetapi menunjukkan kedewasaan dan kepercayaan diri lebih dari itu. Dia mengirimkan energi hebat kepada para pemain.”


Di final Piala Liga, Minggu (25/4/2020), Mason berpeluang mempersembahkan gelar pertama buat Tottenham. Trofi ini bukan sekadar rekor pribadi, lebih dari itu. Trofi ini bakal menandaskan 13 tahun penantian gelar The Lilywhites

Akan tetapi, lawan Tottenham nanti bukan tim sembarangan: Manchester City pimpinan Pep Guardiola. See? Bisa dibayangkan betapa sulitnya ujian Mason kali ini. Seorang newbie sepertinya bakal beradu dengan Guardiola si master taktik nomor wahid. 

Namun, kalau pekan lalu Mason berhasil “mengalahkan” Mourinho, bukan tak mungkin ia mengandaskan Guardiola, 'kan?