Mit Jackson
Saya berbincang dengan Jackson Irvine soal band favoritnya, respons terhadap gayanya yang viral di Indonesia, dan peran untuk St. Pauli di lapangan.
Dalam sebuah wawancara, Jackson Irvine pernah bilang bahwa di waktu senggang ia akan menghabiskan waktu menonton pertunjukan musik. Dari satu gig ke gig yang lain. Jika mengintip Instagram Story-nya, beberapa kali Irvine memang membagikan momen saat ia menonton konser.
Lantas ketika saya bertanya apa band favoritnya, dengan lantang Irvine menyebut The Velvet Underground. “Saya punya tato Lou Reed (gitaris dan vokalis The Velvet Underground, red) di sini (menunjuk lengan kirinya),” ujarnya kepada saya.
Di luar lapangan, Irvine terlihat lebih seperti anak band ketimbang pesepak bola. Jika saya tak mengenal siapa dirinya dan bertemu ia di Sternschanze (katakanlah seperti Senopati atau Cipete-nya Hamburg) saya akan mengira ia anggota band indie alternatif atau pemilik coffee shop.
Gayanya keren (atau meminjam kata-kata anak sekarang, kalcer). Ia terbiasa menggantungkan tote-bag di lengan, memasukkan kaus atau jersei ke dalam celana, memakai beanie atau topi. Kumisnya tertata dengan rapi (bahkan beberapa kali saya lihat ia merapikan kumis saat berbicang dengan wartawan), tato memenuhi lengannya.
Jika berumur 30 nanti, saya ingin bisa bergaya seperti Irvine. Dan mungkin pun begitu dengan banyak anak muda lain. Tak heran belakangan perbincangan soal gayanya di luar lapangan menjadi viral di Indonesia. Momen saat ia datang ke kamp latihan Australia dengan jersei Nigeria ber-nameset Okocha mendapat pujian.
Saat saya menceritakan itu padanya, respons pertama Irvine adalah tertawa. Ia lantas bilang, “Indonesia? Oh, itu sangat menarik. Saya tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi, tapi saya hanya mencoba menjadi diri saya sendiri. Bagaimana saya bergaya, itu menunjukkan diri saya sendiri. Saya senang jika kalian pikir bahwa itu cool.”
Di luar lapangan, Irvine tak hanya punya gaya yang bagus. Ia juga melakukan aktivitas-aktivitas yang layak mendapat aplaus, seperti apa yang dilakukan bersama FIFPro, misalnya.
Irvine bergabung dengan serikat pesepak bola dunia itu sebagai Global Player Council untuk menyuarakan hak-hak pemain. Dalam hal ini, Irvine akan fokus kepada isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender dan hak-hak pesepak bola sebagai pekerja. Bergabungnya ia di FIFPro inilah yang kemudian membuatnya bertemu Casemiro dalam sebuah video yang belakangan viral itu.
Sebagai kapten dari klub berhaluan “kiri”, St. Pauli, Irvine juga menyuarakan sudut pandang yang sama. Dalam sebuah kampanye hari tanpa kendaraan pribadi yang dilakukan klub, misalnya, pemain Tim Nasional Australia ini adalah sosok yang dipilih sebagai representasi klub.
Bukan, ini bukan karena ia merupakan kapten tim. Namun, ini karena dalam kesehariannya Irvine adalah sosok yang pergi ke pertandingan dengan menggunakan transportasi umum. Ia mengaku tak memiliki mobil pribadi di Hamburg dan memilih pergi dengan bus atau kereta dalam kota.
Saya bilang dengan nilai-nilai dan gaya yang dimilikinya itu, ia juga bisa disebut sebagai rockstar jika tidak sebagai pesepak bola. “Saya sangat senang jika ada yang menyukainya. Saya ingin berbagi dengan banyak orang soal ini, jadi terima kasih buat (orang-orang di Indonesia) yang menyukainya,” respons Irvine.
Dan jika ada pemain yang bisa setelah pertandingan derbi bisa ditemukan berbaur dengan beberapa suporter untuk minum bersama, misalnya, itu juga adalah Irvine. Saya merasa tak ada yang lebih cocok daripada seorang Irvine mengkapteni klub seperti St. Pauli.
***
Di atas lapangan, Irvine juga sosok yang layak mendapat pujian. Tak berlebihan jika menyebutnya sebagai salah satu gelandang terbaik di 2. Bundesliga musim ini. Jika kamu membuka situs WhoScored dan mencari susunan pemain terbaik sepanjang musim (sampai gameweek 26), kamu akan menemukan nama Irvine di sana.
Bermain sebagai gelandang yang punya tugas untuk mengover pertahanan, pemain berusia 30 tahun ini menjalankan tugasnya dengan baik. Ia ada di daftar teratas sebagai pemain dengan catatan intersep rerata terbanyak di 2. Bundesliga lewat torehan 2 intersep per gim. Ia memang gelandang yang pintar membaca permainan.
Di tengah laga, saya sering memperhatikan Irvine melakukan screening. Ia melihat posisi rekan-rekannya, posisi lawan, dan kemudian menempatkan diri di jalur umpan agar bisa mencuri bola dari lawan. “Fabian (Huerzeler, red) ingin saya berada di posisi ini (di depan lini pertahanan) untuk melakukan screening, menjaga mereka (lini pertahanan),” ujar Irvine.
“Kami ingin melakukan break-up play, untuk memulai serangan dengan cepat. Buat saya, yang terpenting dari intersep adalah itu bisa membuat kami melakukan serangan balik. Bagaimana memenangkan bola (kembali) dan secepat mungkin membuat tim kami mendapat momen untuk mencetak gol,” tambahnya.
Tak cuma itu, jika memperhatikan permainannya, Irvine juga akan menjadi gelandang yang ditugaskan untuk maju sampai ke sepertiga akhir pertahanan lawan. Ia biasanya menempatkan diri di half-space untuk menjadi opsi umpan. Dan ketika ada umpan silang, ia akan bergerak ke dalam kotak penalti untuk menerima bola.
Irvine sangat baik soal itu, di mana ia memiliki lompatan dan sundulan yang akurat. Tak heran kalau musim ini ia sudah mencetak tujuh gol buat St. Pauli dan sebagian besar lahir dari sundulan kepala. Ia juga mendapat julukan “Airvine” dari para suporter untuk itu. Dan jelas, ia salah satu pemain favorit di tim.
***
Irvine meladeni dua interview ko lain sebelum berbincang singkat dengan saya. Ia juga baru saja melewati 90 menit yang melelahkan dalam pertandingan alot melawan Jahn Regensburg di mana melakukan tujuh tekel dan dua sapuan. Serta, di tengah pekan ia juga baru kembali dari tugas membela Australia di jeda internasional. Namun, ia masih bisa meladeni saya sambil tertawa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tanpa terburu-buru. Buat saya, itu adalah sikap rispek.
Irvine memang menghabiskan sebagian besar kariernya bermain untuk klub divisi dua seperti Burton Albion, Hull City, dan sekarang St. Pauli. Ia memang pernah membela klub sebesar Celtic, tapi itu bukan perjalanan yang panjang. Karena itu, sorotan padanya datang justru pada momen-momen di luar sepak bola, seperti pertukaran jersei dengan Olivier Giroud, video bersama Casemiro, dan berkat gaya kerennya di luar lapangan.
Itu semua jelas bukan sesuatu yang negatif. Irvine juga senang ia dikenal sebagai pesepak bola yang keren karena menurutnya ia juga bisa membagikan bagian dari dirinya kepada audiens yang lebih besar.
Akan tetapi, mengingat ia juga merupakan pemain kaliber Piala Dunia yang tampil menghadapi megabintang seperti Kylian Mbappe atau Lionel Messi, saya juga berharap suatu saat nanti Irvine bisa mendapat sorotan atas penampilannya di divisi utama seperti Bundesliga. Dan tentu saja, itu bersama St. Pauli.
*Mit, di judul, adalah Bahasa Jerman untuk "with" atau "dengan/bersama". Digunakan karena pelafalannya juga mirip kata "meet".