Mr. Nice Guy

Foto: Instagram @mister.ranieri

Media kerap melabeli Claudio Ranieri dengan "The Tinkerman", tapi menurut pengalaman pemainnya, ia lebih cocok disebut "Mr. Nice Guy".

Claudio Ranieri masih dapat mengingat dengan detail masa awalnya berada di dunia kepelatihan. Tanpa pengalaman melatih, bayaran yang tak seberapa, dan tidak mendapatkan dukungan keluarga.

Ranieri sebetulnya berada di persimpangan jalan selepas pensiun sebagai pesepak bola. Masalah utamanya tentu saja orang tua. Mereka menghendaki Ranieri, yang saat itu berusia 35 tahun, meneruskan bisnis rumah jagal milik keluarga.

Sebagai pesepak bola, karier Ranieri terbilang biasa saja. Meski sempat bergabung di tim junior AS Roma, kariernya lebih banyak di klub-klub medioker. Catanzaro, klub yang paling lama diperkuat Ranieri, lebih banyak berkutat di level kedua meski juga pernah bermain di Serie A.

Tidak ada yang tahu bagaimana cara Ranieri mengelak dari tawaran itu. Tahu-tahu, ia ditemukan telah memulai hidup sebagai pelatih di klub bernama Vigor Lamezia. Kedatangan Ranieri sedikit mengubah peruntungan Vigor Lamezia.

Sikap yang paling diingat oleh anak asuhannya dari masa di Vigor Lamezia adalah keramahannya. Menurut salah satu mantan pemain Vigor Lamezia, Fabio Fraschetti, Ranieri tak pernah memarahi mereka.

“Ia tidak pernah memarahi kami walau kami kalah di hari sebelumnya. Ia menggunakan pendekatan yang berbeda untuk memantik semangat kami,” kata Fraschetti. “Ia selalu menjadi yang paling depan saat kami dikritik dan selalu membalas kritikan tersebut dengan senyuman.”

Metode tersebut membangkitkan gairah para pemainnya. Fraschetti ingat bahwa Vigor Lamezia memenangi 12 pertandingan secara beruntun kemudian. Sehari setelah merayakan kemenangan ke-12, Ranieri memutuskan pergi.

“Ada seorang agen pemain yang memiliki hubungan dekat dengan pemilik klub saat itu. Ia (pemilik klub) pun menyuruh Ranieri memainkan pemain yang diageni oleh agen tersebut. Ranieri tak peduli. Ia memilih pemain yang menurutnya layak untuk dimainkan,” kata Fraschetti.

Keputusan Ranieri untuk tidak meninggalkan klub saat jatuh membuat anak asuhnya terharu. Mereka merasa bahwa Ranieri adalah sosok berjiwa besar yang selalu maksimal meski harus bekerja di luar nalar. Ia kemudian mendapatkan julukan “brav'uomo" atau "Mr. Nice Guy” dari mereka.

Dalam buku “No More Mr. Nice Guy” karangan Robert Glover, nice guy bermakna pria yang menempatkan kepentingan bersama di atas dirinya, memberikan dukungan emosional, dan berusaha menghindari masalah. Intinya, pria yang baik-lah.

Pertualangan Ranieri dimulai sejak itu. Dari klub biasa saja, ia merangkak ke satu klub yang lebih besar hingga kemudian membawanya ke Cagliari. Di sini, nama Ranieri mulai diperhitungkan di dunia kepelatihan dan dicintai pendukung Cagliari.

Mantan pemain Cagliari, Ivo Pulga, mengatakan bahwa Ranieri punya satu target unik yang jarang ditemukan di pelatih lain: Mendapatkan dukungan suporter. Menurut Pulga, Ranieri selalu mengingatkan bahwa bahwa sepak bola bukan hanya milik tim, tetapi juga suporter

“Ia selalu mengajak kami untuk berjalan-jalan setiap Senin sore. Kami selalu mengakhiri perjalanan tersebut dengan bergantian mengunjungi bar milik kelompok suporter Cagliari dan menenggak wine yang disajikan di sana,” kata Pulga kepada The Guardian.

Di bawah Ranieri, Cagliari hanya butuh dua musim untuk promosi dari C1 ke Serie A. Kemampuannya mengutak-atik taktik membuat permainan Cagliari tidak terbaca lawan. Andai Italia sekejam Inggris, barangkali julukan “The Tinkerman” lebih pantas diberikan kepada Ranieri saat ia menjabat di Cagliari.

Julukan “The Tinkerman” didapatkan oleh Ranieri semasa memimpin Chelsea karena alasan tersebut. Media Inggris, terutama yang mengamati Chelsea pada musim 2002/03, melakukan banyak perubahan pemain.

Hal tersebut ternyata dimaklumi oleh Ranieri. Ia tidak mempersoalkan julukan tersebut. Dalam sebuah sesi wawancara, ia mengatakan bahwa segenap perubahan yang dilakukannya demi mengadaptasi cara bermain lawan.

Pendekatan tersebut menjadi label Ranieri hingga kini. Padahal, di luar itu, Ranieri memberikan banyak kesan untuk Chelsea, salah satunya adalah menghabiskan banyak waktu untuk menonton BBC News 24 demi memperbaiki kemampuan Bahasa Inggris-nya yang belepotan.

Ranieri juga mengorbitkan beberapa pemain muda, termasuk John Terry. Terry ditemukan oleh Ranieri semasa bermain di tim cadangan. Melihat penampilan Terry yang menawan, Ranieri tak butuh waktu lama untuk membawanya ke tim utama dan menjadikan wakil kapten di musim berikutnya.

Dalam sebuah wawancara, Ranieri pernah menolak berbicara setelah dicecar oleh wartawan terkait rumor utang Ken Bates. Utang tersebut membuat Bates memilih menjual Chelsea kepada taipan Rusia, Roman Abramovich.

31 Mei 2004 jadi hari terakhir Ranieri di Chelsea. Rumor pemecatan Ranieri telah terdengar jauh sebelum itu. Beberapa hari setelah mengakuisisi Chelsea, Abramovich ketahuan bertemu Sven-Goran Eriksson. Pada akhirnya, bukan Eriksson yang menjadi pengganti Ranieri, melainkan Jose Mourinho.

“Rumah ini belum sepenuhnya jadi. Saya hanya membangun fondasi dan memasang lantainya,” kata Ranieri di hari itu.

Sepuluh tahun sejak dipecat Chelsea, Ranieri menghabiskan banyak waktu di banyak klub, mulai dari Valencia, Parma, Juventus, Inter Milan, hingga Monaco. Pada pertengahan 2014, ia mendapatkan tawaran dari Tim Nasional Yunani.

Posisi pelatih Yunani tengah lowong setelah Fernando Santos mengundurkan diri. Bagi Ranieri, melatih tim nasional jadi pengalaman baru. Ia pun tak banyak berpikir dan langsung menandatangani kontrak beberapa hari setelah dihubungi.

Masa kepelatihan Ranieri ternyata tidak lebih dari lima bulan di tim ini. Ia dipecat setelah Yunani kalah dari Kep. Faroe dalam Kualifikasi Euro 2016. “Bagaimana saya bisa berhasil jika saya hanya punya waktu untuk membangun tim dalam 12 hari? Saya ini bukan pesulap,” kata Ranieri.

Kegagalan di Yunani barangkali sudah digariskan oleh Tuhan. Tanpa pemecatan tersebut, ia mungkin akan sibuk mengamati para pemain di berbagai belahan dunia. Dengan menganggur, ia jadi punya waktu untuk menemani cucunya yang beranjak besar.

Menemani cucu adalah pekerjaan baru Ranieri selepas pergi dari Yunani. Namun, entah ada perasaan apa, ada satu hari yang membuatnya enggan menemani cucunya dan memilih untuk bersantai di rumah.

Saat tengah santai, agennya, Steve Kutner, menghubunginya dan memintanya siap-siap apabila Leicester City memintanya untuk presentasi. Sebelum menghubungi Ranieri, Kutner sudah berbicara panjang lebar dengan Director of Football Leicester, Jon Rudkin.

Ranieri akhirnya diundang. Pertemuan tersebut diikuti banyak petinggi Leicester, minus sang pemilik, Vichai Srivaddhanaprabha. Ranieri kemudian menjelaskan gaya permainan yang ia anut dan caranya memimpin tim. Semua petinggi Leicester sepakat, tetapi palu ada di Srivaddhanaprabha.

Pertemuan kedua melibatkan Srivaddhanaprabha. Tak butuh waktu lama bagi Srivaddhanaprabha untuk sepakat dengan petinggi lainnya. Ranieri terpilih dan ia segera berkemas untuk membawa barang masuk ke kantornya.

Menurut wartawan The Guardian, Stuart James, Ranieri memajang seluruh foto manajer tim Premier League. Tujuannya sederhana, Ranieri ingin mereka merasa senang saat diberikan jamuan setelah pertandingan di ruangan tersebut.

Siapa sangka, hampir semua manajer merasakan kekaguman dengan cara yang dilakukan oleh Ranieri. Siapa sangka pula, Ranieri hanya butuh satu tahun untuk membawa Leicester City menjadi juara.

Sulit membayangkan Leicester sebagai juara. Secara permainan, mereka bermain amat sederhana. Mereka lebih banyak diingat lewat permainan yang agresif dan siap mengejar bola ke seluruh penjuru lapangan. Tak ada nama Ranieri di sana.

Namun, dalam sebuah wawancara, Riyad Mahrez berkata bahwa otak permainan Leicester adalah Ranieri. Tidak ada hal yang rumit secara permainan karena Ranieri selalu mengedepankan mental.

“Ia selalu memberikan dukungan moral kepada pemain. Ia selalu meminta kami melakukan yang terbaik di atas lapangan dan melakukan semuanya untuk tim. Menurut saya, hal itu yang membuat kami selalu percaya bisa memenangi pertandingan,” ujar Mahrez.

"Saya selalu ingat bagaimana ia memperlakukan kami dengan begitu baik. Setiap perlakuannya membuat kami selalu ingin membalasnya dengan hasil yang terbaik. Saya hanya mempunyai kenangan baik dengannya,” imbuh Mahrez.

Begitulah Ranieri. Ia tidak hanya dipandang baik oleh pelatih lawan, tetapi juga oleh anak asuhnya. Jika film Mr. Nice Guy dibuat lagi, barangkali Ranieri bisa menjadi pemeran utamanya.