Muda dan Konsisten

Ilustrasi: Arif Utama

Salah satu hal yang sulit dimiliki pemain muda adalah konsistensi. Yang bagus banyak, tetapi yang konsisten sedikit. Yang sedikit itu adalah Kylian Mbappe dan Erling Haaland.

Ketika Kylian Mbappe dan Erling Haaland tampil memukau di babak 16 besar Liga Champions, publik sepakat bahwa mereka adalah calon pemain terbaik dunia.

Era Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo akan segera usai. Tiga hingga lima tahun lagi, perbincangan apakah keduanya adalah pemain terbaik dunia bakal terkikis. Tongkat estafet diyakini akan beralih ke Mbappe dan Haaland. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Sejauh ini, keduanya adalah pemain muda yang terus menunjukkan konsistensi.

Sejak namanya mencuat pada 2016, Mbappe tak pernah mengendur. Empat gelar Ligue 1, satu trofi Piala Dunia, dan satu runner-up Liga Champions sudah dia raih. Soal raihan individu, sudah dua musim terakhir dia jadi top-skorer Ligue 1.

Haaland juga begitu. Sejak namanya mencuat pada 2019, Haaland terus tampil konsisten. Gelar Golden Boy telah diraih dan torehan golnya juga mentereng. Musim ini, dia sudah mencetak 17 gol di Bundesliga. Sementara di Liga Champions, dia sedang memuncaki daftar top-skorer dengan raihan delapan gol.

Foto: Liga Champions

Konsistensi yang terus ditunjukkan oleh Mbappe dan Haaland inilah yang membuat publik yakin keduanya akan jadi yang terbaik jika era Messi dan Ronaldo usai.

Jika ada yang bertanya, "apa tak ada pemain lain yang bisa jadi kandidat selain mereka berdua," jawabannya: Belum kelihatan. Pemain muda potensial banyak, tetapi yang saat ini tampil sekonsisten seperti Mbappe dan Haaland belum ada.

***

Salah satu hal penting yang harus dilakukan pemain muda untuk mencapai level terbaik adalah dengan tampil konsisten. Sialnya, tak semua bisa melakukan itu. Banyak yang meletup-letup di masa muda dan kemudian meredup saat menginjak puncak karier.

Tak usah jauh-jauh mengambil contoh. Tengok saja daftar pemenang Golden Boy yang katanya merupakan gelar untuk pemain muda terbaik. Sejak ajang itu diadakan pada 2003, cuma Messi yang berhasil naik kelas dengan jadi pemenang Ballon d'Or atau Pemain Terbaik Dunia versi FIFA.

Atau, jika jadi pemenang terlalu berat, boleh kita kerucutkan lagi. Dari daftar pemenang sejak 2003, cuma Lionel Messi yang pernah masuk tiga besar Ballon d'Or atau Pemain Terbaik Dunia versi FIFA. Sementara itu, pemenang lainnya banyak yang mengalami penurunan performa saat menginjak usia emas.

Kita tahu betapa banyak puja-puja yang diberikan kepada Anderson, Alexandre Pato, atau Mario Balotelli muda. Mereka dianggap punya potensi untuk jadi pemain kelas satu. Sayangnya, penampilan mereka justru merosot tajam. Tak pernah sama sekali sampai ke puncak.

Nama Anthony Martial atau Renato Sanches yang jadi pemenang di tahun 2015 dan 2016 pun begitu. Sempat mengejutkan dunia berkat penampilan impresif di usia muda, kedua pemain itu malah melempem saat sudah punya label pemain senior. Martial angin-anginan di Manchester United, sedangkan Sanches saat ini cuma bermain di Lille.

Joao Felix yang jadi pemenang di tahun 2019--dan bisa disebut seangkatan dengan Haaland dan Mbappe--pun belum menunjukkan performa yang membuat orang-orang menaruh perhatian lebih padanya seperti saat masih berseragam Benfica. Felix kesulitan tampil konsisten.

Berdasarkan jurnal olahraga yang dibuat oleh Øystein Røynesdal (Norwegian School of Sport Sciences), Tynke Toering (Hanzehoegeschool Groningen), dan Henrik Gustafsson (Karlstads Universitet) salah satu faktor yang menyebabkan seorang pemain muda potensial gagal menjaga performanya tetap berada di level atas adalah karena kesulitan beradaptasi di suasana klub yang lebih kompetitif.

Ini biasanya dialami pemain muda yang baru dipromosikan dari tim junior ke senior, atau pemain muda yang pindah dari klub biasa saja ke klub besar. Terdapat tekanan (pressure) besar untuk mereka. Ketika melakukan kesalahan dalam sebuah latihan, sorotan akan langsung mengarah pada mereka.

Belum lagi kalau kultur ruang ganti klub tersebut cukup panas, para pemain muda akan punya tantangan yang lebih berat. Persoalan komunikasi juga sering kali jadi masalah. Jika seorang pemain muda pindah ke sebuah negara baru di mana dia tak menguasai bahasa negara tersebut, komunikasi akan jadi PR yang amat sulit. Belum lagi jika tak ada rekan senegara atau satu bahasa di tim tersebut.

Untuk soal kesulitan beradaptasi ini, Renato Sanches bisa jadi contoh. Ketika pindah dari Benfica ke Bayern Muenchen, pemain berpaspor Portugal itu tak bisa nyetel. Padahal kita tahu seberapa mencoloknya penampilan Sanches di Benfica dan Tim Nasional Portugal. Pada akhirnya dia gagal menembus tim inti dan justru lebih banyak dipinjamkan hingga akhirnya dilepas.

Persoalan lain yang acap jadi masalah adalah gaya hidup yang buruk. Mario Balotelli adalah contoh terbaik soal ini. Sempat menang Golden Boy pada tahun 2010, karier Balotelli tak keruan. Sempat berseragam Manchester City, Liverpool, dan AC Milan, karier pria Italia itu belakangan hanya dihabiskan di klub semenjana seperti Brescia dan Monza.

Soal lainnya adalah cedera. Ini kadang yang sulit diprediksi. Contohnya juga banyak. Ada Alexandre Pato atau Ousmane Dembele, misalnya. Nama pertama digadang-gadang bakal jadi striker terbaik Brasil saat masih berseragam AC Milan. Namun, cedera membuat penampilan dan kariernya merosot. Pato tak pernah sampai titik tertinggi.

Sementara Dembele masih gagal membuktikan diri meski dinilai sebagai salah satu talenta terbaik di Eropa saat ini. Cedera demi cedera yang terus menerpa membuat dia belum bisa berbuat banyak di Barcelona. Padahal dia ditebus dengan harga yang sangat mahal dari Borussia Dortmund.

Salah memilih klub juga jadi opsi mengapa seorang pemain muda gagal konsisten berada di level teratas. Dan dalam hal ini, izinkan kami menunjuk Neymar sebagai contoh. Usianya sudah 29 tahun saat ini dan terakhir kali dia masuk dalam daftar tiga besar Ballon d'Or itu terjadi pada tahun 2017.

Dengan apa yang ditunjukkannya saat masih berseragam Barcelona pada 2014/15, seharusnya dia bisa jadi penerus Messi dan Ronaldo untuk jadi pemain terbaik dunia. Namun, kepindahannya ke Paris Saint-Germain (PSG) membuat namanya mulai hilang dari hitungan. Terlebih saat ini orang-orang akan lebih memilih rekan setimnya, Mbappe, ketimbang Neymar sendiri.

Pada akhirnya, menjadi pemain muda yang konsisten untuk selalu berada di level teratas memang tak mudah. Ada saja rintangan yang akan dihadapi dan, jika terpeleset, siap-siap turun ke level yang lebih rendah.

***

Mbappe dan Haaland sejauh ini membuktikan bahwa mereka tak mudah terpeleset. Kualitas itu yang belum ditunjukkan pemain lainnya.

Kalau ada nama muda yang mungkin bisa menyaingi konsistensi mereka, mungkin itu ada pada pemain seperti: Alphonso Davies, Trent-Alexander Arnold, Jadon Sancho, atau Ansu Fati. Namun, sial bagi dua nama pertama: meraka bukan pemain depan. Sementara Jadon Sancho kita tahu adalah orang Inggris dan Fati kerap dibekap cedera.

Sementara itu, Kai Havertz masih harus menunjukkan konsistensi di kompetisi baru mereka, pun begitu dengan Joao Felix, Frenkie de Jong, atau Vinicius Jr. Phil Foden harus dapat menit bermain yang lebih banyak dan itu berlaku juga buat Matthijs de Ligt.

So, mari melihat tiga hingga lima tahun ke depan untuk mengetahui siapa yang benar-benar bakal berkompetisi untuk mengambil tongkat estafet dari tangan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.