Mueller, Boateng, Hummels: Perlukah Jerman Memanggil Mereka Kembali?
Karena ingin membangun Jerman dengan wajah baru, Joachim Loew menyingkirkan Thomas Mueller, Jerome Boateng, dan Mats Hummels. Kini, perlukah Jerman memanggil mereka kembali?
Lima tahun setelah Philipp Lahm berhenti dari Timnas Jerman, tiga nama lain yang kala itu berseragam Bayern Muenchen juga mengalami hal serupa. Mereka adalah Thomas Mueller, Jerome Boateng, dan Mats Hummels.
Bedanya, Lahm menutup karier Timnasnya dengan catatan gemilang bernama gelar Piala Dunia 2014, sedangkan tiga nama tadi berhenti tak lama setelah kegagalan memalukan di Piala Dunia 2018.
Segalanya kian menyebalkan karena mereka bukan pensiun atas dasar keinginan sendiri seperti Lahm. Pensiunnya Mueller, Boateng, dan Hummels terjadi sebab pelatih Joachim Loew enggan memanggil mereka kembali.
Loew mengumumkannya pada awal 2019 dengan dalih bahwa sudah saatnya melakukan peremajaan skuad. Berkaca pada masa lampau, Loew berpengalaman melakukannya. Pada Piala Dunia 2010, ia pernah menyingkirkan beberapa nama senior untuk digantikan nama-nama baru.
Ajang itu lantas melahirkan nama-nama seperti Mueller, Mesut Oezil, Sami Khedira, Manuel Neuer, hingga Jerome Boateng. Tak cuma itu, Die Mannschaft bahkan mampu menembus babak semifinal sebelum akhirnya merebut medali perunggu usai mengalahkan Uruguay.
Mari simak Piala Konfederasi 2017 untuk membuktikan bahwa yang Loew lakukan bukan kebetulan belaka. Pada ajang itu, Loew tak menyeratakan tim utama. Ia membawa nama-nama baru macam Leon Gortezka, Benjamin Henrichs, hingga Karem Demirbay. Hasilnya, Jerman berhasil menjadi juara.
Hal seperti itulah yang ingin kembali Loew lakukan. Terlebih, selain upaya menyegarkan skuad, performa trio Bayern itu juga sedang buruk. Capaian negatif di Piala Dunia 2018 dan UEFA Nations League jadi buktinya. Bersama Bayern pun, mereka sulit mencapai bentuk terbaik.
Keputusan Loew semakin masuk akal karena beberapa masalah internal yang sempat menyertai mereka. Selama Piala Dunia 2018, seperti dilaporkan Bild, skuad Jerman terpecah menjadi dua kubu. Bild menyebutnya sebagai The Bavarians dan Bling-bling Gang.
The Bavarians berisikan nama-nama senior yang sebagian besarnya pemain dan eks pemain Bayern, sedangkan Bling-bling Gang diisi pemain seperti Marc Andre Ter Stegen, Julian Draxler, hingga Mesut Oezil. Grup kedua menduga, The Bavarians punya andil di balik tak masuknya Leroy Sane ke skuad Jerman.
Indikasinya terlihat dari ucapan beberapa pemain Bayern. Hummels, misalnya, yang pernah menyebut pemain seperti Sane butuh waktu tak sebentar agar punya kedudukan setara Mueller. Dia juga mengkritik beberapa pemain baru yang berlagak seperti sudah tiga tahun berada di tim.
Tak ada kepastian mengenai gosip tersebut, bahkan hingga hari ini. Namun, seandainya memang benar, berarti Loew punya alasan kuat di balik keputusannya. Apalagi upaya meremajakan skuad berarti mesti memasukkan nama-nama belia, termasuk Sane tadi.
“Menjelang kualifikasi Piala Eropa 2020, kami menyatakan bahwa ini adalah awal yang baru. Kami ingin memberi wajah baru di tim. Pemain-pemain muda timnas akan mendapatkan ruang untuk berkembang secara penuh. Sekarang semua tanggung jawab berada pada mereka,” kata Loew.
Meski begitu, sederet tanya terus berdatangan. Kenapa hanya ketiga pemain itu yang dilepas? Mengapa Toni Kroos yang juga cukup sering mengkritik sikap para pemain muda tak mengalami hal serupa? Apa pula alasan Marco Reus yang rutin cedera masih saja dipanggil?
Sayangnya, Loew sudah keburu mengubah kepalanya menjadi batu. Untuk semua keputusan yang sudah diambil bersama DFB, Loew enggan membatalkannya. Tekadnya sudah sangat bulat sehingga dimulailah perjalanan Jerman dengan wajah baru.
Aspek pertama yang berubah jelas deretan nama di skuat Jerman. Ada Serge Gnabry, Timo Werner, Kai Havertz, Leroy Sane, Lukas Klostermann, dan beberapa nama lain. Kedua, Loew coba mengubah pendekatan bermain Jerman menjadi lebih direct dan cepat.
Loew sebetulnya tak asing dengan pendekatan demikian. Bahkan di Piala Dunia 2010 dan 2014, Jerman mengandalkan gaya main seperti itu. Namun, di Piala Dunia 2018 yang hasilnya luluh lantak, Jerman cenderung bertele-tele dan seolah-olah terlalu obsesif pada penguasaan bola.
Hal demikian yang ingin Loew ubah. Pelatih berusia 61 tahun itu ingin mengembalikan permainan cepat yang sempat membawa Jerman terbang tinggi. Jerman juga tampak lebih variatif dari segi taktik. Mereka tak melulu main dengan empat bek, tetapi terkadang tiga bek.
Pada empat laga awal sejak berganti muka, Jerman tampak menjanjikan. Tiga kemenangan dan sekali imbang berhasil mereka peroleh. Setelahnya, performa Jerman menurun, terutama kala melawan tim kuat. Mereka takluk dari Belanda, imbang dengan Argentina, dan dihajar Spanyol 0–6.
Catatan tersebut kembali membawa omongan soal Mueller, Boateng, dan Hummels untuk kembali ke Timnas. Terlebih, penampilan mereka sedang bagus-bagusnya, terutama Mueller dan Boateng. Dua pemain ini adalah sosok penting di balik treble winner Bayern pada 2019–20.
Secara individu catatan Mueller dan Boateng juga spesial. Mueller mampu membukukan 21 assist dan 8 gol di Bundesliga. Boateng, sementara itu, punya akurasi passing mencapai 89 persen serta angka intersep (1,3) dan clearance (2,3) per laga yang cukup tinggi.
Eks pemain Jerman, Mesut Oezil, lantas menilai bahwa semua catatan itu mestinya bisa jadi alasan kuat bagi Loew untuk meralat keputusannya. Legenda Jerman sekaligus Bayern, Franz Beckenbauer, juga mengungkapkan hal serupa. Begitu pula dengan Bastian Schweinsteiger.
Menurut Schweinsteiger, Jerman membutuhkan kualitas dan pengalaman yang kedua pemain tersebut miliki. Terlebih, performa sejumlah pemain yang kini mengisi peran Mueller dan Boateng tak stabil.
Simak saja Kai Havertz. Digadang-gadang sebagai penerus Mueller, Havertz hanya sanggup menciptakan dua gol dan satu assist di seluruh laga Jerman sejak 2020 (9 pertandingan). Khusus musim ini, status Havertz sebagai wonderkid paling hot Jerman bahkan tak terlihat di Chelsea.
Yang terjadi di lini belakang lebih parah lagi. Selepas kepergian Boateng dan Hummels, Jerman tak punya bek tengah kualitas kelas satu. Antonio Ruediger, Niklas Suele, Matthias Ginter, hingga Jonathan Tah performanya angin-anginan, baik di level klub maupun kala membela Jerman.
Loew tampaknya paham dengan situasi ini. Itulah mengapa dia berulang kali mengotak-atik susunan lini belakang untuk mencari komposisi terbaik. Masalahnya, seperti yang pernah dikeluhkan Kimmich akhir tahun lalu, terus-menerus mengganti susunan membuat tim menjadi tak stabil.
Sudahlah secara individu tak terlalu menonjol, kerap melakukan perubahan pula, masuk akal jika lini belakang Jerman amat keropos. Dalam tujuh laga terakhir, 14 kali gawang Jerman bobol, yang enam di antaranya diderita tatkala takluk 0–6 dari Spanyol.
Kondisi itu diperparah dengan tak adanya sosok pemimpin di lini pertahanan. Ini memang jadi masalah mengingat tak ada satu pun pemain senior di lini belakang Jerman. Padahal, menurut Schweinsteiger, setidaknya Jerman mesti punya seorang juru bicara di lini belakang.
Nah, Boateng dan Hummels atau setidaknya salah satu di antara mereka bisa mengisi peran tersebut.
Omong-omong soal kepemimpinan, eks pelatih Jerman Juergen Klinsmann juga menilai bahwa ini salah satu masalah tim asuhan Loew. Di atas lapangan, pemain yang benar-benar berperan sebagai sosok pemimpin hanya Manuel Neuer, yang posisinya seorang penjaga gawang.
Menurut Klinsmann, Jerman mesti memiliki satu sosok lain yang bisa menjadi pemimpin dan sosok yang paling cocok adalah Mueller. “Leroy Sane hingga Serge Gnabry mengikuti Mueller. Itu sebabnya Bayern tak terkalahkan di Liga Champions sejak entah kapan,” ujar dia.
Jelang pengumuman skuad Jerman untuk Pra-Piala Dunia 2022, sempat muncul rumor bahwa Mueller, Boateng, dan Hummels akan kembali dipanggil. Namun, hal demikian tak terjadi. Satu-satunya kejutan yang terlihat adalah hadirnya nama Jamal Musiala di daftar pemain.
Barangkali Loew masih mencari momen yang pas atau justru benar-benar tak berniat memanggil Mueller, Boateng, dan Hummels lagi. Namun yang jelas, bagi ketiga pemain tersebut, keinginan untuk memperkuat Timnas Jerman belum tertutup sama sekali.
Apalagi, ketiganya juga ingin punya akhir kisah serupa Philipp Lahm. Bukan kisah yang berakhir karena paksaan, lebih-lebih setelah meraih catatan menyedihkan.