Mulus Terjal Jalan Kante dan Mahrez

Kante dan Mahrez bukan pemain jebolan akademi elite. Mereka tidak diprogram untuk menjadi pesepak bola profesional sejak muda. Mereka datang ke Inggris dengan sepak bola ala mereka sendiri.
Barangkali Ligue 2 bukan tempat terindah, tetapi di sanalah Riyad Mahrez dan N’golo Kante menyadari bahwa apa yang awalnya mereka lihat sebagai titik, ternyata adalah koma.
Sepak bola Prancis meriah. Pemain-pemain bintang mengangkat negeri ini sampai ke level Eropa. Di sana mereka beradu kuat dengan para raksasa yang enggan menyingkir. Kalah, dicoba lagi musim depan.
Namun, Prancis tak melulu tentang flamboyan tangguh seperti Paris Saint-Germain dan perempuan-perempuan ulet Lyon yang berdiri di puncak prestasi. Sepak bola Prancis juga bicara tentang lapangan-lapangan sederhana yang tak menarik hati juru kamera, tetapi memberikan kedudukan yang setara bagi setiap sistem permainan.
Acungan jempol diberikan untuk mereka yang mempertahankan possesion dan mengontrol laga. Di sana tepuk tangan tak haram diberikan kepada mereka yang habis-habisan bermain kaku saat tak menguasai bola dan mengandalkan transisi cepat saat lawan kelimpungan kehilangan si kulit bulat.
Karena keengganan untuk saling menuding siapa yang buruk dan terburuk itulah tim-tim semacam Troyes, Toulouse, dan Clermont tetap bertumbuh. Karena kedudukan setara itulah tim-tim yang bermain dengan cara kedua, seperti Caen Le Havre, dan Valenciennes tetap hidup.
Melihat dari mana Mahrez dan Kante berasal, tak heran jika keduanya terbentuk sebagai dua pesepak bola tangguh di level Eropa maupun tanah Britania. Jauh sebelum menjejak di lapangan rumput Premier League yang masyhur itu, Mahrez bertanding untuk Le Havre, sedangkan Kante berlaga bersama Caen.
Dalam kolomnya untuk ESPNFC, Tor-Kristian Karlsen menjelaskan bahwa klub-klub Jerman dan Spanyol memimpin tradisi mengembangkan dan menggunakan pemain akademi, sedangkan Prancis lihai mengirim talenta-talenta muda ke liga-liga top.
Bahkan klub kecil seperti seperti Sochaux benar-benar memprioritaskan pengembangan pemain. Konon, klub sampai menyiapkan pos budget yang sangat serius untuk sektor ini. Dari situ, Sochaux seperti tak pernah berhenti mengalirkan bakat-bakat mumpuni walau masih mentah.
Di Prancis, divisi kedua adalah kompetisi ideal bagi pemuda 18 atau 19 tahun yang tidak bisa menembus tim akademi utama yang dimiliki oleh klub-klub besar. Tim kedua bukannya tidak bertanding. Masalahnya, mereka hanya berlaga di level keempat. Tempat itu terlalu jauh dari daya pandang mereka yang mencari dari liga-liga top.
Bagi anak-anak muda itu, kondisi demikian sepintas terlihat sebagai akhir dari segalanya. Mereka harus segera bergabung dengan angkatan kerja yang menghabiskan hampir separuh hari di depan komputer dan terangguk-angguk di depan para bos. Tak semua orang juga bisa menempuh jalan itu. Sebagian lagi akan bertekun dalam cita-cita keluarga, meneruskan apa pun yang sudah dibangun oleh moyang mereka.
Kedua jalan itu bukan pilihan tercela. Namun, bagi mereka yang memeram cita di atas lapangan bola, ini sama saja dengan mimpi buruk panjang. Mereka tidak akan tertidur selamanya, tetapi sampai entah.
****
Ligue 2 membuat mereka yang kebingungan tak punya waktu untuk meratap. Tempat ini bukan surga bagi para pemain bola. Tidak ada gaji selangit, tidak ada label bintang yang melekat di jersimu.
Gaji para pemain Ligue 2 masih lebih rendah dibandingkan Championship, 2. Bundesliga, ataupun Serie B. Namun, lapangan-lapangan Ligue 2 adalah tempat yang mempersiapkan mereka yang tak mendapat ruang di Ligue 1 untuk berlaga di surganya sepak bola.
Kante dan Mahrez akan bertemu di final Liga Champions 2020/21. Kisah keduanya disebut-sebut sebagai Cinderella ala sepak bola.
Bertahun-tahun mendekam di liga amatir Prancis, Kante dan Mahrez sama-sama mengangkat trofi Premier League di Leicester pada 2015/16. Musim berikutnya, ia bahkan mengangkat trofi yang sama bersama klub barunya, Chelsea.
Yang menyebalkan dari keyakinan, ia gemar membawamu hingga ke titik antah-berantah. Di tempat itu kau bagai anak hilang dan pesakitan. Gempuran ketidakpastian adalah sebenar-benarnya setan. Lalu pada suatu malam setelah hari panjang yang memuakkan, kau menyadari bahwa sebelum mengiyakan bujuk rayu si keyakinan, hidupmu, toh, baik-baik saja.
Sepak bola Kante lahir di Rueil-Malmaison. Dari Mali, ayah Kante tiba di distrik itu pada 1980. Area itu disebut sebagai wilayah dengan tingkat kejahatan paling tinggi. Namun, di atas permukaan jalan tak rata dan sarang penyamun itulah Kante belajar menendang bola.
Sepak bola Kante adalah rangkaian penolakan panjang. Seluruh pelatih dan kawan-kawan di klub pertamanya, Suresnes, tahu persis bahwa ia bukan bocah sembarangan.
Lima belas menit. Itulah waktu yang diperlukan Kante untuk mencapai klub sepak bola pertamanya dengan berjalan kaki dari rumah. Kante memulai perjalanannya sebagai pesepak bola pada usia 10 tahun bersama Suresnes. Segala sesuatu yang diperlihatkan Kante--kerja keras, kecepatan, mobilitas, ketangguhan, dan kegigihan--itulah yang dilihat oleh tim kepelatihan Suresnes sejak hari pertama.
Memori pertama Pierre Ville, Sekretaris Suresnes, tentang Kante adalah anak muda bertubuh mungil. Kante tak suka berbicara, ia lebih banyak mendengar. Jika kawan-kawannya ditanyai seperti apa Kante waktu itu, jawaban mereka akan seragam: Ia datang, ia berlatih, ia pulang.
Ville tahu Kante kepayahan menghadapi adangan lawan di sejumlah laga karena postur tubuhnya. Sepatu bolanya saja lebih besar 2 cm ketimbang ukuran kakinya. Akan tetapi, tatapan kasihan itu tidak bakal bertahan lama. Begitu merebut bola, Kante berubah menjadi monster yang membuat lawan-lawannya terdiam.
Sepak bola Prancis di era itu adalah permainan yang begitu mengandalkan fisik. Para pencari bakat hanya akan melirik pemain-pemain bertubuh atletis. Klub enggan mengambil risiko dengan merekrut pemain bertubuh mungil.
Persoalan ini pula yang membuat Kante tak kunjung mendapat tawaran dari klub profesional. Hari-hari Kante berangsur pahit. Masa depan adalah kegelapan paling pekat dalam hidup si kecil Kante.
Kabar gembira tiba pada musim terakhirnya di Suresnes, ketika Kante berusia 19 tahun. Adalah Boulogne yang bersedia merekrut. Barangkali cita-cita Kante waktu itu bukan menaklukkan dunia sepak bola. Kalaupun ia menjadi pemain biasa yang berlaga di klub biasa-biasa saja, itu sudah cukup. Ia hanya perlu melanjutkan hidup.
Namun, itu sebelum palu nasib menjatuhkan vonis berbeda. Setelah Boulogne, giliran Caen yang membukakan pintu. Kante berlaga di Ligue 2 dan mengantar timnya promosi ke Ligue 1. Yang terdengar setelahnya adalah Marcelo Bielsa yang terkagum-kagum dengan kemenangan 3-2 Caen atas Marseille.
Kekaguman Bielsa bukan klimaks dalam cerita Kante. Delapan tahun setelah menjejakkan kaki ke Boulogne, Kante mengangkat trofi Piala Dunia.
****
Pada awalnya segala sesuatu normal-normal saja untuk Riyad Mahrez. Ia memang anak imigran, tetapi kondisinya tak buruk. Mahrez hidup di tengah-tengah. Keluarganya tak kaya, tetapi juga tidak miskin. Semuanya serba-baik walau tak megah.
Mahrez menghabiskan musim panas bersama ayahnya di Algeria. Baginya, itu waktu-waktu paling menyenangkan. Ayahnya, Ahmed Mahrez, adalah pesepak bola profesional di sana. Kepada wajah orang itulah Mahrez mendongak.
Ia mau menjadi seperti ayahnya. Mahrez tahu persis ayahnya bersenang-senang dengan sepak bola. Pikir Mahrez saat itu, menjadi dewasa tidak seburuk yang dibicarakan orang-orang. Main sepak bola dan digaji, hidup tidak akan bisa lebih menyenangkan daripada itu.
Hidup dan mati adalah kepastian. Yang tidak pasti adalah kapan waktunya tiba. Sampai kapan kau hidup, di waktu kapan kau mati. Ketidakpastian seperti itu menghantam Mahrez. Kabar lelayu datang saat Mahrez berusia 15 tahun. Sang ayah meninggal mendadak karena serangan jantung.
Keberadaan Ahmed adalah persoalan krusial bagi Mahrez. Ayahnya adalah suporter terpenting dan terbesarnya. Sepak bola Mahrez adalah kumpulan keraguan dan penolakan.
Setelah menghabiskan waktu remajanya di AAS Sarcelles, Mahrez berlaga untuk tim senior Quimper. Masalahnya, postur Mahrez waktu itu begitu kecil. Alih-alih atletis, ia malah kurus kering. Sudah begitu, Mahrez ringkih dan lambat. Siapa pun yang ada di sana tak akan disalahkan jika mengira perjalanan Mahrez akan tamat sebentar lagi.
Itulah sebabnya kehadiran Ahmed begitu penting. Di antara sebagian banyak orang, ialah yang paling percaya bahwa Mahrez tidak akan takluk oleh postur tubuhnya itu sendiri.
Satu-satunya modal yang membuat pelatih Mahrez bertahan adalah kemampuan teknis. Salah satu manajernya menyarankan agar ia bermain cerdas dan menghindari kontak fisik dengan lawan.
Trik itu ternyata berhasil. PSG dan Marseille memanggil, tetapi Mahrez menolak. Jika menerima tawaran tersebut, Mahrez tahu bahwa ia tidak akan langsung berlaga di tim utama. Ia lebih suka memilih Le Havre yang berkompetisi di Ligue 2 tetapi mendapat tempat di tim utama.
Mahrez tidak pernah menyesali keputusan yang tidak populer, tetapi jitu itu. Mahrez menjadi pemain tak tergantikan di Le Havre. Pencari bakat mana pun yang bertandang ke Le Havre akan melihat dan mengamati Mahrez duluan.
Selesai dengan satu keraguan, muncul keraguan lain. Karena kualitas fisiknya yang belum mumpuni, Mahrez selalu dicekoki argumen bahwa sepak bola Inggris tidak akan pernah cocok untuknya.
Mahrez menganggapnya sebagai saran yang masuk akal sehingga ia lebih mempertimbangkan Spanyol. Akan tetapi, yang tiba di hadapannya justru Leicester. Sambil menenteng keraguannya, Mahrez berangkat ke Leicester.
Saat mengangkat trofi juara Premier League 2015/16, Mahrez merasa bodoh dengan keraguannya sendiri.
*****
Setelah mengantar Leicester jadi kampiun, Kante hengkang ke Chelsea dan Mahrez berlabuh ke Manchester City.
Kante dan Mahrez bukan pemain jebolan akademi elite. Mereka tidak diprogram untuk menjadi pesepak bola profesional sejak muda.
Kondisi itu memaksa keduanya mengembangkan kecerdasan anarkis. Sepak bola memberikan ruang untuk bertumbuh, berimprovisasi, melawan, dan mengakali ketertundukan.
Mahrez dan Kante bertahan hingga sekarang bukan hanya karena memiliki teknik dan kualitas permainan mumpuni, tetapi juga kegigihan merawat imajinasi dalam pemahaman ruang, pergerakan lawan dan kawan, dan pemaknaan peran masing-masing.
Mahrez dan Kante datang dengan sepak bola mereka sendiri. Jika menjadi pemain akademi, mereka akan memulai latihan dari pukul 9 pagi. Segala sesuatunya akan jelas. Akan selalu ada perintah ini dan itu yang membentuk mereka menjadi pesepak bola hebat sejak bocah.
Namun, Kante dan Mahrez berbeda. Postur sebagai pesepak bola saja mereka tidak punya.Segala macam kondisi itu pada akhirnya memaksa Mahrez dan Kante memindahkan sepak bola jalanan mereka ke atas lapangan bola.
Dengan cara itu Kante menjadi pemain yang keberadaannya paling kentara setiap kali ia bertanding dan Mahrez menjadi penyerang kejam, disiplin, dan elegan sekaligus. Dengan keberanian itu pula, Kante dan Mahrez tiba di puncak Liga Champions 2020/21. Kali ini, mereka akan saling melawan.