Mulut Pedas Pep

Foto: Twitter @ManCity

Kepada segala bacotan dan orang-orang bermulut besar yang menyerangnya, Pep Guardiola memberikan perlawanan. Bagi Guardiola, diam tak selamanya emas.

Mereka yang diserang akan melakukan segala cara untuk melawan. Ada yang menendang, meninju, bahkan mencabik. Pep Guardiola melawan dengan mulut pedasnya.

Manchester City gagal lagi di Liga Champions. Menang atas Real Madrid di leg pertama semifinal Liga Champions 2021/22, City malah tersungkur di leg kedua. Habis sudah asa Guardiola untuk menjadi kampiun Eropa musim ini.

Ketika seseorang berhadapan dengan kegagalan, perlawanan atas keterpurukan tidak menjadi satu-satunya pekerjaan rumah. Sialnya, ada banyak orang yang bersorak atas kegagalanmu, memaksamu untuk berada di posisi sudah jatuh tertimpa tangga. Guardiola pun mengalaminya. Kegagalan di Liga Champions musim ini memantik komentar Patrice Evra dan Dimitar Berbatov, yang ironisnya, tercatat sebagai mantan penggawa Manchester United.

City dan United adalah tetangga yang tak akur. Syahdan, berpuluh tahun kedigdayaan meliputi Manchester United. City tak masuk hitungan, mereka seperti orang-orang yang ditindas tulah Tuhan.

Akan tetapi, tak ada yang namanya selamanya. Bahkan bintang pun meledak, Bumi akan habis berlalu. Langit biru di Kota Manchester mulai tampak ketika Sheikh Mansour dengan segala kekuasaan dan kekayaannya datang. Gelontoran uang yang seolah tak ada habisnya merombak Manchester City menjadi singgasana bagi sang konglomerat. Sheikh Mansour berambisi mengubah City menjadi tanpa padanan. Tak sampai di situ, ia bertekad membangun Manchester Timur sebagai pusat sepak bola dunia.

Sheikh Mansour membajak para genius dari Barcelona untuk mewujudkan ambisinya hingga di suatu titik, ia berhasil mendapatkan Guardiola. Pelatih berkepala plontos ini melakukan pekerjaannya dengan brilian. Gelar juara demi gelar juara dipersembahkan untuk City. Namun, ada satu yang tak kunjung tiba: Trofi Si Kuping Besar.

Melihat daya upaya dan duit yang dikeluarkan City untuk menggamit medali juara Liga Champions, barangkali orang-orang tertawa. Sebagian dari mereka mungkin memandangnya sebagai usaha menjaring angin. Sia-sia melulu.

Evra dan Berbatov menjadi dua orang yang tak ketinggalan mulut. Kata Evra, City tak punya pemimpin dalam tim. Pemimpin tim ini malah Guardiola yang berdiri di pinggir lapangan. Ia pun menyebut pemain-pemain City datang ke Etihad hanya untuk mengejar uang. Berbatov berujar bahwa City kalah mental, mereka bertanding bak sekumpulan orang tanpa kegigihan dan kepribadian kuat di partai genting dan penting. Dua alasan itulah yang pada akhirnya membuat City terpuruk disandung kekalahan tragis.

Bagi Guardiola, diam tak selamanya emas. Pelatih asal Catalunya ini menunjukkan bahwa salah satu cara terbaik untuk mendiamkan mulut besar adalah dengan bermulut pedas.

Kepada Evra dia berkata sengit. Menurutnya, sebagai seorang pelatih, dia membutuhkan para pemainnya berkepribadian kuat dan ia mendapatkannya di City. Ia tahu persis bahwa para penggawanya tidak datang hanya untuk uang. Guardiola pun menambahkan, skuad-skuad yang dilatihnya, sejak dari Barcelona, adalah tim-tim yang berhasil merengkuh berbagai gelar juara. Menurut Guardiola, omongan Evra itu tak lebih dari cara mencari perhatian untuk mendapatkan pekerjaan di Old Trafford.

Kepada Berbatov, Pep menjawab tajam. Jika diterjemahkan, apa yang diucapkan Berbatov tak lebih dari omong kosong. Kalau kepribadian adalah satu-satunya alasan, mengapa United belakangan tak bisa menang atas City? Lagi pula, ketika mengalahkan United bersama Barcelona, Guardiola mengaku tak melihat kepribadian yang dimaksud.

Evra dan Berbatov sah-sah saja berbicara semau mereka. Namun, sebelum beradu mulut dengan Guardiola, mungkin mereka harus mengingat lagi hal ini baik-baik: Bahwa pada dasarnya, Guardiola terbiasa melawan, bahkan tiki-taka yang masyhur itu saja dilawannya.

Jika membaca 'Pep Confidential' milik Marti Perarnau, kita akan menemukan ketegasan Guardiola dalam melawan tiki-taka. Katanya: "Saya benci umpan-umpan yang kelewat batas, semua yang diterjemahkan banyak orang sebagai tiki-taka. Semuanya sampah belaka dan tanpa tujuan. Kamu harus mengumpan dengan visi jelas, dengan tujuan mencetak gol ke gawang lawan. Semuanya bukan demi mengumpan saja.”

Jika kalimat dalam buku tersebut mirip dengan buku harian dalam musim pertamanya bersama Bayern Muenchen itu dilontarkan oleh para penganut kick and rush garis keras, tentu tak ada yang aneh. Namun, beda cerita jika kata-kata pedas itu diucapkan oleh Guardiola yang selama ini identik dengan tiki-taka. Dari situ, dapat diambil kesimpulan bahwa ada yang salah dengan pemahaman orang akan tiki-taka dan Guardiola ingin melawannya.

Menilik definisi tiki-taka yang diucapkan Guardiola, contoh yang paling gampang dilihat adalah permainan United ketika diasuh oleh Louis van Gaal. Penguasaan bola adalah senjata yang digunakan oleh United untuk mencapai tujuan akhir: Gol. Masalahnya, kala itu United mengumpan hanya untuk mengumpan, bukan menciptakan progresi, apalagi gol.

Sialnya, orang-orang mendefinisikan tiki-taka sebagai upaya untuk menciptakan umpan belaka. Banyak-banyakan umpan mungkin bagian dari tiki-taka. Namun, tujuan akhirnya bukan itu. Lantas, dengan segala racikan taktiknya Guardiola menunjukkan bahwa tiki-taka seharusnya hanya menjadi bagian dari juego de posicion di era sepak bola modern. Jika diterjemahkan secara plastis, istilah itu berarti permainan posisional. Pemosisian dan penguasaan bola memang penting. Namun, yang paling penting adalah memastikan segala upaya itu tidak mubazir.

Bicara juego de posicion tak akan mungkin mengesampingkan sang mahabesar, Johan Cruyff. Mentor Guardiola inilah yang memperkenalkan seperti apa juego de posicion kepada sepak bola modern. Yang tak kalah penting dicatat, tentu saja upaya tersebut tak lepas dari fondasi totaal voetbal yang diletakkan oleh Rinus Michels.

Konsep juego de posicion, lebih dari sekadar menguasai bola sebanyak-banyaknya. Ia berbicara tentang memanfaatkan penguasaan bola dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Bagi Cruyff, ketika sedang menguasai bola itulah sebuah tim sedang memainkan sepak bola secara utuh. Di saat yang bersamaan, mereka menyerang sekaligus bertahan. Konsep tersebut lantas diejawantahkan dengan upaya menciptakan superioritas lewat keunggulan numerikal, kualitatif, dan posisional.

Jika Evra dan Berbatov ingin menyerang Guardiola, seharusnya mereka menggunakan konsep tersebut dengan jeli. Bagaimanapun, menyerang kepribadian atas kegagalan seseorang sama dengan menyerang tanpa kejelasan. Apa-apa yang tak jelas, toh, memang gampang buat dipatahkan, bahkan dengan satu kalimat pedas.

Pemahaman taktik adalah segalanya bagi para pelatih. Jika ingin menyerang seorang pelatih, seranglah bagian tersebut. Kalau berbicara tentang kegagalan City di semifinal Liga Champions 2021/22, sebaiknya berbicara tentang kegagalan Guardiola dalam mempertahankan salah satu dari tiga keunggulan dalam konsep juego de posicion-nya tadi, yaitu keunggulan kualitatif.

Keunggulan atau superioritas kualitatif dapat direngkuh jika sebuah tim dapat menyingkirkan pemain-pemain lawan dari permainan sehingga yang tersisa hanya pemain semenjana. Superioritas kualitatif juga bisa dicapai dengan memanfaatkan kelemahan lawan dengan menggunakan pemain yang tepat. Konsep ini pula yang mendasari argumen bahwa situasi satu lawan satu tidak berarti perlawanan berjalan seimbang.

Keunggulan kualitatif City menurun ketika Guardiola memutuskan untuk menarik Kevin de Bruyne dan menggantikannya dengan Ilkay Guendogan pada menit 72. Ironisnya, sampai sebelum penggantian pemain itu dilakukan, Madrid mengalami disorganisasi lini tengah. Dalam kekacauan tersebut, seharusnya City bisa meneruskan bola ke Bernardo Silva yang memiliki ruang luas dan melanjutkannya ke penyerang seperti Riyad Mahrez.

Apesnya, Carlo Ancelotti tahu persis bahwa City kehilangan keunggulan kualitatif di lini tengah begitu Guendogan masuk. Dari situ, ia tetap memainkan Federico ValverdeCelaka bagi City karena Valverde ajaib betul walau tak selalu mencuri perhatian. Valverde adalah pemain yang hampir selalu berdampak pada situasi genting. Big game player, barangkali itu adalah istilah yang tepat untuknya.

Selain berbakat mengemban peran sebagai pemain nomor 10, Valverde sanggup untuk menahan naluri ofensifnya saat dibutuhkan. Kualitas ini pula yang memampukannya mengebiri struktur permainan City dari sisi kiri. Dengan kegigihannya, ia menekan Guendogan yang bertindak sebagai pembawa bola sehingga aliran bola City menjadi pampat.


Mengutip analisis Michael Cox untuk The Athletic, Valverde ditandemkan dengan Eduardo Camavinga sebagai pasangan double pivot. Selain itu, ia melengkapi keduanya dengan Marco Asensio sebagai penyerang keempat. Untuk tujuan inilah Ancelotti menarik Luka Modric dan Casemiro pada menit 75.

Dalam situasi tak sedap seperti itu, City memang masih sanggup bertahan, bahkan menciptakan peluang emas lewat Jack Grealish yang sayangnya tak berhasil menjadi gol. Uniknya, Madrid lantas membombardir kotak pertahanan City dengan rangkaian serangan udara. Terlebih, Karim Benzema juga terus berusaha menciptakan keunggulan posisional dengan bermain penuh mobilitas. Bersama Eder Militao dan Daniel Carvajal, Benzema membentuk umpan-umpan segitiga yang memberikan Madrid superioritas posisional.

Dalam 10 menit terakhir, pemain asal Prancis itu bahkan turun lebih dalam agar aliran bola tetap terjaga. Upaya-upaya ini tidak langsung berhasil hingga akhirnya pada menit 90, Benzema yang telah mencapai sisi kanan gawang City melepaskan umpan yang sanggup dikonversi Rodrygo menjadi gol. 

Torehan angka tersebut didapat berkat superioritas posisional dan kualitatif. Ia mengambil tempat di belakang Joao Cancelo yang menjadikannya sebagai target tempat crossing Camavinga. Sementara, keunggulan kualitatif Benzema sebagai penggawa lini serang adalah daya ledak dan efektifitasnya. Dua unsur ini memampukannya mengirim bola dengan cerdik kepada Rodrygo. 

Laga menjejak pada tapal batas baru, setelahnya kita mendengar cerita kemenangan dramatis Madrid yang mendiamkan ribut-ribut miskin taktik.

***
Evra dan Berbatov bukan pemain buruk sebelum gantung sepatu. Evra menjuarai Liga Champions 2007/08, sedangkan Berbatov diganjar Premier League Golden Boot 2010/11. Namun, dalam konteks ribut-ribut dengan Guardiola, mereka tampak sebagai mantan pemain kacangan karena serangan-serangan yang tak tepat sasaran.

Barangkali menjadi orang-orang bermulut besar memang membikin nyaman. Masalahnya, tak selamanya yang nyaman-nyaman membawamu pada tujuan. Jika ingin melawan Guardiola yang begitu mengagungkan pemikirannya, menyeranglah dengan tepat, bukan dengan asal membabi-buta. Mengaitkan kegagalan dan kekalahan dengan hal-hal klise, seperti mental dan kepribadian, adalah perkara usang yang membuat serangan jadi tak berkelas.

Mereka yang menyerang tanpa berpikir matang, pada akhirnya akan terantuk dan terjerembap. Orang-orang seperti ini barangkali lupa bahwa di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Jika tidak ingin mampus cepat-cepat, lebih baik menjaga cakap.