Musiala Jadi Pembeda

Foto: Riiaa Izzietova

Saya melihat bagaimana pengambilan keputusan seorang Musiala menjadi pembeda laga alot St. Pauli vs Bayern München.

Dalam sepak bola, mudah menemukan pemain yang punya kemampuan individu—skill atau teknik—mumpuni, bagus. Namun, buat saya, yang membedakan adalah soal pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan menjadi hal yang membedakan pemain bagus dan pemain hebat. Dua finalis Ballon d’Or tahun ini, Rodri dan Vinicius Junior, bisa dijadikan contoh.

Rodri menjelma menjadi pemenang dan holding midfielder terbaik dunia karena ia memperbaiki pengambilan keputusannya: Ia tahu kapan harus memotong serangan balik lawan, ia tahu harus menempatkan diri di mana. Saat dengan bola, ia tahu kapan harus mengumpan, men-delay, atau menembak. Ia paham betul ke mana arah serangan Manchester City harus diarahkan, ia paham betul apakah serangan itu harus dibangun secepat atau selambat mungkin.

Tiga, empat tahun lalu Vinicius mungkin hanya seorang winger bagus. Namun, perlahan ia membuktikan bahwa ia tak hanya sekadar bagus—ia adalah winger hebat. Dan untuk menjadi hebat, ia memperbaiki pelbagai aspek dalam permainannya: Ia mulai paham kapan harus menembak, ia tahu kapan waktu yang tepat untuk melewati lawan, ia makin mengerti kapan dan ke mana ia harus berlari untuk menyambut umpan rekan-rekannya.

Pengambilan keputusan adalah pembeda. Pengambilan keputusan adalah faktor yang membuat pemain seperti Rodri dan Vinicius menjadi yang terbaik di dunia. Pengambilan keputusan adalah faktor mengapa Lionel Messi bisa menjadi yang terbaik sepanjang masa—sebab ia tahu bagaimana menggabungkan itu dengan kemampuan individunya yang luar biasa. Pengambilan keputusan seorang pemain juga yang acap menjadi pembeda dari sebuah laga yang alot.

Foto: Riiana Izzietova

Di Millerntor akhir pekan kemarin, saya melihat bagaimana pengambilan keputusan dari seorang pemain pada akhirnya mampu mengubah hasil akhir laga. Di lapangan petang itu, saya melihat Manuel Neuer, Harry Kane, Joshua Kimmich, dan Jamal Musiala berada di atas lapangan yang sama. Thomas Müller menyusul kemudian di babak kedua. Ini pertama kali saya menyaksikan Bayern München berlaga secara langsung dan saya akui, aura kebintangan tim ini benar-benar luar biasa.

Mudah membayangkan mereka bakal melumat tuan rumah St. Pauli sore itu. Mudah membayangkan gol demi gol akan dicetak oleh Bayern seperti bagaimana mereka menghajar klub-klub Bundesliga lain. Terlebih, skuad St. Pauli bagaikan bumi jika dibandingkan Bayern yang serupa langit. Harga seorang Joao Palhinha, yang sore itu duduk di bangku cadangan, akan mampu membayar harga seluruh skuad St. Pauli sore itu.

Namun, sepak bola tak berjalan di atas kertas. Di atas lapangan, apa pun bisa terjadi. Yang orang-orang perlu ingat pula, St. Pauli punya pertahanan yang solid. Jumlah kebobolan mereka adalah yang tersedikit kelima. Dilihat dari angka expected goal against (xGA), St. Pauli juga berada di enam besar Bundesliga. Karenanya, St. Pauli sangat layak untuk bisa membuat Bayern kesulitan. Dan itulah yang terjadi di Millerntor akhir pekan kemarin.

90 menit, Bayern memang melepas total 13 tembakan. Namun, value-nya, berdasarkan xG, hanya 0,80. Itu adalah angka xG terkecil yang Bayern catatkan di Bundesliga atau Liga Champions sepanjang musim ini berjalan. Bayern tak mampu menciptakan peluang-peluang emas di tempat-tempat berbahaya. Mereka kesulitan membongkar mid dan low-block St. Pauli. Mereka coba melakukan overload di depan garis pertahanan St. Pauli, coba mengarahkan bola ke half-space atau tengah untuk membuat pertahanan St. Pauli disorganisasi, tapi seringnya gagal.

Foto: Riiana Izzietova

Selepas laga, Vincent Kompany mengakui kalau Bayern-nya memang mengalami kesulitan dalam hal menyerang. Ia menilai St. Pauli bermain baik dengan tetap sabar menjaga shape bertahan dan tidak terpancing untuk mengganti strategi guna meladeni Bayern. Itu keputusan tepat yang dilakukan tuan rumah. Namun, hasil laga tetap menunjukkan angka 1-0 untuk kemenangan Bayern. Dan satu gol itu tercipta berkat pengambilan keputusan dan eksekusi luar biasa dari seorang Musiala.

Secara keseluruhan, Musiala bermain baik sebagaimana biasanya. Ia berada di mana saja: Turun ke belakang untuk menjadi opsi lain saat build-up, membantu rekan-rekannya untuk meng-overload sebuah sisi, berada di half-space untuk menerima umpan, atau merangsek ke kotak penalti untuk melepaskan tembakan. Namun, itu semua hanya berada dalam kategori baik, selain satu momen hebat yang dilakukannya.

Pada menit 22 ia berhasil merebut bola dari dua pemain St. Pauli, Johannes Eggestein dan Carlo Boukhalfa, dan kemudian menembak di area yang cukup jauh dari kotak penalti. Musiala bisa saja melanjutkan dribel, ia bisa saja mengumpan ke pemain yang ada di depannya atau ke area sayap, tapi ia tahu ada ruang di antara dirinya dan pemain belakang St. Pauli, dan di situ ia memutuskan untuk mebembak langsung. Tembakannya kencang, terarah, dan itu menjadi satu-satunya gol.

Bayern menang lewat tembakan yang secara xG hanya memiliki value 0,02. Dan inilah sepak bola, ia bisa ditentukan lewat pengambilan keputusan yang berbeda dari seorang pemain. Dan inilah yang membuat seorang pemain menjadi lebih hebat dari yang lain, bahwa ia memiliki pengambilan keputusan yang bagus dan berpengaruh besar buat tim. Inilah yang membedakan Musiala dengan pemain lain. Ia memang masih 21 tahun, tapi pengambilan keputusannya sudah begitu matang.

Foto: Riiana Izzietova

Bayern pada akhirnya mampu membawa pulang tiga poin dari Hamburg. Mereka masih konsisten untuk menjaga puncak klasemen Bundesliga, terutama setelah menjalani jadwal padat dengan berlaga di Liga Champions pada tengah pekan sebelumnya. Belum lagi catatan nirbobol pada laga ini juga menunjukkan bahwa Bayern tak hanya mampu menjadi tim yang ganas di depan gawang lawan, tapi juga solid dalam menggalang pertahanan.

Buat St. Pauli, kekalahan dari Bayern memang berarti nol poin. Dan kekalahan adalah kekalahan. Namun, di satu sisi, skor yang hanya 0-1 dan tercipta lewat kebrilianan individu menunjukkan bahwa mereka punya bekal yang cukup baik dalam mengorganisasi pertahanan. St. Pauli tau mereka kalah secara kualitas skuad, tapi fondasi taktik yang bagus bisa membuat mereka bersaing—atau setidaknya bertahan di Bundesliga.

Yang menarik pula, pada pekan yang sama dengan laga vs Bayern, St. Pauli juga meresmikan program baru mereka di mana member dan suporter bisa membeli hak untuk Stadion Millerntor. Yang artinya, member klub dan suporter bisa bersama-sama dengan klub untuk memiliki stadion. Uang yang didapat dari pembelian hak atas stadion itu kemudian juga bisa digunakan sebagai salah satu sumber pendanaan klub. Sebuah cara bagaimana St. Pauli mencari uang, dengan cara mereka sendiri, agar setidaknya mampu berlaga melawan megabintang Bayern tiap musimnya.