Musuh, Kekasih, Pengkhianat

Foto: Wikimedia Commons.

Carlos Tevez selamanya bakal dipandang sebagai pengkhianat oleh pendukung Manchester United, tetapi bakal dikenang sebagai awal dari bergesernya dominasi di kota Manchester.

Di antara sekian banyak musuh Batman yang pernah muncul di layar besar, Riddler-nya Paul Dano adalah yang paling bikin saya bergidik.

Ia tidak perlu mengeluarkan kekeh gila atau menggunakan make-up serampangan untuk membuatnya jadi orang terakhir yang ingin kau temui di lorong gelap sempit atau gang belakang Gotham. Namun, dengan segenggam motif yang amat riil, Riddler menjadi penggerak dari plot dan sub-plot dari ‘The Batman’ yang ditulis dan disutradarai oleh Matt Reeves.

Yang menghantam saya adalah bagaimana tiap-tiap orang bisa memiliki alasannya masing-masing untuk menjadi penjahat. Tiap-tiap orang bisa memiliki “the origin story of supervillain”-nya sendiri-sendiri. Di tengah chaos dan ketidakpastian, satu hari yang buruk bisa bikin seseorang membentur-benturkan kepalanya ke tembok, membuat pikirannya yang lurus jadi ikut bengkok.

Bagi Carlos Tevez, ceritanya lebih rumit lagi. Transformasinya menjadi musuh yang begitu dibenci para pendukung Manchester United adalah gabungan dari banyak hal: Mulai dari ketidakpastian, janji yang tak kunjung ditepati, hingga bagaimana sebuah klub yang sedang berusaha merangkak naik berusaha menggoda saudara tuanya dengan lelucon yang cukup jitu.

Namun, jauh sebelum itu semua, Tevez punya riwayat yang cukup dalam bersama United meski ceritanya hanya sebentar. Pada 13 Mei 2007, Tevez dengan berani bersikap kurang ajar kepada ‘Iblis Merah’ di Old Trafford. Hari itu sudah tidak berarti buat United karena sudah memastikan raihan gelar juara. Buat Tevez dan West Ham United beda cerita.

Untuk bisa bertahan di Premier League, West Ham membutuhkan kemenangan sembari berharap Sheffield United gagal menundukkan Wigan Athletic pada hari yang sama. Tevez, yang sepanjang musim baru mencetak 6 gol, memilih hari yang tepat untuk menunjukkan bahwa di hadapan klub paling arogan sekalipun ia ogah untuk tunduk.

Sebelum babak pertama berakhir, Tevez mendapatkan bola tidak jauh dari kotak penalti United. Setelah berjibaku mempertahankan bola, ia melakukan operan satu-dua sebelum akhirnya merangsek ke dalam boks dan melepaskan sontekan pelan ke gawang yang dikawal Edwin van der Sar.

Bagi West Ham dan Tevez, gol itu serupa berkah. Bagi Sir Alex Ferguson, itu adalah sebuah pertanda. Musim itu, timnya bermain tanpa goal-getter jempolan dan memilih untuk bertumpu pada dua pemain muda yang sedang menapak naik, Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney. Waktu itu, keduanya baru berusia 22 tahun. Finisher terbaik mereka, Ruud van Nistelrooy, sudah dilego ke Real Madrid pada awal musim.

Tevez adalah mimpi basah Ferguson. Jika Tevez bergabung, Ferguson bisa mewujudkan impiannya sedari kecil. Alkisah, godfather asal Skotlandia itu pernah terkagum-kagum melihat bagaimana Nandor Hidegkuti dan Ferenc Puskas, yang merupakan bagian dari The Magic Magyars Hongaria, melakukan permutasi posisi di lini depan, membuat lawan bingung harus mengawal yang mana.

Ferguson bukannya tidak pernah mencoba memainkan cara serupa di lini depan timnya. Sepanjang kariernya, kita sering betul melihat ia mendatangkan seorang striker atau forward (pemain depan) yang cukup piawai memainkan bola. Si pemain biasanya tidak hanya menjadi pemantul dan penahan, tetapi juga pembuka ruang sekaligus kreator buat rekan-rekannya. Dahulu, ia memiliki Eric Cantona, lalu berlanjut dengan Teddy Sheringham setelahnya.

Setelah era Van Nistelrooy selesai, Ferguson memilih untuk membuat sebuah trisula yang bisa bertukar posisi dengan lugas. Maka, ketika Tevez resmi bergabung pada Agustus 2007, kepingan di kepala Ferguson lengkap. Ia mendapatkan sesuatu yang sudah lama ia idam-idamkan.

Dalam khasanah taktik di lini depan United, Tevez adalah axis. Dia bisa berada di dalam kotak penalti dengan dua tujuan: Pertama, sebagai decoy sehingga dua rekannya, Ronaldo dan Rooney, bisa bergerak bebas; kedua, sebagai finisher. Dengan keberadaannya di dalam kotak penalti, United akan selalu punya opsi. Tevez pun bisa menyelesaikan peluang dengan berbagai cara, entah dengan menyambut umpan atau menyambar rebound.

Salah satu yang cukup mencolok dari performa Tevez pada musim perdananya bersama United adalah bagaimana ia dan Rooney langsung nyetel dan sering betul melakukan operan kombinasi di kotak penalti lawan. Tevez tidak pernah bisa berbahasa Inggris dan Rooney, si Scouser itu, tentu saja tidak bisa berbahasa Spanyol. Namun, seperti terkoneksi dengan telepati, keduanya dengan amat mudah saling memahami.

Tidak bisa dimungkiri bahwa trisula Ronaldo-Rooney-Tevez adalah salah satu kombinasi lini depan terbaik yang pernah United miliki. Musim itu, Ronaldo memang menjadi bintang dengan mencetak 42 gol sepanjang musim. Namun, ada peran Tevez dan Rooney (masing-masing mencetak 19 dan 18 gol sepanjang musim), yang turut memberinya ruang untuk mencetak gol.

Lama-kelamaan, Tevez pun menganggap United sebagai rumahnya. Perasaan itu berbalas; para pendukung United menganggapnya pahlawan terutama setelah Tevez beberapa kali mencetak gol penting, termasuk dua gol penyama kedudukan di ujung laga ketika menghadapi Tottenham dan Blackburn. Tanpa dua gol penyama kedudukan itu, United bisa kehilangan 6 poin, membuat kans mereka menjadi juara terancam.

Di United, ia berteman akrab dengan Patrice Evra dan Park Ji-sung. Di antara kedua pemain itu, hanya Evra yang bisa berbahasa Spanyol. Namun, itu tidak menghalangi ketiganya untuk menghabiskan waktu bersama, termasuk mengetuk pintu rumah Park dan memberikan kejutan untuk pemain Korea Selatan itu pada hari ulang tahunnya.

Cerita indah ini berakhir sempurna dengan raihan di pengujung musim: Gelar ganda dalam wujud trofi Premier League dan Liga Champions. Namun, selayaknya nasib yang kadang-kadang karam, hidup Tevez di United berubah drastis pada musim berikutnya. Kehadiran Dimitar Berbatov membuatnya tak selalu mendapatkan garansi dalam starting XI United.

Kehadiran Berbatov dan status Tevez sebagai pemain di United hanya memperumit masalah. Ketika ia bergabung ke Old Trafford pada 2007, status Tevez hanyalah pinjaman selama 2 musim. Artinya, United harus mempermanenkannya pada akhir musim 2008/09 jika masih ingin menggunakan jasanya.

Persoalannya, United tidak sedang bernegosiasi dengan klub. Waktu itu status kepemilikan Tevez berada pada MSI (Media Sports Investments) yang dimiliki oleh Kia Joorabchian. Tarik-ulur negosiasi mengenai Tevez berlangsung hampir sepanjang musim. Chief executive United saat itu, David Gill, meyakini bahwa persoalannya bisa rampung pada Juni 2009.

Yang kemudian terjadi, posisi Tevez menggantung begitu saja. United sempat menawarkan 25,5 juta pounds dan memberi Tevez kontrak lima tahun plus gaji yang, tentu saja, amat menggiurkan. Hanya saja, pintu hati Tevez dan pintu negosiasi dari MSI sudah kadung tertutup.

Pada Juli tahun yang sama, Tevez mengganti kostumnya dari merah ke biru. Ia menyeberang, dan menahbiskan diri sebagai pengkhianat di mata pendukung United, ke Manchester City. Bagi City sendiri, ini adalah awal dari langkah besar mereka untuk menendang United dari posisi sebagai klub yang paling dominan di kota Manchester.

Lantas, dengan penuh kecongkakan seraya ingin menunjukkan bahwa mereka tidak perlu lagi merasa inferior di hadapan United, City memasang banner itu besar-besar: ‘Welcome to Manchester’, lengkap dengan gambar Tevez yang tangannya membentang dan mulutnya menganga lebar-lebar.

Bagi United, itu adalah hinaan. Bagi City, itu adalah lelucon yang menyenangkan. Puluhan tahun hidupmu dikangkangi oleh si saudara tua, kau tentu tidak akan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan untuk menyentilnya dengan cengiran lebar.

Ferguson berang, para pendukung United geram. Narasi bahwa mereka tidak butuh Tevez muncul. Musim itu, Tevez mencetak 23 gol—yang mana merupakan catatan tersuburnya di Premier League. Namun, baik United maupun City sama-sama gagal menjadi juara liga pada akhir musim.

Setelah peristiwa kepindahan Tevez itu, United memang masih sempat meraih dua gelar juara liga lagi. Namun, apa yang City lakukan dengan mencaplok si pemain di depan muka rival sekotanya menjadi salah satu tanda bahwa dominasi itu perlahan-lahan mulai bergeser.